Pacuan Militer Sonder Tentara
Kemajuan teknologi telah mengubah strategi negara dalam memperkuat pertahanannya. Berkat teknologi robotik dan kecerdasan buatan, kekuatan militer negara kini bisa tak lagi sepenuhnya bergantung pada jumlah tentara.
Ilmuwan nuklir andalan Iran, Mohsen Fakhrizadeh, tewas ditembak dari jarak dekat dengan senapan mesin yang terpasang di sebuah mobil bak terbuka saat ia tengah berkendara menuju kantornya di dekat Teheran, 27 November lalu. Ia ditemani istrinya dan dikelilingi sejumlah pengawal. Anehnya, hanya Fakhrizadeh yang tewas. Seorang pengawal yang berusaha melindungi dirinya juga terkena tembakan. Istri Fakhrizadeh, yang duduk berjarak 25 sentimeter dari dirinya, tak terluka sedikit pun.
Di sekitar tempat kejadian tak tampak satu penembak pun. Wakil Komandan Garda Revolusioner Ali Fadavi kemudian melemparkan dugaan, senapan mesin itu dikendalikan satelit dengan kecerdasan buatan. Teheran menuding Israel dan kelompok oposisi sebagai pelaku. Dewan Keamanan Nasional Iran lalu mengumumkan, serangan itu dilakukan dari jarak jauh dengan ”metode khusus” dan ”peralatan elektronik”. Tembakan itu diarahkan hanya ke wajah Fakhrizadeh.
Baca juga : Fakhrizadeh Dibunuh dengan Teknologi Canggih
Dugaan yang diyakini Iran sebagai kebenaran ini kembali mengangkat pembicaraan tentang penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), terutama sebagai persenjataan. Sejak lama ilmuwan, birokrat, pengamat berdebat tentang AI ini. Pada 2015, mendiang Stephen Hawking termasuk salah satu dari 1.000 ilmuwan yang menandatangani surat terbuka meminta agar pengembangan AI untuk kepentingan militer dilarang.
Alasannya, kata Noel Sharkey, profesor anggota Kampanye Melawan Robot Pembunuh, jika militer memiliki akses terhadap persenjataan canggih seperti itu, konsekuensinya tidak terbayangkan. ”Kalau persenjataan itu otonom atau bisa beroperasi sendiri dengan teknologi pengenalan wajah, tinggal tunjuk lalu bunuh orang, hal itu akan mengacaukan keamanan seluruh dunia,” ujarnya.
Amunisi berpemandu-presisi pertama kali digunakan AS pada Perang Vietnam. Senjata itu dipakai lagi pada Perang Teluk dengan teknologi lebih canggih. Kini, persenjataan semacam itu kian canggih dan lebih presisi dari jarak yang lebih jauh. ”Amunisi presisi sekarang sudah ada di mana-mana. Hampir semua negara besar sudah punya,” kata Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Mark Milley.
Era yang berubah
Ini semua berkat teknologi telekomunikasi dan informasi yang memungkinkan semua orang bisa melihat dan mengetahui segalanya. Dengan teknologi, semua orang bisa melihat apa pun, ke mana pun, dan bisa mengincar target dari jarak jauh. Ini, kata Milley, membuat karakter perang berubah total. Perubahan karakter perang ini didorong teknologi, seperti robotik, persenjataan hipersonik, dan AI.
”Di masa depan, bisa jadi semua unit tank bisa beroperasi tanpa awak. Begitu pula pesawat tempur atau bahkan kapal perang atau kapal induk, juga bisa tanpa awak. Secara teori, itu mungkin terjadi,” ujar Milley.
Baca juga : Surena 4 dan Lompatan Teknologi Iran
Negara yang menguasai teknologi semacam itu jelas akan unggul jika terlibat dalam peperangan. Toh, penggunaan teknologi awal sudah ada sejak pertengahan tahun 1920-an. Berdasarkan pengalaman selama ini, siapa yang menguasai teknologi persenjataan bisa menang. Menyadari pentingnya teknologi untuk kepentingan militer, Milley menilai sudah saatnya AS mengubah strategi pertahanan keamanannya dengan mengurangi jumlah pasukan di luar negeri. Selain bisa mengurangi anggaran, strategi itu bisa lebih menjamin keamanan warga AS.
