Gencatan Senjata Munculkan Harapan Perdamaian di Libya
Pemimpin para kubu yang bertikai, dalam pernyataan terpisah, mengatakan mereka mau mengakhiri peperangan dan mengadakan pemilu. Langkah ini dipuji oleh PBB, Uni Eropa, dan beberapa negara Arab.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
TRIPOLI, MINGGU — Harapan bisa dimulainya proses perdamaian di Libya muncul setelah kubu berkonflik di Libya mengumumkan gencatan senjata. Namun, para pengamat skeptis dengan gencatan senjata itu setelah bertahun-tahun Libya dilanda gejolak kekerasan dan masuknya kekuatan asing.
Perdana Menteri Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Fayez al-Sarraj, yang bermarkas di ibu kota Tripoli dan didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Aguila Saleh, Ketua Parlemen Libya yang berpusat di Tobruk dan didukung pemimpin Tentara Nasiona Libya (LNA) Khalifa Haftar, Jumat lalu, sama-sama mengumumkan gencatan senjata mereka.
Para pemimpin, dalam pernyataan terpisah, mengatakan mereka mau mengakhiri peperangan dan mengadakan pemilu. Langkah ini dipuji PBB, Uni Eropa, dan beberapa negara Arab.
Emhemed Shoaeb, salah satu tokoh kunci yang ikut terlibat dalam perundingan yang menghasilkan kesepakatan pada 2015, mengatakan, pengumuman tersebut merupakan langkah yang tepat. Langkah ini menunjukkan keinginan para pihak untuk melepaskan diri dari kegelapan masa lalu.
Kepala Diplomatik Uni Eropa Josep Borrell menilai apa yang dilakukan dua pihak yang bertikai di Libya itu merupakan langkah awal yang konstruktif. Selama bertahun-tahun, komunitas internasional berusaha mengajak para pihak untuk bersepakat dan sampai sekarang belum juga ada kemajuan.
”Ini langkah awal yang akan sulit, terutama mengingat partai-partai lokal yang tidak saling percaya. Apalagi, sekarang juga ada pihak asing yang terlibat,” kata Emad Badi, peneliti di Lembaga Kajian Dewan Atlantik di Washington DC, Amerika Serikat.
Sejak diktator Libya Moammar Kadhafy digulingkan dan dibunuh pada 2011 dalam pemberontakan yang didukung NATO, Libya terbelah akibat gejolak kekerasan dengan pemerintahan rivalnya yang memperebutkan kendali dan kekuatan militer asing yang mendukung kedua pihak.
Buntu
Afrika Utara yang memiliki sumber minyak terbesar di Benua Afrika menjadi lahan pertarungan antara kelompok-kelompok milisi, jihad, dan tentara bayaran. Wilayah itu juga menjadi pintu masuk utama bagi migran putus asa dari Eropa.
”Saya sudah menduga rakyat Libya akan mulai serius dengan gencatan senjata kalau semua jalan sudah buntu,” kata bankir di Tripoli, Karima Munir.
Ia melanjutkan, kedua belah pihak akhirnya menyadari tidak akan ada pihak mana pun yang menang jika konflik berlanjut. Para pendukung kedua belah pihak juga tampaknya mulai menyadari itu.
Haftar, komandan militer wilayah timur, menggerakkan pasukannya untuk menguasai Tripoli dari GNA pada April 2019. Namun, ia lalu kalah. Semua pertikaian di sekitar Pelabuhan Sirte, pintu masuk terminal ekspor dan ladang minyak serta lokasi penting menuju pangkalan udara Al-Jufra, terhenti.
GNA didukung oleh Turki dan Qatar, sementara Haftar mendapat bantuan dari Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia. Keduanya tetap memiliki perbedaan mendasar. Bagi Sarraj, Sirte dan Al-Jufra yang saat ini di bawah kendali pasukan pro-Haftar harus didemiliterisasi.
Di sisi lain, Saleh tidak menyebut zona demiliterisasi, tetapi mengusulkan pembentukan dewan presidensial baru di Sirte, menggantikan pemerintahan Sarraj di Tripoli.
Peneliti di Institut Jerman untuk Isu Keamanan dan Internasional, Wolfram Lacher, mengatakan bahwa perbedaan keduanya sangat kentara. ”Jika kedua pihak mementingkan kepentingannya sendiri, perundingan akan terganggu,” ujarnya.
Demiliterisasi merupakan rencana AS, Inggris, dan Jerman untuk melawan pengaruh Turki dan Rusia. Rencana ini ditentang Rusia dan Uni Emirat Arab. Badi dari Dewan Atlantik mengatakan, demiliterisasi Al-Jufra akan menjadi titik sengketa mengingat jumlah tentara bayaran Rusia yang banyak di daerah itu.
Bagi warga Libya, mempertimbangkan Sirte sebagai pusat pemerintahan di masa depan mengingatkan pada rencana Kadhafy mengubah kampung halamannya untuk menjadi ibu kota negara.
”Ironis, tujuan utama Kadhafy sepanjang hidupnya untuk menjadikan Sirte pusat kekuasaan bisa jadi kini terealisasi. Ia pasti sedang tersenyum,” kata Munir. (AFP)