Dua hal bisa ditangkap dari Pemilu Presiden AS 2020. Pertama, soal kemerdekaan ruang redaksi dari intervensi pihak luar. Kedua, soal keberanian memutus mata rantai misinformasi, termasuk dari penguasa.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Di tengah proses penghitungan suara pemilu presiden Amerika Serikat, pekan lalu, muncul sebuah kejutan. Televisi Fox News memberitakan proyeksi hasil penghitungan suara di Virginia dan beberapa negara bagian lain yang membuat calon presiden dari Demokrat, Joe Biden, unggul jauh atas rivalnya, petahana dari Republik, Donald Trump. Beberapa jam kemudian, menyusul kantor berita Associated Press mengeluarkan hasil yang sama: Biden unggul jauh atas Trump.
Trump dan tim kampanyenya berang. Jared Kushner, menantunya dan penasihat senior Gedung Putih, mengontak Rupert Murdoch, pemilik jaringan televisi Fox News, agar pemberitaan keunggulan Biden itu dihentikan. Tapi, Murdoch dan redaksi Fox News, yang biasanya kerap mempromosikan berita-berita kubu Republik, kali ini berseberangan dengan Trump dan timnya.
Aaron Mishkin, ketua tim pengambilan keputusan di Fox News, sampai harus mengudara dan menjelaskan keputusan mereka. ”Maaf, tapi kami tidak salah dalam kasus ini,” katanya.
Beberapa hari sebelumnya, tepatnya selang sehari setelah pemungutan suara, Rabu (4/11), Trump mengklaim sudah memenangi pilpres dengan keunggulan jauh di atas Biden. Padahal, penghitungan suara masih berlangsung. Penyelenggara pemilu di beberapa negara bagian masih menghitung jumlah suara, termasuk surat suara yang dikirimkan melalui pos. Di beberapa negara bagian, surat suara bisa dikirimkan melalui pos. Sebagian lain tidak.
Trump melalui akun Twitter miliknya mencuit, ”Kami unggul besar. Tapi, mereka mencoba mencuri keunggulan ini. Pemilu ini dari kami. Kami tidak akan membiarkan mereka melakukannya. Suara tidak bisa dihitung lagi setelah tempat pemungutan suara ditutup”.
Setelah itu, melalui serangkaian cuitannya, Trump menuduh bahwa dirinya dan Partai Republik dicurangi dalam pemilihan ini. Ia pun mengajak pendukungnya untuk bersikap dan bergerak.
Serangkaian cuitan itu ditandai Twitter sebagai informasi keliru yang disengaja (misinformasi). Tindakan yang sama dilakukan Facebook.
Pemimpin Redaksi USA Today Nicole Carroll memutuskan menurunkan dan menghapus semua video pernyataan Trump pada semua platform berita di media itu. Carroll mengatakan, pernyataan Trump memang memiliki nilai berita. ”Tapi, misi kami adalah menyampaikan kebenaran, hal yang benar, dan menghentikan misinformasi”.
Caroll menyatakan, pesan yang disampaikan Trump sangat berbahaya, berpotensi memicu kekerasan. ”Kami memilih tidak menggunakan platform kami untuk mengamplifikasi pesan berbahaya ini,” kata Caroll.
Ruang redaksi dan nalar
Dua hal bisa ditangkap dari dua peristiwa itu. Pertama, soal kemerdekaan ruang redaksi dari intervensi pihak luar. Ruang redaksi adalah ruang kemerdekaan intelektual yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun dari luar ruangan, termasuk dari penguasa negara yang diberi mandat oleh rakyat di negara adidaya, panglima militer tertinggi berdasarkan konstitusi AS yang memiliki kendali atas hulu ledak nuklir.
Jurnalis, ruang redaksi, serta platform media punya tanggung jawab, beban moral, memberi pembacanya pemberitaan yang tak bias, independen, dan tak memihak.
Dua empu jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam bukunya, The Elements of Journalism (2007), menyebutkan, jurnalis harus berpegang pada kebenaran dan fakta di lapangan. Pertanggungjawaban kerja jurnalis adalah berita yang tak bias, independen untuk dibagikan kepada khalayak penikmat media cetak, baik daring maupun televisi.
Pelajaran kedua adalah keberanian memutus mata rantai misinformasi, termasuk dari penguasa. Dengan status sebagai penguasa, pemerintah tidak serta-merta menjadi pihak berwenang untuk menabalkan sebuah pernyataan adalah benar atau sebaliknya, bohong. Pemerintah bisa saja menjadi pelaku penyebaran misinformasi, seperti dilakukan Trump.
Trump tidak sekali ini menyebarkan misinformasi, melalui cuitannya di Twitter. Sejak pandemi ini dimulai, banyak misinformasi yang disampaikannya. Mulai dari bahwa penyakit Covid-19 tidak berbahaya hingga ketidakmauan penggunaan masker untuk pencegahan Covid-19.
Dampaknya, kini, berdasarkan data Worldometer.info, jumlah kasus Covid-19 sebanyak lebih dari 10 juta kasus dan lebih dari 243.000 warga meninggal dunia akibat penyakit ini di ”Negara Paman Sam” itu. Jumlah ini berkali-kali lipat dari jumlah kasus di China, awal penyakit Covid-19 ditemukan.
Warga AS telah memilih Joe Biden-Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden mereka. Warga AS sepertinya sudah menggunakan nalar untuk meninggalkan misinformasi, hoaks, dan hal-hal tak logis dari hadapan mereka. Warga AS kini berharap empat tahun ke depan mereka akan memulai hidup yang lebih baik, hidup berdampingan dengan damai.