Masih ada pertanyaan sejumlah orang soal kemungkinan untuk tetap berangkat haji ke Tanah Suci. Tahun-tahun sebelumnya, sebagian anggota jemaah mencoba jalur tidak resmi demi berhaji. Namun, saat ini sebaiknya tidak.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Muslim Indonesia diimbau tidak nekat berangkat haji melalui jalur tidak resmi. Pandemi Covid-19 telah membuat semua peluang untuk menjalankan ibadah haji tertutup.
”Tahun ini akan sulit sekali untuk masuk Arab Saudi. Tak perlu mencoba macam-macam cara atau tergoda tawaran ini-itu. Orang di sini saja sulit mendapat izin haji,” ujar Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegriel dalam diskusi secara virtual bertajuk ”Strategi Diaspora Indonesia Menghadapi Tantangan Covid-19 di Negeri Orang” yang diselenggarakan oleh Muslimat Nahdlatul Ulama, Sabtu (11/7/2020).
Selain Agus, Muslimat NU juga mengundang Duta Besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, dan Duta Besar RI untuk Aljazair Safira Machrusah. Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indarparawansa dan Ketua Hubungan Luar Negeri Muslimat NU Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) juga menjadi pembahas dalam diskusi itu.
Zannuba mengatakan, sampai sekarang masih ada pertanyaan sejumlah orang soal kemungkinan tetap berangkat haji. Padahal, Pemerintah Indonesia telah mengumumkan tidak akan memberangkatkan jemaah haji pada 2020. Riyadh juga menyatakan tidak akan memberi visa bagi calon jemaah haji 2020.
Masalahnya, sebagian jemaah Indonesia mencoba jalur tidak resmi demi berhaji pada tahun-tahun. ”Sudah banyak yang tahu soal larangan (haji), tetapi masih ada pertanyaan,” ujarnya.
Agus mengatakan, pandemi Covid-19 membuat Riyadh telah memutuskan haji tahun ini hanya akan diikuti sekitar 1.000 anggota jemaah. Tidak ada orang dari luar Arab Saudi bisa masuk untuk menunaikan haji tahun ini.
Ia juga mengingatkan, pada tahun-tahun sebelumnya, banyak WNI malah gagal berhaji walau sudah membayar berkali lipat dari ongkos resmi. Sebab, mereka menggunakan jalur tidak resmi dan masuk Arab Saudi tanpa surat izin haji. Hasilnya, sebagian dikenai hukum dan tentu saja gagal berhaji.
Terkait pelayanan WNI oleh KBRI Riyadh dan konsulat jenderal yang dibawahkannya, Agus mengatakan, tantangan pelayanan selama pandemi ini relatif sama dengan sebelum pandemi. Persoalan utama adalah mayoritas WNI tidak melapor. ”Secara resmi, ada 350.000 WNI di sini, jumlah pastinya hanya Allah yang tahu,” ujarnya.
Arab Saudi menjadi negara asing dengan jumlah WNI pengidap Covid-19 terbanyak. Sampai Sabtu, 80 WNI masih dirawat karena Covid-19 di Arab Saudi. Selain mereka, ada 52 yang sudah sembuh dan 41 lain meninggal. Seperti terhadap warga asing lain, biaya pengobatan WNI yang terinfeksi Covid-19 di Arab Saudi ditanggung oleh Pemerintah Arab Saudi.
Pengalaman Jerman
Sementara Arif menyebut, Jerman dinilai sukses mengendalikan pandemi Covid-19. Kebiasaan selalu bersiap menghadapi krisis menjadi salah satu kunci Jerman mengendalikan wabah ini.
”Kapasitas ICU Jerman 35.000 tempat tidur, 28.000 dilengkapi dengan ventilator (alat bantu pernapasan). Tentara Jerman punya 10.000 ventilator,” ujarnya.
Arif mengatakan, setidaknya ada tiga faktor utama Jerman mengendalikan pandemi. Faktor itu adalah kepemimpinan, disiplin, dan selalu siaga terhadap krisis.
Kanselir Jerman Angela Merkel menunjukkan kepemimpinan secara mangkus dalam pengendalian Covid-19. Kedisiplinan pemerintah dan warga juga tidak kalah penting. ”WNI di Jerman ikut disiplin dan patuh, tidak banyak protes,” ujarnya.
Sementara kesiagaan menghadapi krisis ditunjukkan dengan jumlah alat bantu pernapasan yang berkali lipat jumlahnya dibandingkan negara lain.
Sebagai pembanding Inggris dan Italia punya masing-masing 7.000 alat bantu pernapasan dan Spanyol dengan 5.000 unit. Berlin mencadangkan sebanyak itu karena pola pikir yang selalu bersiap dalam kondisi kritis dan menghadapi kemungkinan terburuk.
Dengan kesiapan itu, kematian akibat Covid-19 di Jerman di bawah 10.000 kasus. Padahal, hingga Sabtu, Jerman mencatat 199.659 infeksi Covid-19. ”Jerman selalu tidak berpikir (keadaan terus) normal, selalu siaga krisis,” katanya.
Bahkan, lanjut Arif, kini jumlah pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit di Jerman tidak sampai 6.000 orang. Rumah sakit-rumah sakit tidak dalam kapasitas penuh. Meskipun demikian, semua tetap disiagakan untuk kemungkinan terburuk.
Djauhari pun senada dengan Arif yang menyebut kepemimpinan dan kepatuhan warga untuk melakukan isolasi sebagai faktor penting. Di Wuhan dan Beijing baru-baru ini, kepatuhan ditunjukkan warga dengan tetap berada di rumah kecuali jika ada keperluan sangat mendesak untuk keluar rumah.
Kebiasaan mengantisipasi kemungkinan terburuk, lanjut Arif, membantu Jerman perlahan memulihkan keadaan. Bundesliga menjadi kompetisi olahraga reguler pertama yang kembali digelar di tengah pandemi.
Selepas liga sepak bola Jerman itu kembali digelar, negara-negara lain mulai menjajaki penyelenggaraan kegiatan olahraga dan aktivitas lain yang berpotensi didatangi kerumunan orang.
Salah satu klub sepak bola Jerman, Union Berlin, menawarkan tes gratis bagi 22.000 penonton yang datang ke stadion. Tawaran itu bagian dari rencana klub membuka stadion secara penuh pada September 2020. Setiap calon penonton yang menunjukkan hasil tes negatif akan diizinkan masuk stadion.
”Stadion kami tidak mungkin untuk jaga jarak dan jika kami melarang bernyanyi atau berterian, itu bukan Union. Kami ingin memastikan tidak ada ada satu pun yang terinfeksi di stadion, ini berlaku untuk penonton dan pemain,” kata Presiden Berlin Union Dirk Zingler, seraya mengakui akan butuh biaya besar untuk rencana itu. (AP)