AI Mengubah Kehidupan hingga Geopolitik
Carilah satu titik lokasi lewat aplikasi peta di telepon seluler cerdas. Akan muncul lokasi dan arah terbaik menuju lokasi tersebut.
Itulah hasil dari pekerjaan yang dilakukan telepon cerdas. Ada banyak aplikasi lain di ponsel cerdas untuk pencarian tiket, hotel, hingga pencatat tekanan darah, pendeteksi tingkat emosi, dan lainnya.
Pada dasarnya semua itu adalah hasil pemikiran manusia yang diaplikasikan ke dalam sistem sehingga mesin-mesin mini bisa menggantikan peran manusia. Namun, aplikasi-aplikasi seperti itu baru tahap awal.
Pemanfaatan kemajuan teknologi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini sedang bergelora.
Penerapan lanjutan pemikiran manusia ke dalam sistem ini akan menghasilkan teknologi terbaru yang canggih dan juga mesin otomasi. Pemanfaatan kemajuan teknologi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini sedang bergelora.
Penerapannya akan mengubah pola kehidupan secara signifikan, termasuk pekerjaan. Contoh sederhananya, jika dulu kita membayar tol dengan memberi uang kepada petugas, kini cukup dengan menempelkan kartu ke mesin yang otomatis membuka gerbang.
Definisi AI
Ini dimungkinkan karena AI adalah seperangkat otomasi berbasis algoritma. Dalam ilmu matematika dan sains komputer, algoritma adalah sebuah spesifikasi, yang membuat mesin tidak akan bingung saat menyelesaikan persoalan, tidak akan mudah panik seperti saat manusia menghadapi situasi terbaru. Algoritma dapat melakukan kalkulasi, memproses data, dan melakukan tugas-tugas otomatis lewat teknologi komputer.
AI disebut juga sebagai mesin yang berotak, yang diprogram untuk berpikir seperti manusia dan meniru bagaimana seseorang beraktivitas. Daya inteligensi yang didemonstrasikan oleh mesin-mesin kontras dengan inteligensi manusia atau hewan.
AI mampu melakukan sebagian tugas-tugas dengan dorongan mirip otak menggerakkan manusia. AI menghasilkan prediksi kuat sembari meminimalkan keruwetan yang ada pada manusia.
Pada sains komputer, riset AI didefinisikan sebagai studi tentang agen-agen intelijen guna menemukan perangkat yang dapat mengenali lingkungannya. Agen-agen ini melakukan pekerjaan maksimal untuk meraih sukses.
Terminologi AI ini meniru fungsi kognitif seperti saat manusia berinteraksi dengan pikiran-pikiran manusia lainnya. Fungsi kognitif ini termasuk dalam hal belajar dan cara penyelesaian persoalan seperti dituliskan dalam buku berjudul Artificial Intelligence: A Modern Approach (AIMA) yang ditulis oleh Stuart J Russell dan Peter Norvig pada 2009.
Eleonore Pauwels, periset tentang Emerging Cybertechnologies dari United Nations University (UNU) menyebut, AI dalam bentuknya sekarang sebagai pelajaran yang dalam (deep learning). Mesin dengan kecerdasan buatan ini mampu beradaptasi dengan data, situasi baru dan terlatih memahami keadaan dan membaca pola seketika.
Sebagai contoh, jika di jalanan ada tabrakan mendadak dan memacetkan, hal ini akan segera terpampang di notifikasi di layar. Sebab, mesin cerdas ini memiliki jaringan neural buatan.
Efek ekonomi
Pauwels menambahkan, AI yang terus berkembang akan mengubah pola kehidupan. Kelanjutan pengembangan dari mesin-mesin berotak ini akan memunculkan kinerja yang tak terduga.
Pada 8 November 2018, misalnya, kantor berita Xinhua lewat kerja sama dengan mesin pencari, Sogou, berhasil menampilkan ”manusia buatan” yang mirip pembaca berita asli di televisi berbasis teknologi kecerdasan buatan terkini. Manusia buatan ini mampu membaca teks berita dan suaranya juga diterjemahkan langsung ke dalam berbagai bahasa.
