Kudeta Myanmar Jadi Ujian Tambahan Biden dalam Strategi AS di Asia
Sejumlah pihak khawatir, kesalahan komunitas internasional, termasuk AS, menanggapi kudeta di Myanmar bisa membuat China makin kuat menancapkan pengaruh di Asia Tenggara. Myanmar jadi ujian bagi Biden membendung China.
Kabinet pemerintahan Presiden AS Joe Biden jelas menunjukkan kecenderungan Amerika Serikat untuk lebih berkonsentrasi ke sekitar Samudra Pasifik dibandingkan dengan ke Laut Arab. Kala birokrasi untuk mendukung kebijakan luar negeri itu sedang disusun, ujian langsung datang.
Keinginan Biden untuk lebih fokus ke Asia dapat dimaklumi. Kini, Asia menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi paling dinamis. Dari lima kekuatan utama ekonomi dunia pada 2030, tiga di antaranya muncul dari Asia, yakni China, ASEAN, dan Jepang. Sementara dua lain adalah AS dan Uni Eropa.
Baca juga: Intel China Dekati Tim Biden
”Kebijakan Asia lebih relevan untuk petani dan perusahaan AS, sementara di Timur Tengah tidak lagi. Setelah dua dekade di Irak dan Afghanistan, semakin sedikit dukungan untuk terus (berkonsentrasi) di Timur Tengah,” kata Karim Sadjadpour, pakar Timur Tengah, di Carnegie Endowment for International Peace.
Keinginan Biden untuk lebih fokus ke Asia, antara lain, ditunjukkan dengan perombakan struktur di Dewan Keamanan Nasional. Kini, Divisi Timur Tengah NSC AS hanya mempunyai dua pejabat utama. Sebaliknya, Divisi Indo-Pasifik mempunyai empat pejabat utama. Dari tiga pejabat utama di Indo-Pasifik, dua fokus mengurus China, yakni Kurt Campbell sebagai koordinator isu Indo-Pasifik dan Laura Rosenberger sebagai direktur senior urusan China.
Departemen Pertahanan AS malah menunjuk Ely Ratner sebagai penasihat utama urusan China. Kelly Magsamen, pejabat Pentagon untuk urusan Laut China Selatan dan Asia, dipromosikan menjadi Kepala Staf Dephan AS. ”Saya memahami Asia harus menjadi fokus kerja kita. China menghadirkan ancaman paling penting pada masa mendatang,” kata Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin.
Sebelum Austin, sejumlah pejabat pemerintahan Biden secara jelas mengidentifikasi China—juga Rusia—sebagai pesaing utama AS. Afrika, Asia, dan Eropa menjadi arena persaingan Washington dengan Beijing-Moskwa. Sampai 31 Januari 2021, perhatian Washington, antara lain, tertuju pada sengketa India-Pakistan dan perselisihan Jepang-Korea Selatan.
Baca juga: Mencegah Perang Kelima India-Pakistan
India dan Pakistan sama-sama penting bagi AS. India penting karena menjadi mitra AS dalam membendung pengaruh China di Samudra Hindia dan Asia Selatan. Sementara Pakistan penting terutama terkait dengan perang melawan terorisme. Di sisi lain, Pakistan amat akrab dengan China.
India-Pakistan, seperti sejak puluhan tahun lalu, terus berseteru pada berbagai isu. Paling pokok soal Kashmir. China dan India juga terlibat ketegangan gara-gara perebutan wilayah dekat Kashmir.
Adapun Seoul dan Tokyo penting untuk mengendalikan Korea Utara dan tentu saja China. Jepang-Korsel ribut gara-gara Korsel menuntut kompensasi atas penderitaan yang ditimbulkan tentara Jepang terhadap Korsel selama Perang Dunia II.
Dalam buku putih pertahanan Korsel, Seoul hanya menyebut Tokyo sebagai mitra. Sebelumnya, Tokyo dianggap sekutu. Washington sudah bolak-balik membujuk kedua sekutunya di Asia Timur itu untuk berdamai. Namun, kedua negara tersebut masih kukuh pada pendirian masing-masing.
