Kompetisi Menuju Gedung Putih yang Semakin Tidak Pasti
Berbagai jajak pendapat, termasuk setelah capres petahana Donald Trump masuk rumah sakit karena Covid-19, mengunggulkan Joe Biden. Namun, kasus pemilu AS tahun 2016 mengingatkan banyak hal.
Oleh
kris mada
·6 menit baca
Sampai 30 September 2020 pagi, serangkaian jajak pendapat menunjukkan peluang keterpilihan Donald Trump (74) lebih rendah dibandingkan Joe Biden (77). Meskipun demikian, belajar dari kekalahan Hillary Clinton pada 2016, sebagian pihak belum berani menyimpulkan Trump akan kalah atau menang dalam pemilu 3 November 2020.
Sejak 1932, hanya empat presiden AS gagal terpilih untuk periode kedua. Mereka adalah Herbert Hoover, Gerald Ford, Jimmy Carter, dan George HW Bush. Hoover dan Bush kalah karena alasan serupa: perekonomian yang memburuk. Kini, Trump menghadapi masalah yang sama dengan Hoover dan Bush. Pandemi Covid-19 membuat perekonomian AS merosot, jutaan orang menjadi pengangguran. Semua pencapaian ekonomi AS, yang menjadi andalan utama Trump, tergerus oleh pandemi.
Berbagai jajak pendapat atas peluang keterpilihan dan kepuasan pada kinerja Trump memang menunjukkan kondisi berat bagi calon presiden petahana yang kembali diusung Republikan itu. Paling banyak 45 persen responden mempertimbangkan untuk memilih Trump, 3 November nanti.
Sebaliknya, hampir 60 persen responden tidak puas dengan cara Trump menangani pandemi. Tidak ada negara yang mencatat angka infeksi dan kematian akibat Covid-19 lebih tinggi dari AS. Padahal, AS mempunyai perekonomian terkuat dengan fasilitas kesehatannya yang lebih baik dibandingkan banyak negara.
Selama berbulan-bulan, Trump meremehkan Covid-19 dan mengejek aneka upaya pengendalian infeksi. Dalam wawancara dengan jurnalis senior Bob Woodward, ia berkilah sedang berusaha menenangkan warga kala bolak-balik menyatakan Covid-19 tak berbahaya.
Di sisi lain, ia terus mengejek Joe Biden karena calon Presiden AS dari Demokrat itu rutin mengenakan masker. Sementara Trump dan banyak penyokongnya bolak-balik terlihat tidak mengenakan masker. Ia rutin hadir di tengah kerumuman tanpa penerapan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan mengenakan masker. Aktivitas dan usianya membuat Trump berisiko tinggi terinfeksi. Pada Kamis (1/10/2020) pagi, memang akhirnya dipastikan Trump terinfeksi Covid-19.
Bahkan, Trump diterbangkan ke rumah sakit karena demam. Di rumah sakit, ia menggunakan sejumlah obat yang masih dalam status uji coba. Sebagai presiden dari negara dengan perekonomian terkuat dan telah mengucurkan miliaran dollar AS untuk pengembangan obat serta vaksin Covid-19, tentu saja Trump akan diusahakan mendapatkan perawatan terbaik.
Kondisi kesehatan Trump bukan hanya soal statistik. Perawatan Trump menjadi pertaruhan apakah obat-obatan untuk Covid-19 akan teruji keampuhannya. Klaim Trump bahwa Covid-19—meski sudah menginfeksi dan menewaskan jutaan orang—tidak berbahaya juga akan diuji selama ia dirawat. Jika kembali sehat dan beraktivitas, seperti Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang memperlakukan Covid-19 mirip cara Trump menangani penyakit itu, Trump bisa dianggap benar soal penyakit itu.
Skenario
Selain soal keampuhan obat, kondisi kesehatan Trump juga menambah pertanyaan atas peluang keterpilihannya. Sebagian kalangan menawarkan skenario optimistis dengan berkaca pada PM Inggris Boris Johnson.
Pada April 2020, Johnson masuk unit perawatan intensif karena Covid-19. Setelah ia keluar dari rumah sakit, tingkat kepuasan publik atas kinerjanya membaik. Walakin, perlu diingat bahwa tren kepuasan terhadap kinerja Johnson memang positif sejak sebelum PM Inggris itu masuk RS. Selain itu, berbeda dari rating pribadi Johnson, kepercayaan publik terhadap pemerintah Inggris tetap rendah.