Ini baru pertama kali terjadi dalam simulasi pemberitaan televisi. Xinhua mengatakan jika bisa direalisasi, ”pembaca berita” buatan ini bisa tampil 24 jam dan mengurangi biaya produksi.
Peningkatan produktivitas dan nilai tambah ekonomi adalah salah satu alasan di balik pengembangan AI. Seiring dengan itu, laporan dari The McKinsey menyebutkan AI akan meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Ini didasarkan pada analisis McKinsey tentang manfaat AI yang diterapkan pada bidang-bidang seperti visi komputer, bahasa alamiah, bantuan-bantuan virtual, proses otomasi robot, dan mesin dengan kemampuan pemahaman lebih maju.
Pada bidang-bidang ini, AI berpotensi meningkatkan 16 persen atau menambahkan 13,3 triliun dollar AS pada 2030 terhadap total produk domestik bruto (PDB) sekarang. Berdasarkan data Bank Dunia, total PDB pada 2017 sebesar 80,68 triliun dollar AS. ”Jika terwujud, dampak ekonomi ini setara dengan pencapaian ekonomi berkat kemajuan teknologi sepanjang sejarah,” demikian laporan McKinsey.
”Sebagai contoh, pengenalan mesin uap pada 1.800-an meningkatkan produktivitas tenaga kerja 0,3 persen setiap tahun. Kehadiran robot pada 1900-an menaikkan produktivitas 0,4 persen per tahun dan penyebaran penggunaan teknologi informasi sepanjang 2000-an menaikkan produktivitas 0,6 persen,” demikian dituliskan oleh Irving Wladawsky-Berger.
Penulis ini pernah bekerja selama 37 tahun di IBM dan kemudian menjadi penasihat strategis di Citigroup, HBO, dan Mastercard. Dia berafilisasi dengan MIT dan Imperial College, serta menjadi kontributor rutin untuk CIO Journal. Untuk penerapan AI, peningkatan produktivitas diperkirakan akan jauh lebih tinggi lagi.
Ambisi China
Berbicara tentang isu AI ini, pemanfaatan awal dan pengembangan lebih pesat dan meluas terjadi di China. Negara ini sudah memanfaatkan AI demi kenyamanan transportasi kota-kota sejak 2012. Ini diungkapkan pada satu seminar di Palo Alto, California, Amerika Serikat.
Implementasi kota-kota cerdas berbasis AI di China berkembang pesat. ”Warga China sangat antusias mengadopsi teknologi baru,” kata Wenli Yu, seorang pengusaha dan eksekutif sebuah perusahaan di Silicon Valley, AS.
Di China, sensor-sensor sudah dipasang di hampir semua tempat, termasuk sensor di jalanan untuk pelacakan lalu lintas, sensor garasi yang membuat para sopir menemukan parkir kosong. Ini bertujuan membantu kelancaran arus lalu lintas, memperbaiki penegakan hukum bagi para pelanggar rambu-rambu lalu lintas dan membuat bangunan-bangunan publik lebih efisien pemanfaatannya.
”Hampir semua kota utama di China sedang berbicara soal kota cerdas, data besar (big data), AI, dan komputasi awan (bank data yang tersambungkan),” kata Li Yangming, ahli TI senior dan pakar di China National Petroleum Corporation serta peneliti tamu di Stanford Asia-Pacific Research Center.
”Sekarang Alibaba memiliki 10 proyek operasional Alibaba City Brain dengan menggunakan algoritma AI untuk memonitor dan mengontrol sinyal lalu lintas dan kamera-kamera di jalanan,” kata Li.
Sistem subway berkecepatan tinggi dibangun di hampir semua kota utama didukung biaya rendah oleh perusahaan telekomunikasi di China untuk paket data.
17 bidang
Perburuan China soal AI ke depan mencakup 17 bidang. Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China telah mengundang perusahaan-perusahaan untuk mendalami 17 bidang AI dengan jadwal-jadwal pencapaian. Misalnya pada 2020 China sudah bisa melakukan terobosan pada teknologi kunci seperti kendaraan otomatis (swakemudi), robot yang menangani sektor jasa termasuk perbankan, dan pengenalan wajah dengan tingkat kesuksesan 97 persen, serta realisasi rumah-rumah pintar.
Rencana ini sudah dipajang pada 14 November 2018 oleh kementerian tersebut. Di dalam rencana itu termasuk intelligent drones, semacam pesawat mini tanpa awak dengan kecerdasan buatan, peralatan teknologi kunci di pabrik-pabrik, kolaborasi antara manusia dan robot.
Pada 2020 juga direncanakan keberadaan mesin-mesin pendiagnosis kesehatan dengan tingkat kesuksesan 95 persen untuk otak, paru-paru, mata, tulang, jantung, dan simptom atas penyakit. Hingga rencana bedah operasi oleh robot dengan teknologi berbasis AI pun direncanakan. Demikian pula robot penolong lansia.
Liu Quan, Direktur Department of Artificial Intelligence and Network Law di Central University of Finance and Economics, kepada First Financial Journal menyatakan, 17 bidang itu penting untuk industri terkait pembangunan sosial ekonomi dan signifikan menaikkan produktivitas pekerja. Itu semua akan meningkatkan kenyamanan dalam produksi dan kehidupan.
Korporasi China pun gencar melakukan pendalaman AI pada bidangnya. Untuk itu Tencent, misalnya, telah mengalokasikan 140 juta dollar AS sebagai hadiah bagi para peneliti muda dengan temuan cemerlang terkait AI. ”Hampir semua industri belum menghadapi digitalisasi dan Tencent akan memainkan peran besar untuk itu,” kata Ma Huateng, pendiri Tencent.
Baidu tidak ketinggalan. ”Perusahaan akan meningkatkan peran AI untuk aspek biologi dan upaya perpanjangan usia manusia,” kata pimpinan Baidu, Robin Li Yanhong. ”AI tidak hanya berdampak pada konsumen internet, tetapi juga akan mengubah industri dan jasa.”
Negara-negara terdepan
Apakah pengembangan AI di berbagai bidang akan sukses semuanya? McKinsey juga memperkirakan ada pola kurva S dalam dunia AI ini. Ada adopsi atas AI yang lambat pada awalnya lalu diikuti akselerasi dan kemudian memudar sebelum ditemukan hal baru. Diperkirakan akan ada kegagalan juga dan ini merupakan pemborosan sumber daya.
Pada November 2017 saat konferensi bertema ”AI and the Future of Work”, Profesor MIT Erik Brynjolfsson menjelaskan kurva S berlaku pada penemuan mesin uap, kelistrikan, dan komputasi. Pemanfaatannya membutuhkan waktu lama sebab pemanfaatannya memerlukan sejumlah temuan pendukung dan investasi, termasuk aplikasi pendukung, proses dan model bisnis serta dukungan peraturan.
AI sekarang masih dalam tahap awal. Inovasi penting dan investasi diperlukan untuk penggunaan luas robot, mobil otomatis, dan bantuan virtual, bantuan intelijen, serta aplikasi kesehatan canggih.
Namun, faktor kegagalan dan potensi kelambatan soal adopsi AI tidak menghalangi pengembangannya. China dan AS adalah dua negara terunggul dalam pemanfaatan awal AI. Dua negara ini adalah yang paling getol dengan riset-riset AI.
Setelah kedua negara ini ada Jerman, Jepang, Kanada, dan negara-negara kecil seperti Swedia, Singapura, dan Finlandia. Negara-negara berikutnya adalah India, Italia, dan Malaysia.
Bahkan, AS berpotensi keteteran dari China soal pengembangan AI ini.
Lagi-lagi dari semua negara, hanya China yang paling menarik bagi banyak para pengamat soal pengembangan AI ini. Bahkan, AS berpotensi keteteran dari China soal pengembangan AI ini.