Selama puluhan tahun AS menempatkan orang-orangnya di pangkalan-pangkalan militer permanen di sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Jepang, Afghanistan, dan Eropa. Milley menilai, sudah terlalu banyak infrastruktur permanen AS di luar negeri. Padahal, anggaran Departemen Pertahanan AS kemungkinan tak akan bertambah atau malah berkurang.
Baca juga : Belanja Pertahanan AS dan China Mendominasi Dunia
Pentagon mau tak mau harus mencari cara menghemat anggaran dan memprioritaskan investasi pada pasukan modern masa depan. Apalagi jika mau berhadapan dengan China yang juga menggenjot teknologi militernya dengan memanfaatkan teknologi robotik dan AI. AS juga harus bersiap menghadapi Rusia. Ini tak mudah bagi AS. Kekuatan AS cenderung berkembang lebih lambat daripada dua negara itu.
Setelah Perang Dunia II, AS memang unggul mengembangkan senjata nuklir, kapal selam bertenaga nuklir, komunikasi satelit, rudal balistik, pesawat siluman, senjata berpemandu-presisi, dan jaringan komunikasi yang canggih. Namun, selama 10 tahun terakhir, kemajuan teknologi militer AS tak secepat China, terutama dalam teknologi AI dan robotik. Dari sisi ini, AS bukan lagi negara adidaya.
Berbeda dengan AS yang tengah bergelut dengan anggaran pertahanan, China justru mengalokasikan anggaran lebih banyak ke pertahanan. Harian South China Morning Post, 12 November 2020, menyebutkan, China menggenjot teknologi AI untuk mengubah militernya menjadi pasukan modern. Menurut rencana pembangunan lima tahun China, Presiden Xi Jinping menghendaki Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) berubah menjadi kekuatan militer modern pada 2027 agar bisa mengimbangi AS.
Robot tentara
Wakil Ketua Komisi Militer Pusat China Xu Qiliang menekankan pentingnya teknologi pintar dan inovasi dalam memodernisasi PLA. Proses perubahan itu harus dengan membangun kekuatan tempur tanpa perlu terlalu banyak tenaga manusia, tetapi cukup dengan teknologi canggih.
Baca juga : China Pamerkan Kemajuan
Selama beberapa tahun terakhir, China menggenjot penelitian dan pengembangan pesawat tempur canggih generasi keenam; senjata energi tinggi, seperti laser; rail gun (teknologi senjata militer berbasis elektromagnetik); radar kuantum dan sistem komunikasi; materi-materi siluman; robot tempur otonom; pesawat ruang angkasa; dan teknologi biologi, seperti prostetik.
Ketika Kompas diundang Pemerintah China melihat kawasan industri teknologi dan pameran pembangunan China pada tahun 2017 di sela-sela Kongres Partai Komunis China, berbagai inovasi teknologi militer dipamerkan. Salah satunya, prototipe robot tempur berbentuk seperti RoboCop atau robot-robot dalam film sains fiksi yang dilengkapi senjata otomatis. Untuk mengaktifkan robot tempur itu, disebutkan cukup dengan menggunakan komputer jinjing dan dari jarak jauh. Robot tempur itu melengkapi sederet kendaraan militer dan rudal-rudal balistik yang dipamerkan dalam bentuk miniatur.
Selain China, seperti disebutkan harian The Guardian, 8 November 2020, Inggris juga hendak mengembangkan robot tentara. Menurut rencana, akan ada 30.000 robot tentara pada 2030. Robot-robot itu akan mendampingi tentara betulan di medan pertempuran. Kepala Angkatan Bersenjata Inggris Nick Carter mengatakan, angkatan bersenjata Inggris pada 2030 akan lebih banyak menggunakan peralatan otonom atau yang dikendalikan dari jarak jauh.
Baca juga : ”Perang Drone” AS-China
Alasan berinvestasi pada robot tentara ini antara lain karena selama beberapa tahun terakhir semakin sulit merekrut tentara baru. Saat ini hanya ada 73.870 tentara yang terlatih. Padahal, targetnya adalah 82.050 tentara. Untuk memenuhi kebutuhan militer, digunakanlah teknologi. Namun, sesuai kebijakan Dephan Inggris, pengendali teknologi itu harus tetap manusia. Si pembuat keputusan menembak atau tidak menembak tetap harus manusia.
