Upaya Deradikalisasi Perempuan Kedepankan Pendekatan Multikultural
Upaya deradikalisasi dan integrasi eks kombatan atau eks kelompok teroris memerlukan pendekatan multikultural. Dalam hal ini memahami latar belakang mereka menjadi penting.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan keterlibatan perempuan dalam gerakan ekstremisme dan kekerasan perlu pendekatan multikultural yang melibatkan anggota mereka yang sudah keluar. Alasannya, mengubah paradigma berpikir mereka tidaklah mudah. Pendekatan multikultural dimaksud adalah mempertimbangkan aspek keluarga dan identitas diri seorang perempuan.
Demikian disampaikan Inayah Rohmaniyah, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam acara virtual Sub Regional CSO Forum, Rabu (11/11/2020).
Menurut Inayah, umumnya perempuan yang bergabung dalam ekstremisme-kekerasan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis, memiliki masalah ekonomi, individu yang introvert, di sisi lain memiliki semangat untuk menjadi Muslimah yang baik.
Akan tetapi, di saat yang sama mereka umumnya tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Ketika muncul keinginan untuk jadi Muslimah yang baik sekaligus memperkuat identitas dan pengakuan, mereka bertemu dengan kelompok ekstremisme. ”Ada juga artis yang seperti ini, jadi tidak selalu dari keluarga menengah ke bawah,” ujar Inayah.
Yang unik, menurut Inayah, saat ini muncul tren penggunaan diksi-diksi kesetaraan jender dan feminisme atas nama agama untuk memperluas peran perempuan dalam gerakannya, tetapi menolak gerakan jender dan feminisme karena buah dari kapitalisme.
Inayah yang banyak melakukan riset panjang tentang Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan, seorang perempuan yang telah ikut dalam gerakan ekstremisme dan kekerasan biasanya berubah setelah ia dipisahkan dari komunitasnya dan bertemu dengan lingkungan baru yang plural.
Dengan berada jauh dari komunitasnya, seorang perempuan radikal akan menemukan sumber pengetahuan yang beragam dan praktik keagamaan yang beragam sehingga membiasakan ia untuk bersikap kritis. ”Jauh dari kelompoknya ini bisa karena melanjutkan studi ke kota lain, misalnya, atau memang pindah tempat tinggal,” kata Inayah.
Dengan berada jauh dari kelompoknya itu, seorang perempuan tidak lagi menerima informasi tunggal dari kelompoknya dan meyakini bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi. ”Dalam paham ini mereka hanya jadi pengikut, tidak boleh bertanya, tidak bisa kritis,” kata Inayah.
Inayah menekankan, meski Hizbut Tahrir Indonesia sudah dibubarkan, tidak menjamin ideologi negara Islam lepas dari para anggotanya. Dengan dakwah nonkekerasan, mereka justru bisa menarik simpati lebih luas. Apalagi perempuan sangat aktif di media sosial untuk merekrut anggota. Bahkan, setelah organisasinya dibubarkan, pergerakan mereka menjadi sulit dipantau. Mereka bergerak di bawah tanah.
Akiko Horiba, Program Director sekaligus Senior Program Officer Asia Peace Initiatives Department The Sasakawa Peace Foundation, mengatakan, meski konflik kekerasan antara Barisan Revolusi Nasional dan aparat keamanan di wilayah Patani, Thailand, kerap terjadi, perempuan di sana tidak punya waktu untuk ikut aktif mengangkat senjata. Mereka sibuk mencari nafkah karena suaminya selama konflik ditangkap atau melarikan diri.
Lagi pula, ujar Akiko, perjuangan BRN tidak ada hubungannya dengan menegakkan negara Islam, tetapi lebih pada pengakuan kultur dan identitas Melayu, keadilan, dan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu, para perempuan di sana berpotensi untuk dilibatkan dalam upaya mencegah gerakan kekerasan. Apalagi, tidak ada ruang bagi ekstremisme untuk masuk ke Patani. Meski begitu, selalu ada kemungkinan orang Patani bergabung dengan gerakan kekerasan di wilayah lain.
Banyak warga dari kawasan Asia Tenggara pergi ke Suriah untuk berperang dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Ahmad El-Muhammady dari International Islamic University, Malaysia, mengatakan, ada sekitar 102 warga Malaysia di Suriah. Dari jumlah itu, 40 orang meninggal, 9 orang menjadi pelaku bom bunuh diri, dan 51 orang masih berada di Suriah.
Menjelang kekalahan NIIS, beberapa di antara mereka sudah pulang ke Malaysia. Ada sekitar 40 orang lagi yang mayoritas perempuan dan anak-anak yang meminta dipulangkan. Namun, ada juga yang menolak pulang dan berharap NIIS bangkit kembali.