Salah satu upaya negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat yaitu dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Namun, draf yang ada saat ini dinilai masih belum sesuai dengan usulan dan aspirasi masyarakat adat.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan aturan yang melindungi masyarakat adat membuat mereka masih rentan terhadap berbagai bentuk ancaman, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kehadiran Undang-Undang tentang Masyarakat Adat sangat mendesak untuk disahkan agar masyarakat adat tidak hanya mendapat pengakuan, tetapi perlindungan dari negara.
Konflik antara masyarakat adat dan sejumlah pihak masih terus terjadi sampai saat ini. Berdasarkan catatan akhir tahun 2021 dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang 2021 terdapat laporan 13 kasus perampasan wilayah adatseluas 251.000 hektar dan berdampak pada pada 103.717 jiwa.Terbaru, 14 kasus konflik masyarakat adat telah tercatat sepanjang Januari-Mei 2022.
Menurut catatan AMAN, konflik ini terjadi akibat adanya berbagai proyekpembangunan dari swasta dan pemerintah. Konflik semakin diperparah menyusul pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sejumlah ketentuan dalam UU tersebut dipandang berpotensi menghilangkan seluruh sumber penghidupan masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi saat berbincang dengan Kompas secara daring, Rabu (1/6/2022), menyampaikan, konflik yang menimpa masyarakat adat bukan hanya terkait dengan lahan, tetapi juga wilayah dan sumber daya. Konflik tak kunjung surut karena selama ini perlindungan terhadap masyarakat adat masih lemah.
”Kriminalisasi terjadi ketika negara, perusahaan, atau pihak mana pun menggunakan peraturan yang ada untuk membungkam dan mengintimidasi masyarakat adat. Jadi, setiap masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya terancam dikriminalisasi,” ujarnya.
Salah satu tuntutan utama AMAN terhadap negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat yaitu dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi. Namun, substansi dalam draf RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini dinilai masih belum sesuai dengan aspirasi dikehendaki masyarakat adat.
Salah satu substansi yang dikehendaki dapat tertuang dalam RUU Masyarakat Adat di antaranya terkait dengan mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat yang masih sulit dan rumit. Agar setiap proses pengakuan dan segala hal yang menyangkut masyarakat adat lebih terarah, maka perlunya lembaga khusus seperti Komisi Nasional Masyarakat Adat.
Isu lain yang perlu ditegaskan kembali dalam RUU Masyarakat Adat ialah terkait dengan resolusi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan korporasi atau pihak lainnya.Di sisi lain, seluruh aturan dan kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat harus tunduk pada RUU Masyarakat Adat agar terdapat harmonisasi dan sinkronisasi.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan menyatakan, tim kerja di KSP yang dibentuk untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat secara formal telah selesai dilakukan. Laporan tersebut juga telah dikirimkan ke presiden dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
Terkait perkembangan dari RUU Masyarakat Adat, kata Usep, pemerintah masih terus membahas dan menyusun peraturan ini dengan DPR. Posisi terakhir RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Seluruh aturan dan kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat harus tunduk pada RUU Masyarakat Adat agar terdapat harmonisasi dan sinkronisasi.
Saat ini, KSP juga tengah menyiapkan pembentuka n gugus tugas untuk menjaring pandangan dan masukan dari para akademisi, tokoh gerakan masyarakat adat, hingga praktisi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terkait dengan masyarakat adat. Gugus tugas ini penting sebagai bentuk konsolidasi sehingga komitmen penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat dapat direalisasikan dengan cepat.
Hutan adat
Di samping pengesahan RUU Masyarakat Adat, Rukka Sombolingi juga menyoroti terkait dengan penetapan hutan adat yang masih belum ada perkembangan signifikan karena proses yang panjang dan rumit. Sampai saat ini, luas hutan adat yang sudah ditetapkan dan dikembalikan ke masyarakat adat baru mencapai 75.000 hektar dengan 89 surat keputusan.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, sampai Maret 2022, telah dibuat 1.091 peta wilayah adat yang tersebar di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota dengan luas mencapai 17,6 juta hektar. Dari total jumlah tersebut, sebanyak 176 peta dengan luas 2,6 juta hektar telah mendapat status penetapan dari pemerintah daerah setempat.
Selain itu, 667 peta atau 12,7 hektar tercatat telah memiliki registrasi di BRWA tetapi belum mendapat penetapan. Sementara 248 peta lainnya atau 2,15 juta hektar belum mendapat status pengakuan apa pun dari pemerintah pusat dan daerah.
Kepala BRWA Kasmita Widodo dalam lokakarya terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat akhir April lalu menjelaskan, proses pengakuan wilayah adat ini dilakukan dengan pembentukan kebijakan melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Namun, ia juga mengakui belum mendapat banyak informasi terkait pengakuan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut Kasmita, sampai saat ini BRWA belum melihat peta wilayah adat secara utuh dalam kebijakan satu peta khususnya untuk wilayah yang belum mendapat pengakuan. Sebab, selama ini kebijakan satu peta hanya mengintegrasikan wilayah dan hutan adat yang sudah diakui atau mendapat ketetapan dari pemerintah daerah.
Kepala Subdirektorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan LokalKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yuli Prasetyo Nugrohomenambahkan, upaya percepatan penetapan hutan adat perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah. Sebab, banyak hutan adat yang secara administrasi saling tumpang tindih dengan wilayah lain.
Yuli menyebut bahwa peta terkait wilayah adat mayoritas sudah tersedia. Namun, peta spasial tersebut masih banyak yang belum dipahami oleh pemda karena masyarakat adat menetapkan wilayah adatnya dengan kearifan lokal atau menggunakan batas alam.
”Peta ini terkadang belum diinternalisasi oleh para pihak baik daerah maupun pemangku seperti kesatuan pengelolaan hutan dan pihak taman nasional. Jadi perlu perencanaan bersama karena penetapan hutan adat ini merupakan salah satu upaya dalam penyelesaian konflik,” ujarnya.