Merebaknya pandemi Covid-19 memaksa sejumlah negara dan pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Salah satunya pembatasan. Dampaknya, warga harus bekerja di rumah.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Sedikitnya 500 juta orang di seluruh dunia kini tinggal di rumah dan menjaga jarak sosial, atas permintaan pemerintah, untuk mengantisipasi penyebaran pandemi Covid-19. Bahkan, banyak negara yang sudah memberlakukan pembatasan atau penutupan wilayah (lockdown) untuk meminimalisasi pergerakan warga. Pembatasan wilayah dan menjaga jarak sosial, untuk sementara ini, dianggap solusi efektif untuk menekan laju penyebaran virus.
Ibu kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, lokasi pertama munculnya Covid-19, sudah menutup dirinya dari dunia luar sejak akhir Januari lalu. Aturan karantina masih berlaku sampai sekarang, tetapi warga sudah boleh keluar rumah sejak 14 Maret lalu. Kebijakan China ini ditiru oleh delapan negara, seperti Italia (sejak 10 Maret), Spanyol (14 Maret), Lebanon (15 Maret), Ceko (16 Maret), Perancis, Israel, dan Venezuela (17 Maret), dan Belgia (18 Maret).
Dengan kebijakan ini, seluruh tempat publik ditutup dan event keramaian yang mendatangkan banyak orang ditunda atau dibatalkan. Sejumlah perusahaan juga meminta karyawan untuk bekerja dari rumah setidaknya 14 hari sampai satu bulan ke depan. Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengimbau warga untuk bekerja dari rumah. Masalahnya, tak semua orang bisa bekerja di rumah karena tuntutan pekerjaan yang berbeda-beda. Alasannya, orang toh tetap harus bekerja untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Bagi warga di negara-negara yang sudah memberlakukan cara ini jauh-jauh hari bukan hanya masalah pendapatan yang terganggu, tetapi lalu muncul ancaman gangguan kejiwaan ringan, seperti stres yang dimulai dengan rasa bosan atau jenuh. ”Rasanya seperti kena hukuman tahanan rumah,” kata pengusaha Louis Lapointe, warga Italia, yang biasanya ke kantor dan bertemu banyak orang di luar kantor.
Sebelum ke kantor, Lapointe biasanya berolahraga setiap pagi di wahana olahraga. Sepulang kantor, sesekali ia berkumpul dengan teman-temannya di kafe, bar, atau restoran. Tetapi gara-gara Covid-19, ia tidak punya pilihan lain selain di rumah seharian. ”Rasanya malah seperti kehilangan semangat,” ujarnya.
Psikolog di Queen Elizabeth Health Complex, Inggris, Pierre Faubert, membenarkan menjaga jarak sosial itu tidak mudah karena manusia pada dasarnya mahluk sosial yang sejak lahir manusia secara genetik membutuhkan interaksi dengan orang lain. ”Berbagai cara komunikasi lewat gadget seperti aplikasi chat-chat tidak bisa menggantikan karena otak tidak bekerja seperti gadget,” ujarnya.
Meski berat, Lapointe mengakui mengisolasi diri untuk saat ini penting demi kesehatan diri dan orang lain. Untuk menjaga kewarasan, ia mulai kursus bahasa Spanyol online supaya tetap sibuk. ”Harus selalu menyibukkan diri dengan melakukan apa saja. Kalau tidak, saya bisa gila,” ujarnya.
Komunikasi
Media The Atlantic, 13 Maret lalu, menyebutkan tren bekerja di rumah atau di luar kantor (remote working) sudah lama muncul, jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19. Selama 15 tahun terakhir, jumlah orang yang bekerja dari rumah bertambah tiga kali lipat.
Dalam artikel ”Does Working from Home Work” tahun 2016 disebutkan satu tim ahli ekonomi meneliti 16.000 karyawan perusahaan agen perjalanan Ctrip di China yang diminta bekerja di rumah. Hasilnya, karyawan senang dan pemilik perusahaan juga senang karena pengeluaran operasional jadi lebih hemat. Namun ketika hendak dijadikan kebijakan permanen, tidak ada yang mau. Alasannya, khawatir akan kesepian.
Ancaman terbesar dari bekerja di rumah itu hilangnya ikatan sosial yang penting dan dibutuhkan dalam menjalin kerja sama yang produktif. Beberapa tahun lalu, perusahaan Google meneliti kelompok yang paling produktif di Google. Hasilnya, poin yang terpenting dan bisa membuat orang produktif justru adalah adanya faktor ”keamanan secara psikologis”.
Untuk saat ini, bekerja dari rumah mungkin tidak akan cocok untuk perusahaan tertentu. Ini karena selama 120 tahun terakhir orang terbiasa dengan pola pikir akan bisa produktif jika berada di kantor.
Situs BBC menyebutkan tahun lalu perusahaan pengembang merek Buffer meneliti 2.500 pekerja luar kantor. Hasilnya, tantangan kedua yang terberat bagi mereka adalah rasa kesepian. Kesepian membuat orang merasa kurang termotivasi dan kurang produktif. Namun, kesepian itu bisa dikurangi jika komunikasi rutin dengan rekan kerja atau teman-teman yang lain bisa dilakukan dengan video-call.
Guru Besar Ekonomi di Stanford University, California, Amerika Serikat, Nicholas Bloom mengatakan, kebiasaan bekerja di luar kantor belum menjadi tren karena di AS baru sekitar 5 persen dari total jumlah pekerja di AS yang betul-betul 100 persen bekerja di luar kantor. Terkait dengan pandemi Covid-19, tidak jelas sampai kapan orang harus bekerja di rumah saja. Jika akan berlangsung lama, orang harus mulai beradaptasi karena akan banyak masalah datang, terutama bagi orangtua yang akan kesulitan membagi waktu kerja dan menemani anak di rumah.
Isolasi jangka panjang berdampak pada moral dan produktivitas. Apalagi jika setiap hari didera kabar dan berita yang mencemaskan tentang Covid-19. Namun tetap berkomunikasi dan berinteraksi aktif dengan orang lain akan membantu meminimalisasi stres, bosan, yang berpotensi memicu depresi.
”Kalau hanya dua minggu, mungkin tidak akan masalah. Tetapi kalau untuk jangka lebih panjang, pasti akan ada dampak ekonomi dan kesehatan yang serius,” kata Bloom.
Bloom kembali menekankan pentingnya interaksi dan komunikasi tatap muka secara online sesering mungkin melalui, misalnya, video-call. Karena situasi yang tidak menentu akibat Covid-19 ini, kita harus bisa mempersiapkan diri dengan cara bekerja yang baru. Yang terpenting, kuncinya menjaga semangat agar tetap produktif bekerja dengan tetap menjaga jalinan sosial melalui komunikasi aktif.