Sementara sebagian kalangan lain menawarkan skenario pesimistis karena mempertimbangkan tren peluang keterpilihan Trump. Dalam jajak pendapat nasional yang digelar Reuters/Ipsos pada 2-3 Oktober dan dirilis, Minggu (4/10), diketahui 51 persen pemilih mendukung Biden, 41 persen akan memilih Trump, 4 persen memilih calon pihak ketiga, dan 4 persen belum memutuskan.
Namun, untuk menjadi presiden, capres harus menang cukup di negara-negara bagian untuk memenangi suara elektoral. Berdasarkan jajak pendapat di negara-negara bagian, Trump hampir sama populer dengan Biden di negara-negara bagian ajang persaingan ketat.
Namun, dengan rata-rata ketertinggalan melebihi 5 persen dari Biden, Trump perlu memanfaatkan setiap saat untuk berkampanye. Sayangnya, setidaknya pada 1-14 Oktober 2020, Trump harus mengisolasi diri. Bahkan, kini ia sedang dirawat di rumah sakit.
Dengan kata lain, ia kehilangan hampir separuh dari sisa waktu kampanye. Bukan fakta bagus bagi Trump yang berbulan-bulan memilih kampanye dengan cara hadir di tengah massa dibandingkan menyapa pendukung secara virtual. Berbeda dengan Biden yang sudah berbulan-bulan berkampanye secara virtual.
Salah satu momen kampanye yang belum jelas adalah debat sesi dua capres yang dijadwalkan pada 15 Oktober. Jadwal awal tepat sehari setelah batas minimal karantina yang dijalani Trump. Walakin, terlalu berisiko untuk semua orang jika memaksakan debat tetap diselenggarakan pada 15 Oktober. Apalagi, sebagian hadirin masuk kelompok berisiko tinggi karena berusia lanjut seperti Biden (77).
Memang, dengan fakta massa mengambang lebih sedikit pada 2020 dibanding 2016, dampak debat diragukan. Apalagi, debat perdana dinilai mengecewakan pemilih gara-gara Biden-Trump lebih sibuk saling interupsi dan baku cela dibandingkan beradu gagasan. Meskipun demikian, Demokrat dan Republikan sama-sama tetap memandang perlu forum debat itu.
Kepala Komisi Debat Presiden (CPD) Frank Fahrenkopf menolak berkomentar soal kelanjutan debat capres. CPD dibentuk Republikan dan Demokrat untuk menyelenggarakan debat capres dan cawapres dari kedua partai.
Tanpa kejutan
Masalah bagi Trump bukan hanya waktu kampanye yang terpangkas dan kelanjutan debat yang tidak jelas. Sampai sekarang, tidak ada elemen kejutan yang bisa menggerus peluang keterpilihan Biden. Berbeda dengan Hillary, yang terus menerus diunggulkan atas Trump dalam jajak pendapat, pada pemilu 2016. Dalam peringatan serangan 11 September di Manhattan, Hillary terekam hampir pingsan karena kepanasan. Hal itu memicu keraguan atas kondisi kesehatannya. Presiden AS harus prima karena tekanan pada tugasnya amat banyak dan berat.
Selain itu, ada pula pernyataan dari Direktur Biro Investigasi Federal AS (FBI) James Comey soal penyelidikan atas isu penggunaan surel pribadi Hillary selama jadi Menteri Luar Negeri AS. Penggunaan surel pribadi untuk urusan pekerjaan harus dihindari karena dikhawatirkan memicu kebocoran informasi rahasia. Pernyataan Comey membuat pemilih meragukan kemampuan Hillary menjalankan tugas secara profesional.
Hal lain, dukungan pada Hillary terkonsentrasi pada sebagian daerah. Meski banyak, dukungan itu tidak tersebar. Padahal, sistem pemilihan presiden AS membutuhkan jumlah sekaligus sebaran dukungan. Kemenangan calon dalam pilpres AS tidak ditentukan oleh jumlah total suara pemilih (popular vote), melainkan jumlah total suara perwakilan (electoral vote). Suara perwakilan didapat dengan memenangi setiap daerah pemilihan.
Dalam kasus Hillary, capres yang kalah meraih dukungan pemilih (popular vote) lebih banyak dibanding capres yang menang. Walakin, capres pemenang meraih suara perwakilan lebih banyak karena dukungannya tersebar lebih merata dibanding capres yang kalah.
Demokrat dan Biden sudah belajar. Karena itu, tidak hanya banyak, dukungan untuk Biden juga lebih tersebar dibandingkan Trump maupun Hillary. Tim kampanye Biden membidik dapil-dapil mengambang sembari tetap menjaga dapil yang sudah berpeluang besar dimenangi. Tim Trump juga tidak tinggal diam dan semakin mengencangkan kampanye. Hari pemungutan suara masih jauh dan hasilnya belum bisa diterka. (AP/REUTERS)