Normalisasi Arab Teluk Dimulai Bertahap, Qatar Airways Lewati Udara Arab Saudi
Langkah pertama normalisasi hubungan Qatar dan kuartet Arab adalah pembukaan wilayah udara Arab Saudi bagi maskapai Qatar AIrways. Pembukaan jalur udara itu penting bagi Qatar, negara tuan rumah Piala Dunia 2022.
RIYADH, JUMAT — Normalisasi hubungan antara Qatar dan Arab Saudi dan sejumlah negara Arab dimulai secara bertahap setelah kuartet negara, yaitu Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, sepakat mencabut sejumlah pembatasan. Langkah pertama adalah dibolehkannya kembali maskapai Qatar Airways terbang di atas wilayah Arab Saudi, Kamis (7/1/2021), setelah lebih dari 3,5 tahun negara kuartet Arab itu memblokade Qatar.
Sementara itu, normalisasi hubungan diplomatik masih membutuhkan banyak waktu. Para pihak membutuhkan waktu untuk bisa memulihkan kepercayaan di antara mereka.
”Malam ini #QatarAirways mulai mengubah rute beberapa penerbangan melalui wilayah udara Saudi dengan penerbangan terjadwal pertama diharapkan menjadi QR 1365, Doha ke Johannesburg (Afrika Selatan) pada 20:45 (1745 GMT) malam ini, 7 Januari,” tulis maskapai itu di akun Twitter mereka.
Baca juga: Pelukan MBS-Sheikh Tamim Cairkan Ketegangan Hubungan Arab Saudi-Qatar
Jalur udara yang dipulihkan menjadi sangat penting bagi Qatar, yang juga akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Selain itu, pembukaan wilayah udara Arab Saudi bagi Qatar membuat Doha berhemat secara keuangan. Saat diblokade, pemerintahan Qatar harus membayar lebih dari 100 juta dollar Amerika Serikat per tahun kepada Iran agar bisa melewati wilayah udaranya, seperti dilaporkan The New York Times.
Selain wilayah udara, Pemerintah Arab Saudi juga memutuskan untuk membuka perbatasan darat dan lautnya dengan Qatar.
Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash, pada konferensi pers virtual, mengatakan bahwa dalam sepekan mendatang, empat negara Arab akan melaksanakan beberapa langkah untuk memulihkan hubungan dengan Qatar selain hubungan diplomatik, termasuk perdagangan dan pengiriman barang.
Butuh waktu
Gargash juga menyatakan, masalah lain seperti memulihkan hubungan diplomatik penuh akan memakan waktu mengingat masalah geopolitik, seperti Iran, Turki, dan kelompok Islam politik yang dianggap oleh para otokrat tradisional Arab sebagai ancaman eksistensial.
”Beberapa masalah lebih mudah diperbaiki dan beberapa lainnya akan membutuhkan waktu lebih lama. Kami memiliki awal yang sangat baik. Tetapi, kami memiliki masalah dengan membangun kembali kepercayaan,” kata Gargash.
Ia menambahkan bahwa kelompok kerja bilateral akan mencoba untuk memajukannya.
Baca juga : Arab Saudi Akhiri Blokade atas Qatar, Emir Qatar Hadiri KTT Arab Teluk
Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir memberlakukan embargo terhadap Qatar atas tuduhan bahwa mereka mendukung terorisme dan bersahabat dengan ”musuh” negara Arab, yaitu Iran. Kedekatan Doha dengan Teheran, dukungan pemerintah Qatar terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang kemudian mendorong terjadinya Musim Semi Arab di sejumlah negara, memperkuat alasan pemboikotan tersebut. Turki, seperti halnya Qatar, mendukung kelompok IM yang menjadi organisasi terlarang di Mesir.
Keempat negara kuartet Arab menuntut Qatar memenuhi 13 persyaratan agar mereka bisa mengakhiri boikot, termasuk menutup stasiun televisi Al Jazeera, menutup pangkalan militer Turki, memutuskan hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, dan mengurangi hubungan dengan Iran. Doha membantah tuduhan itu dan mengatakan boikot itu bertujuan untuk membatasi kedaulatannya.
Ketegangan antara Qatar dan kuartet Arab mencair pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), perkumpulan enam negara di kawasan Arab Teluk, di kota Al Ula, Arab Saudi, Selasa (5/1/2021). Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani hadir pada KTT itu atau kehadirannya pertama kali di KTT GCC sejak negaranya diblokade tahun 2017. Ia hadir setelah Arab Saudi mengumumkan penghentian blokade darat, laut, dan udara terhadap Qatar.
Baca juga: Qatar Bertahan dari Blokade, Qatar Kian Mandiri
Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani mengatakan kepada Financial Times bahwa Doha telah setuju untuk menangguhkan kasus hukum terkait boikot, termasuk di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Mahkamah Internasional. Dia mengatakan, Qatar juga akan bekerja sama dalam kontra-terorisme dan keamanan transnasional. Tetapi, kesepakatan itu tidak akan mempengaruhi hubungan Qatar dengan Iran dan Turki.
