Harga minyak global sudah terpangkas sedikitnya 60 persen sepanjang 2020. Sejumlah kajian menunjukkan, perusahaan AS hanya untung apabila harga minyak paling rendah 45 dollar AS per barel.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
WASHINGTON DC, KAMIS — Perusahaan-perusahaan tambang minyak dan gas bumi Amerika Serikat kembali terancam bangkrut. Sebab, biaya produksi mereka jauh di atas harga minyak yang kini anjlok akibat sengketa Arab Saudi dan Rusia.
Presiden AS Donald Trump mengatakan, industri minyak dan gas dunia berantakan. ”Buruk bagi Rusia, buruk bagi Arab Saudi, buruk bari semua. Saya kira mereka akan membuat kesepakatan,” ujarnya, Rabu (1/4/2020) siang waktu Washington atau Kamis dini hari WIB.
Harga minyak global sudah terpangkas sedikitnya 60 persen sepanjang 2020. Dalam perdagangan Rabu, harga minyak Texas sekitar 20 dollar AS per barel. Padahal, sejumlah kajian menunjukkan, perusahaan AS hanya untung jika harga minyak paling rendah 45 dollar AS per barel.
Sebaliknya, Riyadh tetap untung sekalipun harga minyak menyentuh 10 dollar AS per barel. Sebab, biaya produksinya rata-rata hanya 3 dollar AS per barel.
Akibatnya, perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi AS terancam bangkrut dan terjadi pemutusan hubungan kerja massal. Trump berencana bertemu pimpinan perusahaan migas AS dalam beberapa hari mendatang. Mereka akan mendiskusikan antara lain pengenaan bea masuk impor bagi Arab Saudi. Ada pula usulan penghapusan bagi hasil dan royalti di ladang konsensi federal.
Asosiasi perusahaan minyak dan gas bumi AS, API, dijadwalkan hadir. ”Kami tidak mencari subsidi atau intervensi tertentu dalam situasi ini,” kata Presiden API Mike Sommers.
Pernyataan itu berbeda dengan surat API kepada Trump pada 20 Maret 2020. Dalam surat itu, API meminta pengurangan sejumlah syarat operasional sesuai peraturan federal. Permintaan terutama terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Perang harga minyak resmi dimulai pada Rabu (1/4/2020). Saudi Aramco, perusahaan minyak Arab Saudi sekaligus perusahaan minyak terbesar di bumi, meminta kontraktornya mendukung peningkatan produksi mulai kemarin. Aramco mempertimbangkan produksi sampai 13 juta barel per hari. Riyadh juga akan menambah ekspor minyak mentah dari 10 juta barel menjadi 10,6 juta barel per hari.
Arab Saudi memutuskan menaikkan produksi dan ekspor setelah Rusia menolak tawaran OPEC untuk mengendalikan harga. OPEC dan Moskwa gagal bersepakat dalam pertemuan di Vienna, Austria, pada Maret 2020.
Kala itu, seharusnya Rusia dan OPEC membahas kelanjutan pengendalian pasokan minyak di tengah penurunan harga akibat wabah Covid-19 dan perlambatan ekonomi global.
”Tidak mungkin OPEC, tanpa Rusia dan AS, akan mencapai kesepakatan pengendalian jumlah (produksi) di tengah penurunan permintaan,” demikian tercantum dalam laporan BNP Paribas.
Badan Energi Internasional (IEA) menyebut, penurunan harga minyak akan berimbas pula kepada perusahaan gas bumi. ”Harga minyak 25 dollar AS per barel akan membuat pemasok gas internasional kesulitan mengatasi biaya operasional,” demikian laporan IEA.
”Memacu produksi di tengah penurunan permintaan sangat menyulitkan dan tidak bagus bagi kepentingan bersama atas pasar yang stabil,” kata juru bicara Departemen Energi AS, Shaylyn Hynes.
Washington sudah bolak-balik merasakan dampak perang harga minyak yang dipimpin Riyadh. Dampak terakhir dirasakan pada 2014, kala Riyadh marah atas keputusan Washington menolak ikut mengendalikan harga di tengah semangat produksi minyak serpih di AS.
Arab Saudi memacu produksi sehingga harga anjlok menjadi di bawah biaya produksi minyak serpih, yakni minyak yang disedot di antara rekahan bebatuan di bawah permukaan bumi. Akibatnya, banyak perusahaan minyak serpih AS bangkrut. (AP/REUTERS)