Biden dan Trump Bersaing Mendulang Suara
Setidaknya ada delapan wilayah yang menjadi titik persaingan Joe Biden dan Donald Trump. Enam di antaranya berkategori wilayah mengambang, sedangkan dua daerah lainnya memiliki selisih perolehan suara sangat ketat.
Berdasarkan rekam jejak kemenangan pemilu presiden Amerika Serikat dalam 44 tahun terakhir, setidaknya terdapat delapan negara bagian yang krusial dimenangi para calon presiden. Wilayah-wilayah itu menjadi titik panas persaingan Joe Biden-Donald Trump memperebutkan suara.
Sistem electoral college yang digunakan dalam pemilihan presiden AS membuat keunggulan suara di tiap negara bagian jauh lebih memengaruhi peluang kemenangan sang calon presiden ketimbang suara yang didapatkan secara nasional.
Hal ini antara lain dapat dilihat pada pilpres tahun 2016 saat Hilarry Clinton kalah dari Donald Trump. Ketika itu, walau mendapat lebih banyak total suara pemilih secara nasional (popular vote), Clinton tetap kalah dalam pilpres karena perolehan suara elektoralnya, yang ditentukan di negara bagian, lebih sedikit ketimbang Trump.
Proses elektoral dalam pilpres AS memiliki dua tahap, yaitu penentuan pemilih (elector) dan pertemuan para pemilih tersebut.
Dalam tahap pertama, partai politik menentukan satu paket kandidat elector sesuai dengan jumlah suara elektoral di negara bagian. Nantinya, pemilih akan memilih paket berisikan nama-nama elector untuk setiap negara bagian itu. Adapun jumlah suara elektoral berbeda-beda di tiap negara bagian, ditentukan proporsi jumlah penduduk.
Tahap selanjutnya, setiap elector memilih calon presiden di tiap negara bagian. Hasil pemungutan suara dari setiap elector dihitung di Kongres. Oleh karena terdapat 538 elector, kandidat yang mendapatkan 270 suara atau lebih memenangi pilpres.
Dengan sistem electoral college, tampak betapa strategisnya meraih kemenangan di setiap negara bagian mengingat belum tentu capaian total suara pemilih secara nasional seiring sejalan dengan kemenangan elektoral di tiap negara bagian.
Tidak mengherankan, persaingan memperebutkan kemenangan pada pemilihan presiden berarti juga bagaimana menang di sebagian besar negara bagian, terutama yang memiliki jumlah atau jatah elector besar. Namun, tak semua negara bagian dapat dimenangi dengan mudah karena masing-masing memiliki kecenderungan basis dukungan yang berbeda-beda.
Basis kekuatan
Pada pilpres tahun 2016, Federal Election Commission mencatat, Trump yang berpasangan dengan Mike Pence meraih 62,98 juta suara. Dari raihan suara ini, terlihat peta dukungan di 29 negara bagian yang dimiliki Trump pada pemilu empat tahun lalu itu.
Wilayah-wilayah itu, antara lain, adalah Alabama, Alaska, Indiana, Kansas, Texas, Oklahoma, South Dakota, Utah, dan Wyoming. Basis dukungan Trump ini sama dengan rekam jejak capres Republik dalam 44 tahun terakhir. Pada pilpres tahun 1972-2016, suara elektoral di 29 negara bagian itu memiliki kecenderungan untuk memilih kandidat dari Republikan.
Namun, jika mencermati dalam empat pilpres terakhir, konfigurasi dukungan cenderung mengecil. Kecenderungan kuat basis massa yang memilih capres dari Partai Republik tersisa di 22 negara bagian. Negara bagian itu ialah Alabama, Alaska, Arizona, Arkansas, Georgia, Idaho, Kansas, Kentucky, Louisiana, Mississippi, Missouri, Montana, Nebraska, North Dakota, Oklahoma, South Carolina, South Dakota, Tennessee, Texas, Utah, West Virginia, dan Wyoming.
Para capres dari Partai Republik, yaitu George W Bush, John McCain, Mitt Romney, dan Trump, selalu unggul di wilayah-wilayah tersebut. Empat negara bagian pada pilpres 2004-2016 bahkan selalu memberikan persentase dukungan suara di atas 60 persen, yaitu Alabama, Idaho, Oklahoma, dan Wyoming.
Selain empat wilayah pendukung utama Republik tersebut, ada beberapa daerah yang menjadi basis memadai. Di daerah ini, dalam empat pilpres terakhir, capres dari Partai Republik menang di tiga ajang pemilu. Republikan memiliki dua negara bagian untuk kategori ini, yaitu Indiana dan North Carolina. Suara solid pemilih Partai Republik sempat telepas di dua negara bagian itu saat Barack Obama unggul atas McCain pada pilpres tahun 2008.
