Semua klaim sepihak China atas wilayah Laut China Selatan tidak mengikat secara hukum terhadap negara lain sesuai UNCLOS. China dalam sengketanya dengan Filipina juga merujuk keputusan Mahkamah Arbitrase Antarbangsa.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Filipina mengingatkan China bahwa aneka upaya pemaksaan klaim di Laut China Selatan tidak berguna. Hanya argumen berlandaskan hukum internasional yang bisa dijadikan dasar klaim di perairan yang dipersengketakan tersebut, bukan klaim berdasarkan kehendak sepihak.
Dalam pernyataan tertulis pada Minggu (12/7/2020), Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengatakan, semua klaim sepihak China tidak mengikat secara hukum terhadap negara lain. Pernyataan itu didasarkan pada keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 12 Juli 2020.
”Keputusan (arbitrase) itu tidak bisa dirundingkan,” kata Locsin dalam pernyataannya tersebut.
Pernyataan itu dikeluarkan untuk memperingati empat tahun keputusan Mahkamah Tetap untuk Arbitrase sengketa di Laut China Selatan. Gugatan diajukan di tengah ketegangan Manila-Beijing atas sengketa sebagian Laut China Selatan. Selain dengan Filipina, China juga bersengketa dengan Vietnam, Malaysia, dan Brunei soal kepemilikan perairan di Laut China Selatan.
Adapun dengan Indonesia, China menyatakan ada tumpang tindih zona ekonomi ekslusif (ZEE) di perairan di utara Natuna. Jakarta—berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang sering disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan putusan PCA—menolak klaim Beijing dan tidak mau merundingkan masalah itu. Sebab, seperti diputuskan PCA, klaim Beijing tidak berdasarkan hukum internasional.
Selama proses persidangan, Beijing mencoba menyangkal kewenangan PCA. Walakin, PCA menegaskan kewenangannya untuk mengadili permohonan Manila. Apalagi, fokus persidangan bukan tentang negara mana yang berhak atas perairan di Laut China Selatan. PCA hanya menilai dasar klaim China di Luat China Selatan ditinjau dari UNCLOS 1982.
”Mahkamah menetapkan klaim China atas hak sumber daya di perairan dalam ’sembilan garis putus-putus’ yang didasarkan klaim sejarah, tidak punya dasar hukum. Sebaliknya, klaim berdasarkan hak sejarah atau hak lain yang melebihi batas geografis dan hak maritim lain yang dibenarkan UNCLOS, tidak mengikat,” lanjut Locsin.
Manila mengingatkan bahwa mahkamah menegaskan Beijing tidak bisa mengklaim hak atas perairan di sekitar pulau-pulau buatan China di Laut China Selatan. Sebab, pulau buatan tidak bisa dipakai untuk mengklaim perairan di sekitarnya. Mahkamah juga memutuskan reklamasi China di Laut China Selatan melanggar konvensi internasional dan membahayakan lingkungan hidup.
Locsin mengatakan, putusan sebagai perangkat untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan secara damai. Putusan itu juga menandai siapa saja yang dalam posisi bersalah jika mengklaim dengan cara berlawanan dari putusan tersebut.
”Putusan mahkamah adalah kemenangan, tidak hanya bagi Filipina, tetapi seluruh bangsa yang patuh hukum,” ujarnya.
Semua harus patuh
Manila kembali menegaskan kepatuhan atas putusan itu dan seharusnya ditegakkan tanpa kompromi. Sebagai sesama penandatangan UNCLOS, Manila mengajak Beijing mematuhi pula putusan itu.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional pada Kementerian Luar Negeri Damos Agusman menyatakan, putusan itu harus dipatuhi pula oleh setiap negara yang meratifikasi UNCLOS.
Indonesia juga akan melanggar UNCLOS jika bersedia merundingkan batas zona ekslusif (ZEE) yang didasarkan pada pulau-pulau buatan. Sebab, PCA telah menyatakan bahwa pulau-pulau itu tidak bisa dipakai siapa pun untuk mengklaim hak maritim apa pun yang disahkan UNCLOS.
”Meski tidak menyelesaikan sengketa, putusan itu menjernihkan sejumlah persoalan. Tidak ada bentukan di Spratly menghasilkan ZEE atau landas kontinen. ZEE dan landas kontinen hanya bisa didasarkan pada daratan,” lanjut Damos.
Damos juga mengingatkan bahwa putusan mahkamah tidak bisa dibalikkan atau disangkal dengan penggunaan kekuatan di lapangan. Hanya putusan lain yang didasarkan pada UNCLOS, bisa mematahkan putusan pada 2016 tersebut. (AP)