Kecerdasan buatan
Saat masih menjabat Menteri Pertahanan AS, Mark Esper mengungkapkan, banyak negara kini berpacu mengembangkan AI untuk kepentingan militer. AI berpotensi mengubah medan pertempuran. Bukan hanya China yang harus diawasi terus, tetapi juga Rusia yang sedang menggenjot investasi untuk teknologi. Rusia menggunakan kombinasi pesawat tanpa awak, serangan siber, serta serangan artileri canggih dan terkoordinasi ketika menginvasi Ukraina. Sejak itu, Rusia terus mengembangkan AI untuk semua kendaraan perang, pesawat, dan kapal selam nuklirnya.
Dengan ambisi menjadi pemimpin AI dunia, China dalam 10 tahun ini pun sedang mengembangkan pesawat tanpa awak jarak jauh yang mampu menyerang dengan tepat dan mematikan. China juga sedang mengembangkan pesawat siluman tanpa awak generasi baru dan akan dijual kepada siapa pun yang membutuhkan.
Namun, Esper mengingatkan bahwa AS berbeda dengan China yang menyalahgunakan AI, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. AI digunakan untuk memata-matai seluruh rakyatnya dan menindak atau melakukan kekerasan berdasarkan data yang dikumpulkan dengan bantuan AI. AS mengadopsi prinsip-prinsip etika dalam penggunaan AI, seperti transparan, andal, dan diatur oleh pemerintah. ”AS tetap bertanggung jawab dalam pengembangan dan aplikasi teknologi itu,” ujarnya.
Pengembangan teknologi militer dengan AI ini dikhawatirkan tidak terkendali, apalagi jika dibiarkan beroperasi sendiri atau tanpa manusia sebagai pengendali. Lembaga Human Rights Watch (HRW) mendesak perlunya pakta internasional yang baru untuk menghentikan perlombaan persenjataan otonom, khususnya robot tentara atau yang disebut ”robot pembunuh”. ”Sistem persenjataan yang memilih dan menyerang tanpa kendali manusia tidak boleh dibiarkan,” kata HRW.
Baca juga : AI Mengubah Kehidupan hingga Geopolitik
Kampanye Hentikan Robot Pembunuh oleh HRW gencar dilakukan karena semakin banyak negara yang berinvestasi pada bidang itu, seperti AS, Rusia, China, Israel, Korea Selatan, dan beberapa negara di Eropa. Paling tidak ada 30 negara yang mendukung HRW dan meminta agar senjata otonom dilarang. Ke-30 negara itu, antara lain, adalah Argentina, Brasil, Mesir, Irak, Meksiko, Pakistan, Vatikan, dan Venezuela.
”Banyak yang khawatir jika mesin dan robot yang dibiarkan membunuh di medan peperangan,” kata Direktur Advokasi Persenjataan HRW Mary Wareham.
Isu kemanusiaan
Selama puluhan tahun, militer telah menggunakan pesawat tanpa awak, rudal, dan persenjataan semi otonom untuk membunuh sasaran. Namun, semuanya masih berada di bawah kendali pengawasan manusia. Dalam perkembangannya, manusia justru dianggap menghambat kecepatan pengambilan keputusan dan tindakan.
Sejumlah negara, seperti AS, Rusia, Israel, dan China, merasa memerlukan teknologi senjata otonom yang mampu mengidentifikasi, menyasar, dan membunuh sasaran tanpa campur tangan manusia. Ini yang dikhawatirkan akan mengancam eksistensi kemanusiaan dan kehidupan.
Memberikan mesin kekuatan untuk menentukan hidup atau mati manusia sudah jelas melanggar prinsip-prinsip martabat manusia. Tidak ada jaminan juga mesin-mesin itu tidak akan salah perhitungan sehingga justru akan membunuh orang tak bersalah.
”Kita tidak bisa begitu saja percaya pada algoritma, seberapa pun cerdasnya teknologi AI itu. Apalagi dalam situasi perang yang kompleks. Manusia yang tetap harus pegang kendali,” kata Noel Sharkey, Ketua Komite Internasional Pengendalian Persenjataan Robot serta pakar AI dan robotik di University of Sheffield, Inggris.