Pelantikan Presiden AS terpilih, Joe Biden, Rabu (20/1/2021), akan dinantikan dunia. Banyak yang menaruh harapan tinggi kepada AS dalam banyak hal. Namun, Biden menghadapi tantangan dalam dan luar negeri yang tak mudah.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden, akan dilantik menjadi Presiden ke-46 AS, Rabu (20/1/2021). Setelah masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, kini dunia menyambut era baru Amerika di bawah Biden.
Dari pemerintahan Trump, Biden mewarisi serangkaian tantangan serius untuk diselesaikan, mulai dari respons pandemi Covid-19, ekonomi yang tertatih-tatih, sistem politik yang hancur, krisis keadilan rasialis yang berkepanjangan, dan posisi geopolitik AS yang rentan di dunia.
Biden telah mengatakan bahwa kebijakan luar negeri pertamanya adalah memanggil para pemimpin dunia dan mengatakan,”Amerika telah kembali: kalian bisa mengandalkan kami.” Biden telah menyusun rencana membatalkan penarikan AS dari badan-badan dunia, mencabut kebijakan berbahaya, mengakhiri ”perang berkepanjangan”, dan memulihkan aliansi. Ia juga berjanji memprioritaskan perubahan iklim di samping pandemi Covid-19.
Berdasarkan tinjauan atas pernyataannya selama kampanye dan memo terbaru dari Ron Klain, calon kepala staf Gedung Putih, setelah resmi dilantik pada hari Rabu, Biden direncanakan segera mengumumkan keikutsertaan AS dalam Kesepakatan Perubahan Iklim Paris dan bergabung kembali dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain itu, Biden juga akan segera memulai proses bergabung kembali dalam Perjanjian Nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi dan mencabut pembatasan perjalanan warga dari negara Islam ke AS.
Komitmen-komitmen Biden itu akan menjadi sorotan utama. Namun, menurut Samantha Power, Guru Besar di Harvard Kennedy School and Harvard Law School pada Foreign Affairs, itu saja tidak akan cukup. Biden menghadapi persoalan dalam negeri yang tak kalah besar, yaitu memulihkan kepercayaan rakyat AS yang terpolarisasi tajam terhadap kepemimpinan AS. Polarisasi rakyat AS pasca-Trump justru lebih hebat ketimbang kondisi sebelum era Trump.
Pada dasarnya, Biden membingkai kampanye kepresidenannya sebagai respons terhadap Trump. Ia berjanji untuk ”mengembalikan jiwa” Amerika.
Banyak anggota partai Demokrat yang mengatakan bahwa cara terbaik bagi Biden untuk menyatukan kembali bangsa AS dan memulihkan kepercayaan kepada pemerintah adalah mencapai hasil terukur dalam menangani masalah semua warga AS, termasuk merespons pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi.
Dalam respons terhadap pandemi, pada Kamis (14/1/2021), pemerintahan Biden mengajukan dana stimulus hampir 2 triliun dollar AS untuk memulihkan ekonomi akibat pandemi yang di dalamnya termasuk 20 miliar dollar AS untuk mempercepat distribusi vaksin Covid-19 dan 50 miliar dollar AS untuk tes Covid-19.
Para pakar kesehatan berharap percepatan vaksinasi oleh pemerintahan Biden akan bisa mencapai target vaksinasi 100 juta orang dalam 100 hari pertama masa kerjanya sebagai presiden.
Dari Seoul, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in meminta pemerintahan baru AS di bawah Biden memanfaatkan pencapaian sekaligus belajar dari kegagalan Presiden Trump dalam mengelola dinamika di Semenanjung Korea. Moon juga berharap Biden dapat memulai kembali pembicaraan antara Washington dan Pyongyang yang masih buntu di bawah pemerintahan Trump.
Melalui film dokumenter perjalanan 11 hari Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 2019 untuk bertemu Presiden Trump di Hanoi, Vietnam, yang ditayangkan stasiun televisi pemerintah, KCTV, Rabu lalu, Pyongyang sendiri seperti ingin mengirim pesan bahwa AS dan Korut bisa mengatasi perselisihan mereka selama 70 tahun dan pertemuan bilateral membuka masa depan baru. Namun, jika di perundingan itu dibahas usulan-usulan yang adil bagi kedua belah pihak.
Di tengah banyaknya perubahan yang mungkin terjadi di bawah kepemimpinan Biden, sikap AS soal China kemungkinan tidak akan berubah. Avril Haines, mantan pejabat Gedung Putih dan pejabat Badan Pusat Intelijen Pusat AS (CIA) yang dipilih Biden untuk mengisi posisi direktur Intelijen Nasional AS menyatakan, intelijen tetap akan mengawasi ketat China. (AP/REUTERS)