Hidup di Kota Besar Tak Lagi Menyenangkan
Setelah merasakan hidup dalam karantina dan pembatasan selama berbulan-bulan, lebih dari 40 persen warga kota-kota besar Eropa mulai mempertimbangkan untuk pindah ke desa atau kota yang lebih kecil.
Pandemi memaksa warga dunia beradaptasi dengan kebiasaan baru. Hidup di kota besar dianggap tak lagi menyenangkan dan banyak yang pindah ke desa.
Kebijakan karantina dan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan kehidupan masyarakat dunia. Kebiasaan-kebiasaan baru membentuk cara hidup baru. Warga dunia terpaksa beradaptasi dengan kebiasaan baru.
Setelah merasakan hidup dalam karantina dan pembatasan selama berbulan-bulan, lebih dari 40 persen warga yang tinggal di kota-kota besar Eropa mulai mempertimbangkan untuk pindah ke desa atau kota yang lebih kecil dengan akses lebih gampang ke ruang hijau, pertokoan, dan fasilitas umum lainnya.
Hasil survei perusahaan teknik Inggris, Arup, terhadap 5.000 orang di London, Paris, Milan, Madrid, dan Berlin, Kamis lalu, menemukan sejak pandemi separuh warga kota di lima kota besar itu merasa semakin khawatir dengan kondisi kota yang terlalu padat dan polusi udara yang kian parah.
Mereka bisa membandingkan kondisi hidup di kota besar dan kota lebih kecil setelah sempat bepergian sementara ke kota lebih kecil selama pandemi.
Baca juga: Cari Sensasi Olahraga dan Jiwa
Selama ini warga London, misalnya, harus menempuh jarak relatif jauh hanya untuk pergi ke toko, tempat olahraga, kafe, atau ruang-ruang hijau. Rata-rata butuh waktu 20 menit sekali jalan. "Selama karantina, kita merasa terisolasi di kompleks pemukiman, jauh darimana-mana," kata Bryndis Sadler (27).
Survei yang dilakukan Upwork di California, AS, Kamis lalu, juga menunjukkan lebih dari 23 juta warga AS berencana pindah ke kota yang lebih kecil. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah memperkirakan lebih dari dua pertiga populasi dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050 atau naik 56 persen dari jumlah sekarang.
Direktur Konsultan Properti Anarock, Anuj Puri, mengatakan di kota-kota besar India seperti Delhi dan Mumbai juga mulai terlihat orang pindah ke kota yang lebih kecil atau pulang ke kampung halamannya. "Harga rumah lebih murah dan kota kecil dianggap lebih aman dari pandemi ketimbang kota besar," ujarnya.
Baca juga: "Burnout" dari Rumah
Tetapi alasan kepindahan tak selalu urusan harga rumah tetapi juga karena kekhawatiran akan ketersediaan bahan pangan. Seperti Kaoru Okada (36) yang memutuskan pindah dari Tokyo, Jepang, ketika persediaan beras dan mie menghilang gara-gara pandemi.
Kini Okada tinggal di kota Saku, Perfektur Nagano, sekitar 160 kilometer dari Tokyo, dan membuka usaha ekspor dan menanam sayur-sayuran di kebun dan padi.
"Ini kesempatan sekali seumur hidup. Lebih baik tinggal di dekat pusat produksi makanan. Tinggal dekat dengan petani membuat saya merasa lebih aman," ujarnya.
Pada September lalu, 30.644 orang sudah pindah dari Tokyo dan mayoritas berusia 20-an dan 30-an. Mizuto Yamamoto (31) pindah dari Tokyo ke Hokuto yang berada di kaki pegunungan Perfektur Yamanashi bersama istri dan anaknya.
Karyawan di perusahaan Caster Co tersebut kini merasa lebih tenang dan nyaman tinggal di daerah yang sepi dengan dikelilingi sungai dan pegunungan. "Tidak banyak orang sehingga risiko terinfeksi Covid-19 juga minim," ujarnya.
Ruang hijau
Pandemi Covid-19 mengingatkan pentingnya hidup dekat dengan ruang hijau yang bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau sepeda. Ini karena selama pandemi orang lebih banyak tinggal di dalam rumah saja dan ingin berbelanja atau rekreasi yang dekat-dekat saja dari tempat tinggalnya. Namun, Philipp Rode yang memimpin LSE Cities, Pusat Penelitian di London School of Economics, tak yakin warga London mau pindah ke luar kota karena banyaknya kegiatan dan tempat menarik di London mulai dari seni budaya hingga bisnis.