Dari pemetaan basis dukungan elektoral ini, sebanyak 24 negara bagian masih cenderung solid mendukung capres Partai Republik. Artinya, terdapat lima negara bagian yang mengalami dukungan yang cukup dinamis. Wilayah tersebut meliputi Colorado, Florida, Nevada, Ohio, dan Virginia.
Sebanyak 24 negara bagian masih cenderung solid mendukung capres Partai Republik.
Dalam empat pilpres terakhir, dinamika suara elektoral tersebut kurang menguntungkan Republik. Colorado, Nevada, dan Virginia dalam tiga pilpres terakhir cenderung mendukung capres Demokrat. Adapun Florida dan Ohio cukup imbang dalam memberikan dukungan.
Dari data ini, dapat dilihat pola terbaru kecenderungan elektoral Colorado, Nevada, dan Virginia yang lebih mendukung capres Demokrat. Florida dan Ohio masuk dalam kategori wilayah mengambang.
Dukungan elektoral
Sebagaimana Republikan, Partai Demokrat memiliki wilayah elektoral yang cenderung solid memilih capres Demokrat. Dalam empat pilpres terakhir, ada 17 negara bagian yang setia mendukung John Kerry, Barrack Obama, dan Hilary Clinton.
Wilayah-wilayah tersebut meliputi California, Connecticut, Delaware, DC, Hawaii, Illinois, Maine, Maryland, Massachusetts, Minnesota, New Hampshire, New Jersey, New York, Oregon, Rhode Island, Vermont, dan Washington. Tiga wilayah di antaranya solid memberi dukungan di atas 60 persen dalam rentang pilpres tahun 2004-2016, yaitu Hawaii, DC, dan Massachusetts.
Demokrat memiliki wilayah basis dukungan pemilih yang cukup kuat lainnya. Tiga dari empat pilpres terakhir, kandidat dari Demokrat menang di empat wilayah, yaitu Michigan, New Mexico, Pennsylvania, dan Wisconsin. Namun, dilihat dari jejak elektoral dalam 44 pilpres terakhir, Michigan dan New Mexico masuk dalam kategori wilayah imbang mengingat kemenangan elektoral Demokrat dan Republik memiliki frekuensi sama.
Hal ini menunjukkan di luar dominasi Republik dan Demokrat, terdapat tipe basis dukungan ketiga, yaitu wilayah imbang. Dalam 44 tahun terakhir, selain Michigan dan New Mexico, terdapat dua negara bagian tempat capres Demokrat dan Republik bergantian menang, yaitu Iowa dan New Hampshire. Namun, dalam empat pilpres terakhir, jumlah wilayah imbang bertambah dengan masuknya Florida dan Ohio. Sepanjang 2004-2016, Capres Demokrat dan Republik bergantian menang di negara bagian itu.
Baca juga: Bertemu di Debat Pertama, Biden dan Trump Saling Cela
Dengan demikian, dalam pilpres 3 November mendatang, setidaknya ada delapan wilayah yang menjadi titik persaingan Joe Biden dan Donald Trump. Enam di antaranya berkategori wilayah mengambang, sedangkan dua daerah lainnya memiliki selisih perolehan suara sangat ketat.
Lalu, seberapa besar peluang Biden serta Trump meraih dukungan di wilayah tersebut?
Rata-rata hasil terbaru jajak pendapat terhadap popularitas kedua capres di wilayah itu masih menunjukkan ketatnya perolehan suara di beberapa wilayah, seperti Florida, Iowa, dan Ohio. Data yang dikumpulkan 270towin memberikan gambaran selisih popularitas kedua kandidat antara 1 persen dan 2 persen.
Jika menilik jejak persaingan dalam tujuh pilpres terakhir, capres Demokrat unggul dibandingkan dengan capres Republikan. Dari tujuh pilpres pada 1992-2016 di Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin, Demokrat menang enam kali. Modal 46 suara elektoral di tiga negara bagian tersebut sangat berharga bagi kemenangan Biden.
Baca juga: Debat Perdana Trump-Biden
Namun, agar terwujud, kemenangan di atas kertas ini masih harus disertai dipenuhinya dua prasayarat, yaitu kemampuan Biden merawat soliditas elektoral warisan Hillary Clinton empat tahun lalu (227 suara elektoral) dan sejauh mana Biden dapat meyakinkan elector di Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin tersebut.
Debat pilpres dan kampanye terbatas akibat pandemi Covid-19 selama satu bulan ini menjadi ajang pembuktian, apakah Biden mampu merebut suara di tiga wilayah yang terakhir kali mendukung Trump pada pilpres tahun 2016.
(LITBANG KOMPAS)