Ancaman Konflik dan Masa Depan Globalisasi Setelah Pandemi
Sudah bukan waktunya bertanya, apakah perang atau konflik akan terjadi. Di tengah pandemi, perang atau konflik dalam aneka bentuknya sudah terjadi dan semakin dipercepat.
Oleh
Kris Mada
·5 menit baca
Indonesia berada di dalam sedikitnya dua pusaran konflik yang, jika berkembang menjadi arena perebutan hegemoni global, akan berpeluang mengubah tatanan internasional itu. Pusaran yang menyeret Indonesia adalah Laut China Selatan atau LCS dan gelombang pro-kontra globalisasi.
Indonesia dipaksa terseret karena letak geografis dan status kekuatannya di panggung internasional. Beijing menyeret Jakarta dengan terus menyatakan ada sengketa perairan di LCS. Indonesia terus menolak hal itu dengan menyatakan bahwa klaim China tidak mempunyai dasar hukum internasional.
Jauh sebelum pandemi, Amerika Serikat telah bersaing dengan Rusia dan China. Dengan Rusia, persaingan AS terpusat di Eropa dan sebagian Afrika. Sementara dengan China, AS berhadapan dengan negara itu di seluruh benua.
AS secara rutin menempatkan tiga kapal induk, yang diiringi ratusan pesawat tempur dan puluhan kapal perang, di sekitar LCS. China juga menempatkan aneka persenjataan.
AS, China, dan Rusia juga terus membangun kekuatan ekonomi dan militer selama bertahun-tahun. Persenjataan hipersonik dan berbasis teknologi seluler generasi kelima terus dikembangkan tiga negara itu. Pengembangan kekuatan terus-menerus adalah satu dari tiga syarat pecahnya perang.
Syarat kedua adalah rebutan hegemoni. Sejarah mencatat, kekuatan baru cenderung memenangi perebutan hegemoni dari kekekuatan lama. Hal itu terjadi pada Romawi, Spanyol, Inggris, dan Portugal yang pernah menguasai lebih dari separuh wilayah Bumi di masa lalu.
”Kekuatan lama punya keterbatasan,” kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, dalam diskusi virtual ”Geopolitik Energi di Laut China Selatan” yang diselenggarakan Purnomo Yusgiantoro Center, Sabtu (20/6/2020).
Andi menyebut, kekuatan lama terjebak dalam status kekuasaan yang terlalu membentang. Akibatnya, fokus terpecah dan harus membagi sumber daya. Hal itu kini dihadapi AS yang mengurus terlalu banyak hal.
Mantan Panglima TNI Moeldoko, yang juga menjadi pembicara di forum itu, dan Andi mengungkit fakta sejarah bahwa perang besar selalu didahului resesi ekonomi yang diikuti kelangkaan sumber daya sehingga terjadi rebutan berujung konflik. Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan perang-perang kecil lain dipicu rebutan sumber daya. Pandemi Covid-19 telah memicu resesi, pertumbuhan ekonomi minus lebih dari satu periode secara berturut-turut, di hampir semua negara.
Untuk bisa benar-benar memicu perang, harus ada pihak yang yakin atas kemampuannya untuk memenangi perang. Kini, teknologi persenjataan AS relatif lebih unggul dari China. Walakin, sejumlah lembaga kajian mengungkap pengembangan persenjataan China membuat perang di masa depan akan sama sekali berbeda. Persenjataan yang kini dikembangkan China akan menjadi tumpuan perang di masa mendatang.
Arah globalisasi
Mantan Menteri Perdagangan M Lutfi, pembicara lain di forum itu, mengatakan bahwa AS juga semakin menunjukkan kecenderungan menjauhi globalisasi dan multilateralisme. ”Di masa lalu, negara-negara berkembang menolak globalisasi. Kini, dunia menyaksikan justru negara maju menolak globalisasi, seperti dilakukan Amerika Serikat,” ujarnya.
Bagi Indonesia dan negara yang setara, kecenderungan itu merugikan. Indonesia bisa menolak klaim China di LCS karena ada mekanisme multilateral.
Globalisasi juga memungkinkan banyak negara berkembang meningkatkan kesejahteraan karena terlibat dalam rantai pasok global (GVCs) dan perdagangan internasional. Dalam serangkaian laporan Bank Dunia disebutkan, negara berkembang tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan sumber daya untuk mengembangkan produk yang bisa bersaing di pasar global. Dengan GVCs, pekerja negara berkembang bisa menggarap produk yang dirancang di negara maju dan produk jadinya diekspor ke berbagai pasar.
Diplomat Afrika, Amina J Mohammad, menyebutkan bahwa negara-negara Eropa dan Amerika Utara bisa mencapai kemajuan seperti sekarang karena lebih dulu memanfaatkan perdagangan internasional. Ia secara terbuka mengkritik keputusan Presiden AS Donald Trump yang membawa AS keluar dari berbagai mekanisme multilateral dan menjauhi globalisasi.
Trump mengeluarkan AS dari kemitraan perdagangan trans-Pasifik (TPP). Ia juga mengeluarkan AS dari berbagai organisasi dan mekanisme multilateral demi mendorong slogan ”mengutamakan Amerika (America First). Di masa pandemi, AS mempercepat proses menjauhi globalisasi itu. ”Waktu pandemi dimulai, dunia menghadapi kelangkaan masker, obat, dan alat pelindung diri (APD) karena pasokannya bergantung pada satu negara,” kata Lutfi.
Setelah pandemi, GVCs akan berubah. AS, Jepang, dan sejumlah negara lain secara terbuka menyatakan akan mengubah struktur rantai pasoknya. ”Ini kesempatan Indonesia,” kata Mohammad D Revindo, ekonom Universitas Indonesia.
Indonesia bersaing dengan sejumlah negara untuk menarik pabrik-pabrik yang akan dipindahkan. Indonesia juga harus meyakinkan negara-negara lain untuk tetap teguh pada multilateralisme dan tidak meninggalkan globalisasi. Perdagangan internasional dan GVCs harus dipertahankan meski pandemi Covid-19 mengungkap kelemahan sistem produksi manufaktur global.
Pandemi ini antara lain mengancam kemampuan produksi negara-negara Eropa. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menaksir pandemi Covid-19 membuat ekspor global terpangkas 50 miliar dollar AS karena rantai pasok global atau GVCs terganggu. Kehilangan terbesar ditanggung oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, yakni senilai 26,6 miliar dollar AS. Sementara di antara negara berkembang, Vietnam paling terdampak karena ekspornya bisa terpangkas hingga 2,3 miliar dollar AS.
Rantai pasok akan lebih teregionalisasi dan sumbernya lebih beragam. Kawasan penghubung logistik akan berkembang demi mengurangi ketergantungan pada sumber pasokan tunggal, rantai pasok yang lebih lentur, sekaligus mendekatkan sumber bahan baku dan suku cadang ke pasar. Pemindahan pabrik juga akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja.
Setiap negara diharuskan cepat beradaptasi di tengah perubahan ini. Tidak hanya soal menarik investasi asing agar mau merelokasi usaha. Pemerintah juga harus memastikan pabrik yang dibangun di negaranya adalah bagian dari GVCs. Jika tidak, hasil produksinya akan sulit diterima pasar. Cita-cita memacu ekspor dengan modal baru pun akan sulit tercapai.
Baca juga laporan edisi khusus ”Wajah Baru Dunia”: