Di AS, Tak Semua Warga Antusias Menjadi ”Yang Pertama” Divaksin
Setelah vaksin Covid-19 didistribusikan ke berbagai wilayah di AS, Pemerintah AS dihadapkan pada kendala tak semua warga bersedia divaksin untuk pertama kali. Masih ada keraguan dan kekhawatiran terhadap keamanan vaksin.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Sedikitnya 110.000 orang berusia lanjut yang tinggal di panti jompo-panti jompo di Amerika Serikat tewas akibat Covid-19. Banyaknya korban tewas itu, antara lain, membuat para penghuni panti jompo menjadi salah satu prioritas penerima vaksin Covid-19. Namun, meski jumlah korban di panti jompo sudah sedemikian banyak, ternyata tak semua orang mau divaksin.
Banyak penghuni dan petugas di panti jompo malah menolak vaksin. Alasannya, mereka masih meragukan efektivitas vaksin dan khawatir pada efek samping yang mungkin akan timbul.
”Biar orang lain saja yang divaksin pertama. Nanti beri tahu saya, bagaimana rasanya. Saya masih ragu, apa vaksin itu aman untuk orang usia lanjut dan kondisi kesehatannya rentan,” kata Denise Schwartz yang memiliki ibu berusia 84 tahun yang tinggal di panti jompo di East Northport, New York, AS, dan tidak mau divaksin.
Pemerintah AS mulai mendistribusikan vaksin Covid-19 produksi perusahaan farmasi Pfizer bersama perusahaan asal Jerman, BioNTech, ke berbagai wilayah di AS. Harapannya, proses vaksinasi bisa dimulai, Senin waktu setempat. AS menargetkan akan bisa memvaksin 3 juta orang pada gelombang pertama.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyatakan, vaksin Pfizer-BioNTech ini aman dan sudah terbukti efektif hingga 90 persen. Ini merupakan hasil uji klinis tahap akhir terhadap 44.000 orang dari berbagai kategori usia, termasuk orang usia lanjut dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan tak baik hingga berisiko tinggi tertular Covid-19.
Meski demikian, tetap saja ada rasa takut dan khawatir di panti jompo. Sebagian karena dipicu perpecahan politik, ketidakpercayaan pada institusi, dan salah informasi.
”Orang-orang khawatir karena mendengar informasi dari orang lain yang tidak percaya pada sains,” kata Denise Allegretti, Direktur 1999 SEIU, serikat pekerja tenaga medis terbesar di AS.
Survei-survei internal yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, seperti Yayasan Perawat Amerika, juga menyebutkan banyak pekerja di panti jompo yang menolak vaksin karena khawatir. ”Saya tidak mau menjadi kelinci percobaan. Saya tidak percaya vaksin itu aman,” tulis salah satu responden survei Asosiasi Asisten Perawatan Kesehatan Nasional AS.
Christina Chiger (33) pernah menjadi perawat di panti jompo di Tampa, Florida, lalu memilih berhenti kerja karena sudah tidak tahan bekerja tanpa henti 16 jam selama sembilan bulan. Selama sembilan bulan itu ia stres karena belasan warga panti jompo tempatnya bekerja tewas akibat Covid-19.
Meski trauma, ia tetap tak mau divaksin. ”Apa efek sampingnya? Betul manjur? Kalau kita semua sakit gara-gara vaksin ini, siapa yang akan merawat pasien-pasien di panti jompo?” ujar Chiger.
Penolakan vaksin ini tidak mengagetkan. Pada tahun lalu pun banyak petugas dan warga panti jompo yang tidak mau divaksin flu. Hal ini memprihatinkan karena Covid-19 mudah sekali menyebar, terutama di lokasi-lokasi komunal.
Para ahli memperkirakan, sekitar 70 persen dari total populasi AS harus divaksin agar pandemi bisa dikalahkan. ”Selalu tidak mudah mengajak petugas panti jompo untuk vaksin,” kata Litjen Tan, Ketua Bidang Strategi di kelompok advokasi Koalisi Aksi Imunisasi.
Tak percaya
Penolakan vaksin ini juga diduga terkait dengan isu budaya. Warga kulit berwarna di AS, yang menjadi mayoritas perawat di panti jompo, dan kelompok minoritas lainnya tidak percaya pada obat-obatan. Para ahli menduga hal itu ada hubungannya dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu.
Jajak pendapat kantor berita The Associated Press-Pusat Penelitian Kebijakan Publik NORC menemukan, warga kulit hitam dan Hispanik di AS menolak divaksin. Sekitar 53 persen warga kulit putih mau divaksin, sementara warga kulit hitam yang mau divaksin hanya 24 persen dan 34 persen untuk warga Hispanik.
Jajak pendapat itu juga menemukan, perempuan lebih banyak yang tak mau divaksin ketimbang laki-laki. Secara keseluruhan, seperempat orang dewasa di AS tidak mau divaksin dan seperempat lagi mengaku belum yakin.
”Mereka tidak percaya pada sains. Ini gara-gara pemerintahan Presiden Donald Trump membuat masalah ini jadi isu politik dan tidak memercayai para ahli mereka sendiri,” kata Lori Porter yang memimpin sebuah kelompok asisten kesehatan.
Pemerintah federal berusaha melawan sikap penolakan itu dengan kampanye iklan senilai 250 juta dollar AS yang akan dimulai pekan ini. Targetnya, petugas kesehatan dan kelompok yang rentan.
Iklan tersebut mempromosikan bagaimana vaksin akan membantu mengalahkan Covid-19 dengan cara yang sama seperti ketika mengalahkan cacar, campak, dan polio. ”Salah satu keberhasilan terbaik di dunia kedokteran adalah vaksin,” kata Anthony Fauci, ilmuwan penyakit menular AS.
Asosiasi Perawatan Kesehatan AS (AHCA) yang mewakili para perawat di panti jompo mengajak seluruh warga dan petugas panti jompo untuk mau divaksin dengan dua dosis. ”Kami berharap vaksin ini diterima. Jangan sampai kita buat aturan yang sifatnya mewajibkan,” kata Mark Parkinson, Presiden AHCA.
John Sauer yang memimpin LeadingAge cabang Wisconsin (organisasi perwakilan panti jompo nonprofit) mengatakan, seharusnya petugas dan para penghuni panti jompo tidak ragu lagi dengan vaksin ini, apalagi setelah selama ini banyak teman yang tewas karena Covid-19. ”Buktinya sudah ada. Virus ini mematikan. Ini masalah hidup dan mati,” ujarnya.
Alergi
Kekhawatiran akan vaksin ini juga muncul, salah satunya, karena adanya kasus orang yang alergi terhadap vaksin itu, lalu muncul reaksi-reaksi di tubuhnya. Seperti halnya vaksin lain, perusahaan-perusahaan farmasi juga mengakui para penerima vaksin kemungkinan akan ada yang demam, merasa pegal, atau kebas pada lengan setelah disuntik.
Namun, itu hal yang wajar. Untuk kasus alergi yang dilaporkan terjadi pada petugas medis di Inggris, kasus itu tengah diselidiki. Menurut informasi, petugas medis itu memang memiliki sejarah alergi pada berbagai hal.
Karena alasan takut reaksi alergi itu, Penelope Ann Shaw (77), warga panti jompo di Braintree, Massachusetts, tidak mau divaksin. Ia juga tak mau disuntik vaksin flu tahun lalu. ”Saya kira ini terlalu cepat,” kata Shaw yang memiliki sindrom Guillain-Barre atau gangguan pada sistem kekebalan tubuh.
Namun, Harriet Krakowaky (85) berpandangan lain. Penghuni panti jompo di Hebrew Home di Riverdale, New York City, itu justru sudah tak sabar mau divaksin. Ini karena ia trauma melihat teman-temannya tewas karena Covid-19. Ia juga sudah tak sabar ingin bertemu dengan dua cucunya yang baru saja lahir tahun ini.
”Untuk pertama kalinya dalam enam atau tujuh bulan ini, akhirnya ada juga harapan,” ujarnya. (AP/LUK)