Pemilu Presiden AS akan menjadi ujian bagi demokrasi negara adidaya itu. Siapa pun yang menang akan menghadapi polaritas yang dalam di tengah warga AS.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON DC, MINGGU — Kemapanan demokrasi Amerika Serikat akan diuji dalam pemilihan umum pada 3 November ini. Sebelum hari pencoblosan saja, presiden sudah mempertanyakan legitimasi hasil pemilu, apalagi setelah pencoblosan. Penegak hukum mengantisipasi kemungkinan terjadi kerusuhan.
Dalam setahun terakhir, AS menghadapi berbagai persoalan mendesak mulai dari bagaimana perannya di dunia, pengendalian pandemi Covid-19, dan ketidaksetaraan ras yang sistemik.
Dua kandidat Presiden AS, presiden petahana Donald Trump dari Republik dan Joe Biden dari Demokrat, menawarkan solusi berbeda dalam mengatasi masalah mendesak yang dihadapi AS saat ini.
Akan tetapi, rivalitas Trump-Biden menghadirkan nuansa lain di luar tawaran solusi atas persoalan besar AS.
”Ada lebih dari sekadar perbedaan ideologi di antara kedua kandidat. Ada perbedaan pandangan mendasar tentang apa itu kepresidenan dan apa artinya kepemimpinan bagi bangsa ini,” kata Jeffrey Engel, Direktur Center for Presidential History at Southern Methodist University, Sabtu (31/10/2020) waktu Washington DC.
Pemilu AS digelar di tengah politik partisan yang kuat di publik AS sehingga siapa pun yang melenggang ke Gedung Putih akan menghadapi tantangan perpecahan yang dalam.
Dukungan terhadap Trump terutama berasal dari pemilih kulit putih dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah. Pemilih yang lebih berpendidikan, terutama perempuan dan kulit hitam, telah berpaling dari Republik dan cenderung mendukung Biden.
Kemenangan Trump akan semakin memperkuat kelompok anti-kemapanan dan menanggapi persoalan bangsa dengan pendekatan yang melihat ke dalam, sesuatu yang dibenci para pengkritiknya. Pengadilan yang penuh oleh generasi ahli hukum konservatif selama masa jabatan Trump akan bergerak kian ke kanan.
Sementara kemenangan Biden akan lebih personal bagi mantan presiden dan senator itu. Sebab, meski ia telah memaparkan gagasannya dalam memimpin AS, termasuk rencananya mengendalikan pandemi, inti kampanyenya justru berpusat pada dirinya yang ditampilkan berbeda dari Trump yang temperamental.
Kendali di Senat juga dipertaruhkan. Kompetisi politis dari Maine hingga ke Arizona memberikan Demokrat peluang untuk merebut suara mayoritas dari Republik. Demokrat kemungkinan bisa mempertahankan dominasinya di DPR AS dengan mudah.
Hingga Sabtu (31/10/2020), 90 juta pemilih telah menggunakan hak suaranya atau 65 persen dari total pemilih yang mencoblos pada pemilu 2016. Itu jelas rekor dalam pencoblosan lebih awal dalam Pemilu AS dan merefleksikan antusiasme publik yang tinggi untuk menentukan pemimpinnya.
Khawatir akan penularan Covid-19 di TPS pada 3 November mendatang juga mendorong banyak pemilih mengirim surat suara melalui pos.
Trump menghabiskan hari-hari terakhirnya sebelum pencoblosan dengan kampanye mengkritik pejabat publik dan tenaga medis di AS yang tengah berjuang melawan penyebaran pandemi Covid-19 yang kasusnya kembali meningkat.
Trump berulang kali menyodorkan klaim tanpa bukti bahwa pencoblosan melalui pos rentan kecurangan. Baru-baru ini ia juga menyampaikan bahwa hanya hasil penghitungan dari pencoblosan langsung di TPS yang harusnya dihitung. Ia terus menghambat pemilih untuk mengikuti pencoblosan lebih awal melalui pos.
”Saya tidak peduli seberapa keras Donald Trump berusaha. Tidak ada—saya katakan lagi—tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan warga bangsa ini mencoblos dan merebut kembali demokrasi,” kata Biden dalam kampanye di Flint, Michigan.
Jajak pendapat nasional memperlihatkan Trump terus tertinggal dari Biden. Namun, rivalitas yang sengit di beberapa negara bagian yang kompetitif akan menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya. (AP/REUTERS)