AS Tak Pedulikan PBB, Tetap Ngotot Berlakukan Lagi Sanksi pada Iran
AS berusaha memperpanjang sanksi terhadap Iran meski telah ditolak PBB. AS dan sekutunya juga terus menunda pengembalian aset bernilai 120 miliar dollar AS yang disita dari Iran.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Amerika Serikat berkeras tetap memberlakukan semua sanksi dengan mekanisme yang diatur dalam kesepakatan nuklir Iran. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan, mekanisme itu tidak bisa digunakan AS lagi karena AS sudah keluar dari kesepakatan tersebut. Kesepakatan itu juga terus dimanfaatkan Iran untuk mendapatkan lagi uang dan aneka aset bernilai ratusan miliaran dollar AS yang disita AS dan sekutunya selama lebih dari 40 tahun terakhir.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan, Washington akan menerapkan mekanisme pemulihan jatuhnya sanksi mulai 20 September 2020. Keputusan itu dibuat setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tidak menyetujui usulan resolusi AS untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. ”Dewan Keamanan gagal menjalankan misinya untuk menjaga keamanan dan perdamaian internasional,” ujarnya, Kamis (27/8/2020) sore waktu New York atau Jumat dini hari WIB.
Pengumuman tersebut dibuat setelah DK PBB menyatakan tidak bisa menindaklanjuti permintaan AS untuk memperpanjang embargo senjata ataupun membalikkan semua sanksi terhadap Iran. Dalam tiga bulan terakhir, Washington mengajukan tiga usulan resolusi untuk dua tuntutan itu dan semuanya kandas di DK PBB. Sekutu AS di DK PBB, yakni Inggris, Jerman, dan Perancis, ikut menolak tiga usulan resolusi AS tersebut.
”Jika ada anggota DK PBB mengusulkan resolusi pencabutan sanksi, AS akan menentangnya. Jika tidak ada usulan resolusi, sanksi akan tetap berlaku mulai 20 September. Itu cara kerja resolusi UN 2231,” tulis Pompeo di media sosial.
Pompeo merujuk pada resolusi yang dibuat untuk mengesahkan Kesepakatan Nuklir Iran 2015 atau Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA). Dalam resolusi itu ada ketentuan bahwa para pihak dalam JCPOA bisa mengusulkan pemberlakuan semua sanksi apabila dinilai ada pelanggaran terhadap JCPOA.
Jika mekanisme itu diberlakukan, veto anggota tetap DK PBB sekalipun tidak bisa menghentikannya. Padahal, veto anggota tetap DK PBB bisa membatalkan apa pun keputusan PBB.
Bersama Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan China, AS memang awalnya menandatangani JCPOA dengan Iran pada 2015. Masalahnya, seperti disinggung lagi oleh Kongres AS, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS keluar dari JCPOA sejak 8 Mei 2018.
AS tidak berhak
Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton juga meragukan kelayakan AS menggunakan mekanisme itu. ”Setidaknya, cobalah melakukannya dengan cerdik agar tidak terlihat bodoh. Saya kira, kita (AS) terlihat bodoh. Kita akan melihat apa yang bakal terjadi jika telanjur dalam kebodohan ini,” ujarnya seraya menyebut AS akan menanggung dampak kebodohan itu.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell juga menegaskan bahwa AS bukan lagi para pihak dalam JCPOA. ”Tidak bisa dipertimbangkan sebagai negara peserta JCPOA terkait pembalikan sanksi yang diatur dalam resolusi,” ujarnya seraya menyebut, semua negara tersisa dalam JCPOA akan bertemu di Vienna, Austria, pada 1 September 2020.
Deputi Wakil Tetap Rusia untuk PBB Dmitry Polyansky menyebut AS hanya mau mematuhi aturan yang menguntungkan dirinya. ”Dalam hukum internasional, Anda tidak bisa mundur dari kesepakatan, lalu mengaku tetap memanfaatkan kesepakatan itu,” tulisnya di media sosial.
Sementara Menlu Jerman Heiko Maas mengatakan, Jerman juga ingin mengajukan perpanjangan embargo senjata terhadap Iran. Masalahnya, perpanjangan itu pasti akan diveto Rusia dan China. Karena itu, Berlin sedang mencari solusi yang bisa diterima semua pihak. ”Dengan demikian, akan ada embargo senjata terhadap Iran di masa depan,” ujarnya.
Beberapa bulan terakhir, Berlin memang menyetujui perpanjangan embargo senjata terhadap AS. Walakin, Berlin memilih abstain dalam pemungutan suara atas usulan resolusi AS untuk isu itu. Berlin malah menolak usulan resolusi AS untuk pemberlakuan mekanisme pembalikan sanksi.
Bersama Inggris dan Perancis, Jerman sudah bertahun-tahun mencari cara untuk menjalankan kewajiban sesuai JCPOA. Sanksi AS membuat trio Eropa itu tidak kunjung memulihkan hubungan ekonomi dengan Iran. Padahal, Iran telah setuju mengurangi produksi senyawa radioaktif, mematikan reaktor, hingga mengizinkan pengawasan internasional pada program nuklirnya. Karena AS dan Eropa tidak kunjung memenuhi kewajiban, Iran memutuskan mengurangi komitmennya kepada JCPOA.
Pencairan aset
JCPOA juga dimanfaatkan Iran untuk menarik kembali aset-asetnya yang disita AS dan sekutunya sejak 1979. Dalam laporan Kongres AS, Washington, antara lain, menyita 400 juta dollar AS yang dibayar Teheran untuk membeli senjata buatan AS. Pesanan dibuat sebelum revolusi 1979. Karena revolusi, senjata pesanan itu dijual AS kepada pihak lain dan uang pembayarannya dibekukan. Washington juga membekukan 1,9 miliar dollar AS yang disimpan Bank Sentral Iran di Citibank, salah satu bank investasi yang berpusat di New York.
Selain uang, aset Iran yang disita AS antara lain sejumlah bangunan milik Iran di AS. Sebagian bangunan, yang bernilai 50 juta dollar AS, disewakan Washington kepada beberapa pihak selama puluhan tahun terakhir. Sebagian lagi tidak diungkap nilainya oleh Kementerian Keuangan AS.
Di sejumlah negara lain, aset-aset Iran juga dibekukan. Jurnal Foreign Affairs pernah menerbitkan laporan yang menaksir bahwa nilai total aset Iran yang dibekukan mencapai 120 miliar dollar AS. Selama perundingan JCPOA pernah dibahas bahwa aset-aset itu akan dikembalikan secara bertahap kepada Iran dalam rentang 15 tahun sejak JCPOA disepakati.
Namun, AS dan sejumlah negara terus menolak mencairkan aset-aset itu dengan berbagai alasan. Banyak gugatan, baik dari Iran maupun pihak lain, telah didaftarkan ke pengadilan di sejumlah negara terkait aset-aset itu. (AP/REUTERS)