Tetapi ia mengakui memang sudah saatnya kota berkembang menjadi lebih layak huni agar mampu bertahan menghadapi pandemi ataupun perubahan iklim. Toh kota bisa selalu berkembang sesuai kebutuhan.
Seperti ketika abad ke-19, London berubah besar-besaran terutama dalam hal infrastruktur jaringan saluran pembuangan sebagai respon terhadap wabah kolera. Belajar dari pandemi Covid-19, barangkali sudah saatnya memperbanyak ruang hijau dan memprioritaskan pesepeda dan pejalan kaki.
Baca juga: Kemping demi Melarikan Diri dari Covid-19
Gara-gara pandemi, banyak pemerintah dan swasta mulai membenahi banyak hal seperti transportasi publik dan fasilitas umum lain seperti taman, menambah jalur sepeda dan pejalan kaki, dan desain rumah yang mendukung bekerja dari rumah. Bahkan sejak pandemi, permintaan membangun tempat perlindungan bawah tanah di bawah rumah meningkat.
Namun, perubahan besar-besaran lebih terlihat pada fasilitas umum di ruang terbuka. "Salah satu dampak Covid-19, warga kota semakin butuh ruang luar untuk sekadar jalan-jalan, makan, bersosialisasi, dan olahraga. Sekarang makin banyak jalan yang ditutup untuk kendaraan bermotor," kata Michael Berkowitz, pendiri konsultan nirlaba, Resilient Cities Catalyst.
Pada Juni lalu, pemerintah kota Bangkok, Thailand, membuka taman baru yang dibangun di atas bekas jalur rel yang tidak dipakai selama puluhan tahun. Ini diharapkan bisa menjadi contoh model pemanfaatan tempat yang telantar menjadi ruang hijau baru.
Baca juga: Polusi Udara Ancaman Serius bagi Masyarakat
Laporan PBB menyebutkan pemerintah berbagai negara perlu mulai merencanakan dan mewujudkan kota-kota yang lebih hijau dan lebih layak untuk meningkatkan kualitas hidup penduduknya.
"Pandemi Covid-19 tidak otomatis akan mematikan kota-kota tetapi seharusnya bisa kota bisa berkembang menjadi lebih baik," kata Direktur Eksekutif Habitat PBB, Maimunah Mohd Sharif.
Kembali ke desa
Selain memperbaiki kota besar menjadi lebih layak huni, pemerintah berbagai negara juga didesak melengkapi kota-kota lebih kecil atau desa dengan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan warga.
Agar desa dan kota kecil juga bisa berkembang maju, Perdana Menteri Jepang Yoshibide Suga mengembangkan program revitalisasi desa dan pinggiran kota dengan memperbanyak lapangan pekerjaan dan menambah infrastruktur.
Pejabat kota Iida, Perfektur Nagano, Hidetoshi Yuzawa, mengatakan Nagano termasuk daerah populer orang pindah karena menawarkan banyak peluang.
Mio Nanjo (41), pembuat kue, merenovasi rumah tradisional menjadi kafe di kota Matsukawa. Ibu tunggal dengan tiga anak itu pindah dari Tokyo, bulan lalu, setelah kehilangan pekerjaan gara-gara pandemi.
"Saya bisa memulai hidup baru lagi. Tidak ada gunanya bertahan di Tokyo karena makin padat dan banyak orang makin stres dan bunuh diri," kata Nanjo.
Baca juga: Pandemi Korona dan Kondisi Normal Baru Berikutnya
Bukan hanya warganya saja yang meninggalkan Tokyo tetapi juga lapangan pekerjaan. Banyak perusahaan besar yang juga sudah dan mulai memindahkan kantornya ke pinggiran kota atau desa.
Apalagi dengan meluasnya tren bekerja dari rumah dan bisa lebih menyeimbangkan antara waktu bekerja dengan waktu bersenang-senang menikmati hidup.
"Selama saya bisa bekerja darimana saja, saya akan tetap tinggal di tempat yang aman, nyaman, tenang, dan bisa hidup lebih lama lagi," kata Shota Nakagawa (34), warga kota Saito. (REUTERS)