”Pemimpin AS tidak memiliki strategi mencegah kehilangan sejarah. Bayangkan saja, para politisi terpilih di AS tidak memiliki ide soal perang mematika yang sedang berlangsung. China memiliki program publik, sangat dalam dan sangat ekstrem niatnya untuk mendanai pendalaman AI,” demikian dituliskan Steve Andriole, profesor Villanova School of Business di Villanova University.
Jenderal Angkatan Laut AS VeraLinn Jamieson mengatakan, total pembiayaan AI oleh China sebesar 12 miliar dollar pada 2017 dan akan mencapai 70 miliar dollar AS pada 2020. ”Kepemimpinan di Gedung Putih tampaknya kurang tertarik soal strategi untuk mengimbangi China terkait AI,” demikian kata Tristan Greene, pengamat AI yang menulis di TNW tentang ambisi AS soal AI.
AS sebenarnya masih terdepan soal AI dengan peran Google, Amazon, Facebook, Apple, dan IBM, juga banyak perusahaan lainnya. Namun, China mengejar keras mimpi bidang AI. Eropa pun mengakui hal tersebut. Lewat sebuah survei yang dilakukan Kadin Uni Eropa di China disimpulkan, tahun 2018 adalah tahun pertama kali mayoritas responden, yakni para pengusaha Eropa, melihat korporasi di China dalam posisi setara atau lebih inovatif ketimbang perusahaan-perusahaan Uni Eropa.
Pemenang menguasai geopolitik
Akhirnya, isu tentang AI ini tidak luput dari pertanyaan. Siapa yang akan unggul soal kekuatan geopolitik ke depan? ”Karena geopolitik ditentukan oleh banyak faktor yang pastinya akan dipengaruhi secara revolusioner oleh kemajuan AI,” demikian dituliskan oleh John Villasenor, Nonresident Senior Fellow-Governance Studies, Center for Technology Innovation di situs The Brookings Institution.
AI akan merevolusikan sektor manufaktur, transportasi, dan perdagangan agar lebih efisien. AI akan memperbaiki panenan dan membuka ruang baru untuk kemakmuran serta merombak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, AI memaksa negara-negara memikirkan kembali soal keamanan nasional dan arsitektur militer modern.
”Dalam beberapa dekade mendatang, negara-negara yang sukses dengan inovasi AI akan berposisi baik secara ekonomi maupun perbaikan keamanan nasional,” demikian dipesankan Villasenor.
AI juga terkait langsung dengan pemanfaatan teknologi soal kegiatan mata-mata seperti drone (pesawat pengintai tanpa awak). Terkait dengan isu keamanan itu, China misalnya akan menciptakan untuk pertama kali kapal selam tanpa awak dengan stasiun di dalam Laut China Selatan. Kapal selam tanpa awak ini akan sarat dengan kemampuan sains dengan tujuan operasional pertahanan. Penerapan alat ini disampaikan langsung oleh Presiden Xi Jinping.
Para pejabat dan ilmuwan China mengatakan, rencana pemasangan stasiun bawah laut ini akan menganalisis kelautan dan hasilnya dikirimkan ke permukaan. Rasanya tidak mungkin jika upaya ini hanya bertujuan untuk penguasaan biota laut, tetapi juga untuk tujuan keamanan di Laut China Selatan yang telah menjadi isu geopolitik.
Penguasaan AI ini mirip situasi pada dekade 1950-an soal penguasaan ilmu nuklir. ”Pada dekade itu Presiden Perancis Charles de Gaulle memahami bahwa jika Perancis tidak ingin ketinggalan ruang untuk kedaulatannya di tengah dunia yang dikuasai AS dan Uni Soviet, Perancis harus memproses sendiri kekuatan nuklirnya. Sekarang dengan tatanan dunia AI yang didominasi AS dan China, penguasaan AI merupakan sumber daya paling kuat. Maka, Perancis dan Eropa pun harus memasuki ranah ini,” demikian dituliskan Nicolas Berggruen, Ketua Berggruen Institute dan penerbit The WorldPost di harian The Washington Post.
