4 Tahun Era Suu Kyi, Demokrasi di Myanmar Tetap Mati
Sebelum ada reformasi, Myanmar berada di tingkat paling bawah Indeks Kebebasan Pers Dunia. Pada tahun 2010 dan 2016, peringkatnya naik, tetapi lalu turun lagi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Aung Marm Oo tak kuasa menyembunyikan kekesalan dan kemarahannya kepada pemerintahan sipil pimpinan penerima Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Ia kesal dan marah karena Pemerintah Myanmar memberangus kebebasan atas informasi media dengan memblokir media, membatasi kantor-kantor berita, melarang peliputan dan pemberitaan, serta menghukum wartawan.
”Demokrasi telah mati. Media adalah urat nadi demokrasi. Tanpa media, demokrasi tak bisa hidup,” kata Aung Marm Oo (37), Pemimpin Redaksi Grup Media Pembangunan (DMG), kepada kantor berita Reuters dari lokasi rahasia tempatnya bersembunyi.
Ketika Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah oleh junta militer pada 2011, Aung Marm Oo masih menjadi aktivis mahasiswa di pengasingan. Pembebasan Suu Kyi membuat Aung Marm Oo bersegera kembali ke Myanmar dan masuk ke dunia jurnalistik. Pemilu 2016 membawa Liga Nasional untuk Demokrasi, partai Suu Kyi, memegang tampuk kepemimpinan dan mengakhiri rezim militer yang telah berkuasa setengah abad.
Namun, para jenderal di junta militer tetap memegang pengaruh kuat, seperti disebut dalam konstitusi. Militer juga masih menguasai 25 persen kursi di parlemen. Kementerian Dalam Negeri pun dikendalikan oleh Tatmadaw, nama resmi angkatan bersenjata Myanmar. Kebebasan masyarakat sipil dan media juga tetap dibatasi.
Kebebasan media
Pemerintahan Suu Kyi beberapa kali pernah menyatakan kebebasan media penting untuk membangun demokrasi. Sebelum berkuasa, Suu Kyi juga kerap mengumbar pernyataan perlunya aturan hukum untuk melindungi wartawan.
Namun, pada praktiknya, pemerintah malah mendakwa 31 wartawan, dan beberapa bulan terakhir ini puluhan situs berita bahkan diblokir, termasuk DMG. Alasannya, situs-situs berita itu dianggap menyebarkan ”berita palsu” dan ”menyebarkan ketakutan”.
Karena diberangus, banyak wartawan bekerja di wilayah-wilayah yang dilanda pemberontakan. Aung Marm Oo sedang dicari polisi karena dituduh melanggar hukum setelah mewawancarai kelompok militan di Rakhine. Jika tertangkap, ia bisa dipenjara maksimal tiga tahun.
Rakhine menjadi daerah yang sensitif karena pernah mengalami kekerasan militer pada 2017 hingga memaksa lebih dari 730.000 warga Muslim Rohingya mengungsi. Kini, konflik kembali meletus antara pasukan pemerintah dan kelompok perlawanan Tentara Arakan yang direkrut dari Rakhine.
Tanpa nama
Wartawan-wartawan independen yang selama bertahun-tahun bertahan hidup di bawah tekanan junta militer semula berharap tak perlu lagi hidup bersembunyi dan menulis dengan tidak menyebutkan nama. Mereka juga berharap tak perlu lagi harus sembunyi dan menyelundupkan rekaman foto dan video. Namun, tampaknya cara itu masih harus dilakukan sebagai cara paling aman menyebarkan berita.
Untuk menjaga kelancaran pemberitaan, para wartawan DMG mengunggah hasil liputan mereka langsung ke media sosial Facebook dan menyelundupkan foto keluar dari zona-zona konflik melalui jaringan jurnalis warga.
Monywa Aung Shin, anggota senior partai Liga Nasional untuk Demokrasi dan editor jurnal partai berkuasa, membantah kebebasan media sudah hilang. Namun, ia mengakui, memang ada pembatasan akses dari laporan yang sudah muncul. Pandangan masyarakat terhadap wartawan perlu diperbaiki, dan otoritas mestinya memeriksa niat wartawan menghubungi kelompok militan sebelum menghukum mereka.
Wartawan situs Irrawaddy News, Lawi Weng, mengatakan bahwa tempat teraman bagi wartawan untuk menulis tanpa harus merasa takut adalah di luar Myanmar. Weng pulang lagi ke Myanmar pada 2013 setelah selama 10 tahun tinggal di Thailand. ”Ada konflik terjadi di depan mata kita, tetapi kita tidak bisa melaporkan,” ujarnya.
Dulu wartawan dihormati masyarakat karena berani melawan junta militer, tetapi sekarang banyak orang justru mencurigai mereka karena dianggap akan mengecam pemerintahan Suu Kyi yang populer di mata rakyat.
Sebelum ada reformasi, Myanmar berada di tingkat paling bawah Indeks Kebebasan Pers Dunia. Pada tahun 2010 dan 2016, peringkatnya naik, tetapi lalu turun lagi.
Kasus terparah menyangkut kebebasan pers adalah penangkapan dua wartawan Reuters saat mereka menyelidiki pembunuhan etnis Rohingya. Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar aturan rahasia negara dan dihukum penjara tujuh tahun. Keduanya dibebaskan setelah 500 hari dipenjara karena mendapat pengampunan dari presiden.
Tindakan hukum terhadap wartawan terus berlanjut. Kelompok pejuang hak lokal, Athan, mengatakan setidaknya 4 wartawan dihukum karena meliput konflik Rakhine. Wartawan Nay Myo Lin ditahan dan didakwa melanggar aturan hukum antiterorisme setelah hasil wawancaranya dengan juru bicara Tentara Arakan dimuat di Suara Myanmar, Maret lalu. Ia terancam hukuman seumur hidup, tetapi kemudian dibebaskan setelah ditahan 10 hari.
”Istri saya meminta saya untuk berhenti jadi wartawan karena berbahaya dan kami sudah tidak punya tabungan. Jadi, wartawan sudah tidak menguntungkan,” kata Nay Myo Lin.