Perjanjian Pelarangan Nuklir Langkah Awal Dunia Bebas Nuklir
Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir yang melarang penggunaan, pengembangan, produksi, pengujian, penempatan, penimbunan, dan ancaman senjata nuklir itu mulai diberlakukan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir akhirnya mulai diberlakukan, tetapi tanpa partisipasi negara-negara besar berkekuatan nuklir. Meski demikian, capaian ini tetap dipuji Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahkan Paus Fransiskus, karena setidaknya merupakan langkah awal membebaskan dunia dari persenjataan nuklir. Ini merupakan perjanjian multilateral tentang perlucutan nuklir pertama selama lebih dari 20 tahun.
Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir yang melarang penggunaan, pengembangan, produksi, pengujian, penempatan, penimbunan, dan ancaman senjata nuklir itu mulai diberlakukan pada Jumat (22/1/2021). ”Ini menunjukkan dukungan pendekatan multilateral untuk perlucutan nuklir,” sebut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pernyataan tertulisnya.
Guterres menilai perkembangan senjata nuklir semakin berbahaya dan dunia harus bergerak cepat memastikan nuklir dihilangkan untuk mencegah konsekuensi bencana lingkungan dan kemanusiaan. ”Penghapusan senjata nuklir tetap menjadi prioritas PBB,” ujarnya.
Paus Fransiskus menyambut baik instrumen internasional pertama yang mengikat secara hukum dan eksplisit melarang senjata nuklir. Jika digunakan secara sembarangan, senjata nuklir akan berdampak pada banyak orang dalam waktu cepat dan merusak lingkungan dalam jangka panjang. ”Saya mendorong semua negara dan rakyat mengupayakan dunia bebas senjata nuklir, berkontribusi pada perdamaian, dan kerja sama multilateral,” ujarnya.
Pada akhir Oktober 2020, terdapat 50 negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu. Awalnya, saat Majelis Umum PBB tahun 2017, ada 122 negara yang meratifikasi. Kini, perjanjian sudah resmi diberlakukan 90 hari setelah berhasil terkumpul 50 tanda tangan negara partisipan, 24 Oktober lalu.
Para aktivis antinuklir berharap perjanjian itu lebih dari sekadar langkah simbolis. Perjanjian ini dinilai masih kurang kuat karena tidak melibatkan sembilan negara berkekuatan nuklir, yakni Amerika Serikat dan Rusia yang menguasai 90 persen persenjataan nuklir di dunia. Selain kedua negara itu, China, Perancis, Inggris, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara juga tidak berpartisipasi.
Jepang, satu-satunya negara yang pernah menjadi korban dari penggunaan senjata nuklir di masa Perang Dunia II, juga saat ini belum mau menandatangani perjanjian itu. Alasannya, pelaksanaan perjanjian itu tidak akan efektif tanpa partisipasi negara-negara berkekuatan nuklir. Padahal, rakyat Jepang sudah mendorong pemerintahnya untuk ikut tanda tangan.
Mereka yang tidak mau berpartisipasi mengaku tetap berkomitmen pada perjanjian nonproliferasi nuklir sebelumnya yang lebih bertujuan mencegah penyebaran persenjataan nuklir. Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir disusun melalui inisiatif Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir (ICAN), organisasi nonpemerintah yang memenangkan Nobel Perdamaian tahun 2017.
Direktur Eksekutif ICAN Beatrice Fihn menilai perjanjian yang menjadi hukum internasional itu merupakan langkah maju bagi PBB dan para korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. ”61 negara sudah meratifikasi perjanjian itu dan kemungkinan akan disusul negara-negara lain. Kami akan berusaha mendorong lebih banyak negara,” ujarnya.
Perjanjian ini penting karena kini menjadi instrumen hukum sepenting Konvensi Geneva tentang perlakuan terhadap warga sipil dan tentara selama perang dan konvensi yang melarang senjata kimia, biologi, dan ranjau darat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengendalian Persenjataan Daryl Kimball menilai perjanjian ini merupakan langkah bersejarah menuju dunia bebas senjata nuklir. Ia berharap perjanjian ini akan mendorong negara-negara bersenjata nuklir memenuhi komitmen mereka untuk menghapuskan senjata nuklir.
Fihn juga akan menekan lembaga-lembaga keuangan untuk tidak lagi memberikan modal kepada 30-40 perusahaan yang terlibat dalam produksi senjata nuklir dan rudal termasuk Airbus, Boeing, dan Lockheed Martin. (AFP/AP)