Memperbaiki keretakan
Gargash mengatakan, masalah utama dengan Turki dan Iran adalah campur tangan dalam kedaulatan dan kepentingan negara-negara Arab. Memperbaiki keretakan Teluk, diyakini Gargash, akan mendorong lebih banyak ”kesepakatan kolektif tentang masalah geostrategis” meskipun ada perbedaan dalam pendekatan.
Sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pemerintahan Trump dan Riyadh menekan pemerintahan tiga negara pemboikot (Bahrain, UEA, dan Mesir) menandatangani kesepakatan itu. Arab Saudi akan bergerak lebih cepat daripada sekutunya untuk memulihkan hubungan.
Baca juga : Qatar Cemerlang di Mata Dunia
”Satu-satunya hal buruk bagi UEA jika menolak menandatanganinya adalah terisolasi, memperlihatkan perpecahan yang sebenarnya dengan Arab Saudi,” kata Kristin Smith Diwan, peneliti senior pada Institut Negara Teluk Arab di Washington. Dia menyebutkan, kesepakatan itu tidak mengubah persaingan ideologis dan strategis UEA dan Qatar.
Blokade yang dilakukan empat negara Arab dinilai gagal untuk mengucilkan dan tak memiliki daya rusak yang besar bagi sekutu kecil AS ini. ”Dalam hal kebijakan luar negeri, hubungan internasional blokade, Qatar tidak perlu banyak berubah karena dasar blokade itu awalnya lemah,” kata Jocelyn Sage Mitchell, asisten profesor pada kampus Northwestern University di Qatar.
Baca juga : Pengadilan PBB Menangkan Qatar dalam Kasus Blokade Udara oleh Kuartet Arab
Dia mengatakan, upaya kuartet untuk mengisolasi Qatar secara internasional gagal. Ini, ditambah dengan pemerintahan Biden yang akan datang di Washington yang diharapkan mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Arab Saudi dan kembali terlibat dengan Iran, menempatkan Qatar dalam posisi negosiasi yang kuat.
”Saya tidak berharap untuk melihat konsesi atau perubahan signifikansi dari Qatar,” kata Mitchell. ”Doha benar-benar digunakan, dan diakui, dan disambut dengan kemampuan mereka untuk menjadi sekutu di tengah.”
Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, berusia 37 tahun ketika krisis meletus pada pertengahan 2017. Blokade itu menandai tantangan politik terbesar dalam pemerintahannya.
Pada hari-hari awal boikot, warga yang khawatir bergegas ke toko bahan makanan di ibu kota Doha untuk memborong susu dan makanan impor lainnya. Pemerintah Qatar segera mengambil dari cadangan uangnya yang besar, menggunakan rute pengiriman dan penerbangan alternatif, menerbangkan ribuan ternak untuk memastikan pasokan susu segar yang stabil, dan memperdalam aliansi dengan Turki dan Iran.
Qatar juga menggunakan lokasinya yang strategis di Teluk Persia sebagai produsen gas alam cair terbesar di dunia untuk melanjutkan pengiriman ke negara-negara besar dunia. Pasokan konstruksi dialihkan, memungkinkan Qatar untuk terus membangun jalan baru, hotel, dan stadion megah sebagai bagian dari persiapan menjadi tuan rumah ajang akbar sepak bola Piala Dunia 2022.
Tekad dan penanganan Sheikh Tamim atas krisis melambungkan popularitasnya di dalam negeri. Foto wajahnya terpampang di gedung-gedung tinggi dan jendela mobil dengan janji setia dan slogan-slogan yang memujinya sebagai ”mulia”. Museum Nasional Qatar mendedikasikan sebuah galeri untuk negara soliter di bawah kepemimpinannya di tengah krisis.
Baca juga : Empat ”Pendekar Muda” di Balik Rekonsiliasi Arab Teluk
Penguasa muda, sekarang berusia 40 tahun, dipandang sebagai ”tangan yang tegas, mantap, bijaksana, dan dewasa di belakang kemudi,” kata Mitchell, yang telah tinggal di Qatar selama 13 tahun. Dia menyaksikan negara berpenduduk 2,7 juta orang itu mendukung pemimpin mereka.
Menurut Ayham Kamel, Kepala Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Grup Eurasia, karena embargo telah berakhir, Qatar dapat melunakkan beberapa kebijakannya, tetapi kemungkinan tidak akan memutuskan hubungan dengan Turki. Karena itu, lanjut Kamel, semua negara Teluk tidak akan menyelaraskan kebijakan luar negerinya.
”Masalah ini sekali lagi bisa menjadi masalah karena dukungan Qatar untuk organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh wilayah dapat menjadi signifikan,” ujar Kamel. (AFP/AP/REUTERS)