Maka tidak heran jika pada 1 September 2017, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, ”AI adalah masa depan, bukan hanya untuk Rusia, melainkan juga bagi semua penduduk dunia. Siapa saja yang menjadi pemimpin dalam konteks ini akan menjadi pemimpin dunia.”
Persoalan pelik lainnya
Aspek lain dari isu AI ini adalah potensi kesenjangan di antara negara-negara, perusahaan, dan pekerja. Negara-negara berkembang yang belum beranjak dalam kapasitas investasi, infrastruktur digital akan tertinggal. Pendalaman dan penerapan AI dalam kehidupan tidak saja membutuhkan para peneliti andal. Hal ini juga membutuhkan infrastruktur mega, terutama untuk aplikasi AI dengan penggunaan massal.
Jaringan telekomunikasi, misalnya, harus sangat andal dengan sinyal yang kuat dan berbiaya murah. China terdepan soal ini dengan biaya telekomunikasi yang murah, khususnya untuk aplikasi soal kelancaran tranportasi massal dan pemantauan jaringannya.
Namun, di samping potensi kehebatannya AI, juga berisiko menggusur 370 juta pekerja atau sekitar 14 persen dari total angkatan kerja global. Ini akan memaksa pekerja mencari lapangan kerja lain atau beradaptasi agar bisa bekerja di lingkungan AI.
”Di sisi lain kemungkinan ada kebutuhan pekerja yang mampu mengoperasikan AI. Situasi baru ini berpotensi meningkatkan ketimpangan karena pekerja berketerampilan tinggi soal AI berpotensi memiliki gaji dan meraih porsi keuntungan terbesar,” demikian McKinsey.
Manfaat AI kemungkinan menyebabkan distribusi kekayaan yang tidak seimbang. Jika ini tidak diatasi, kemajuan AI tidak saja memperburuk ketimpangan tetapi juga berpotensi mencuatkan konflik. Oleh karena itu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengingatkan agar teknologi bertujuan untuk memberdayakan bukan meninggalkan manusia.
Informasi yang telanjang
Hal yang juga menjadi ancaman dengan pengembangan AI ini adalah kerahasiaan pribadi. Untuk aplikasi-aplikasi di ponsel cerdas sekarang saja para pemakainya sudah tersadap informasi pribadinya. Hal ini dengan jelas mencuat dalam kebocoran data pribadi oleh sebagian mereka yang menggunakan Facebook.
Teknologi AI pada tingkat individu telah mulai mengubah pemahaman soal agen, identitas, dan kerahasiaan pribadi. Penjaringan dan optimalisasi data pribadi, sebuah sarana yang bisa membuka siapa kita, apa yang kita lacak, sedang membentuk kehidupan kita. Informasi ini berpotensi untuk dimanfaatkan demi tujuan oleh pihak lain tanpa kita ketahui.
AI akan bisa memetakan lokasi tinggal, pendapatan, dan profesi. Algoritma bisa memetakan profil, mengawasi, dan menghukum kaum papa. Bukan hanya peta dunia yang berhasil dijajaki, melainkan juga peta kesehatan pribadi. Belum pernah terjadi kita memiliki instrumen pemonitor dan memengaruhi perilaku dan psikologi dalam skala besar.
Kode-kode komputer berteknologi AS akan mampu memetakan pola belanja, kencan, kesukaan, gen, sel, dan data vital. Ini bisa menciptakan potensi konflik kepentingan dalam skala global. ”Bagaimana melindungi pemikiran manusia yang independen di tengah dunia yang didorong teknologi algoritma dengan penggunaan pesat dan melampaui falsafah. Ini masalah mendesak serta dilema yang menekan,” kata Pauwels.
Terkait itu, penyebaran penggunaan AI juga akan berpotensi membuat negara penguasa mengoleksi data tentang siapa saja yang tersambung dengan AI. Ini antara lain persoalan yang melekat dengan perkembangan AI, di samping potensi kehebatannya. (AP/AFP/REUTERS)