Perlu Kontranarasi Terorisme yang Berpusat pada Perempuan
Meningkatnya peran perempuan dalam gerakan ekstremisme kekerasan butuh kontranarasi yang berpusat pada perempuan. Teroris mengeksploitasi konstruksi jender, terutama pandangan ”bagaimana menjadi perempuan yang baik”.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran perempuan pada berbagai level gerakan ekstremisme kekerasan di kawasan Asia Tenggara dari waktu ke waktu semakin meningkat. Itu sebabnya, kontranarasi yang berpusat pada perempuan perlu dimunculkan untuk turut memadamkan bibit gerakan ekstremisme kekerasan.
Demikian benang merah yang disampaikan Amalina Abdul Nasir, peneliti pada International Centre for Political Violence and Terrorism Research, S Rajaratnam School of International Studies, Singapura, dalam acara virtual CSO Forum, Selasa (10/11/2020).
Amalina mengatakan, gerakan Jamaah Islamiyah dan serangan bom terhadap gereja di Surabaya yang dilakukan oleh keluarga, termasuk istri dan anak, menunjukkan adanya perubahan yang cepat terkait peran perempuan dalam gerakan ekstremisme. Peran perempuan, dari sekadar istri pelaku teror, kini meluas menjadi perekrut secara daring, pendukung, simpatisan, dan pelaku propaganda itu sendiri, hingga pelaku bom bunuh diri.
Para perempuan itu ingin lebih setara dengan laki-laki dalam terlibat menjalani gerakan dan lebih aktif di media sosial.
Oleh karena itu, kontranarasi atas paham ekstremisme kekerasan perlu melibatkan perempuan dari akar rumput secara bottom up. Pesan kontranarasi yang ada selama ini masih netral dan tidak mengatasi narasi jender yang dimainkan oleh organisasi teroris.
Untuk melakukan itu, pemerintah perlu menunjukkan komitmen pendanaan seluruh sumber daya yang ada sehingga organisasi masyarakat sipil bisa melakukan penetrasi lebih jauh di tengah masyarakat.
Sementara itu, Noor Huda Ismail, pendiri ruangobrol.id, mengatakan, organisasi teroris mengeksploitasi konstruksi jender, terutama pandangan ”bagaimana menjadi istri/perempuan yang baik”.
Noor Huda juga menambahkan, gerakan ekstremisme kekerasan telah menjadi persoalan kawasan. Banyak anggota gerakan ekstremisme kekerasan berpartisipasi dalam sejumlah perang di Timur Tengah.
Pahami kompleksitas
Untuk mencari jalan keluar dari persoalan itu, pertama kita harus memahami kompleksitas alasan mereka mau berangkat berperang. Menurut Noor Huda, yang menjadi alasan umumnya karena ingin mengikuti pelatihan militer, memperluas jaringan, interpretasi jihad yang sempit, balas dendam, maskulinitas, cinta, dan juga ekonomi.
Ada juga yang tergerak pergi karena melihat ada ketimpangan antara Islam yang mereka bayangkan dan Islam yang mereka lihat sehari-hari. ”Untuk alasan cinta, misalnya, karena ikut pasangannya pergi,” kata Noor Huda.
Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN) Azyumardi Azra menyampaikan, akhir dari kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bukan akhir dari ideologi ekstremisme kekerasan. Tragedi pemenggalan Samuel Paty di Perancis beberapa waktu lalu menjadi contohnya.
”Ideologi kekerasan terkait banyak faktor. Kegagalan integrasi warga Muslim atau migran di negara maju dengan warga masyarakat setempat juga bisa memicu ideologi kekerasan,” kata Azyumardi.
Butuh multipendekatan
Oleh karena itu, mengatasi ideologi ini memerlukan multipendekatan mulai dari keamanan hingga ekonomi yang terintegrasi. Sayangnya, selama ini lembaga pemerintah gagal untuk memberikan dukungan kepada para mantan kombatan untuk terintegrasi ke dalam masyarakat dan memiliki aktivitas ekonomi yang memadai.
Merangkul mereka yang mantan kombatan dan keluarganya perlu peran organisasi masyarakat sipil. Akan tetapi, tidak banyak institusi pemerintah yang nyaman bekerja dengan organisasi masyarakat sipil.
Asisten Deputi Asia, Pasifik, dan Afrika Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Pribadi Sutiono mengakui, tantangan terkait eks kombatan NIIS bukan hanya pada upaya memulangkannya, melainkan juga menangani mereka setelah pulang ke Tanah Air. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendirian, tetapi perlu melibatkan organisasi masyarakat sipil.
Sekretaris Jenderal AMAN Ruby Khalifah mengatakan, secara teori kemitraan pemerintah-organisasi masyarakat sipil mudah diucapkan, tetapi dalam kenyataannya sulit dikerjakan di lapangan.