Baca juga: Jepang Pertanyakan Keputusan Korsel
Perselisihan mereka bisa melemahkan upaya AS menghadapi China di kawasan. Di Korsel ataupun Jepang, AS menempatkan puluhan ribu tentara dan aneka jenis persenjataan. Washington juga mengandalkan baku tukar informasi intelijen dengan dua sekutunya itu untuk merumuskan kebijakan terkait dengan Beijing dan Pyongyang. Andaikata Seoul dan Tokyo saling merajuk, lalu berhenti bertukar kabar, Washington bisa kehilangan sumber informasi yang berujung pada kesalahan penyusunan kebijakan.
Kasus Myanmar
Belum selesai kedua isu itu, Myanmar datang mengantarkan ujian tambahan. Tentara Myanmar mengudeta pemerintahan sipil dengan alasan pemerintah gagal dan terlibat kecurangan pemilu pada November 2020. Militer menuding ada 10 juta suara tidak jelas sehingga Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) bisa meraih 396 dari 498 kursi parlemen. Sementara Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) yang disokong militer hanya mendapat 33 kursi.
Pada Senin (1/2/2021) dini hari, regu-regu tentara bergerak ke berbagai penjuru negeri. Mereka menangkap Presiden Myanmar Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, 400 anggota parlemen, dan puluhan orang yang tidak terkait langsung dengan politik praktis. Para anggota parlemen hadir di Naypyidaw karena akan mengikuti sidang perdana parlemen hasil pemilu tahun 2020. Sidang perdana dijadwalkan Senin pagi.
Sejumlah pihak khawatir, kesalahan komunitas internasional menanggapi kudeta itu bisa membuat China semakin kuat menancapkan pengaruh di Asia Tenggara. Sebelum kudeta pun, Myanmar bersama Laos dan Kamboja sudah dekat dengan China dan cenderung dimusuhi AS bersama sekutunya.
Secara resmi China masih bersikap netral pada kudeta. ”China tetangga yang baik bagi Myanmar dan berharap semua pihak di Myanmar dapat menangani perbedaan secara layak sesuai dengan kerangka hukum dan konstitusi serta menjaga kestabilan politik dan sosial. Kami berkomunikasi dengan pihak berbeda di Dewan Keamanan,” kata Wang Wenbin, juru bicara Kemlu China.
Baca juga: Min Aung Hlaing, Jenderal Pemberangus Tunas Demokrasi di Myanmar
”Tindakan apa pun oleh komunitas internasional harus mendukung stabilitas politik dan sosial, perdamaian, serta rekonsiliasi Myanmar,” ujar Wang.
Di sisi lain, Beijing menolak sanksi terhadap Naypyidaw gara-gara kudeta itu. Penolakan disampaikan dalam sidang darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Selasa (2/2/2021) sore waktu New York atau Rabu dini hari WIB. Dengan penolakan China, salah satu dari lima anggota tetap DK PBB, DK PBB tidak bisa bersikap. Tidak ada keputusan bisa dibuat tanpa dukungan lima anggota tetap DK PBB.
Selain di DK PBB, penolakan Beijing atas sanksi terhadap Naypyidaw juga ditunjukan oleh media-media yang terafiliasi dengan Pemerintah China. Dalam tajuknya, Global Times meminta komunitas internasional tidak gegabah menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar. Dewan redaksi media yang dekat dengan Pemerintah China itu menyebut sanksi hanya akan menyulitkan warga Myanmar.
Baca juga: Suu Kyi dan Rivalitasnya dengan Para Jenderal
Di sisi lain, AS jelas tidak mungkin diam saja menghadapi perkembangan di Myanmar. Apa pun alasannya, kudeta tidak dapat dibenarkan dalam demokrasi. Masalahnya, jika salah melangkah, AS bisa menambah kekalahan dari China dalam upaya perebutan pengaruh di kawasan.
Dalam pandangan Direktur Asia Pacific Initiative Yoichi Funabashi, AS pada masa pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump telah gagal memperluas pengaruhnya di Asia Pasifik. Padahal, Obama dan kemudian Biden, bertekad untuk fokus di Indo-Pasifik. Kini, Myanmar menjadi ujian bagi Biden untuk mewujudkan keinginannya membendung China di kawasan.
Terkait dengan hal itu, Funabashi memperingatkan bahwa AS jangan hanya fokus kepada China. Washington perlu terlebih dulu merumuskan kebijakan pokoknya terhadap Asia dan menyesuaikannya dengan konteks persaingan AS-China. Jika memfokuskan pada persaingan dengan China, menurut Funabashi, AS akan kembali gagal di Asia. (AP/REUTERS)