Tren peningkatan curah hujan di Indonesia pada 2022 perlu dimitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, termasuk yang juga rentan terdampak.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren peningkatan curah hujan di Indonesia pada 2022 perlu dimitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, termasuk yang juga rentan terdampak.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG Ardhasena Sopaheluwakan, di Jakarta, Senin (30/5/2022), mengatakan, tingginya curah hujan di Indonesia pada Mei 2022 tidak hanya dipengaruhi oleh La Nina. Hal ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh terus hangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia yang mengikuti kecenderungan pemanasan global.
”Kontribusi penghangatan suhu permukaan laut ini lima kali lebih besar dibandingkan dengan pemanasan suhu muka laut akibat La Nina di Indonesia,” katanya.
Pemantauan mengenai lanjutan evolusi La Nina terus dilakukan oleh BMKG dan akan disampaikan sesegera mungkin kepada publik, media, dan para pihak terkait seandainya ada perkembangan yang signifikan. (Ardhasena Sopaheluwakan)
Menurut Ardhasena, tren terus menghangatnya suhu muka laut ini akan menyuplai uap air yang lebih banyak sehingga dapat memicu pertumbuhan awan dan hujan yang lebih intens. Hal ini, kata dia, dapat berimplikasi terhadap peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Sedangkan penguatan fenomena La Nina yang ditandai dengan penurunan indek Nino3.4 di Samudra Pasifik, menurut Arhadesena, lebih disebabkan oleh fluktuasi siklus tahunan suhu permukaan perairan laut ini. Secara klimatologis, Samudra Pasifik akan cenderung mendingin setelah periode musim semi di belahan bumi utara.
”Suhu muka laut di Pasifik masih relatif sama dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pemantauanmengenai lanjutan evolusi La Nina terus dilakukan oleh BMKG dan akan disampaikan sesegera mungkin kepada publik, media, dan para pihakterkait seandainya ada perkembangan yang signifikan,” ujarnya.
Sektor pertanian
Ardhasena menambahkan, salah satu sektor yang paling terdampak dari peningkatan bencana hidrometeorologi yaitu sektor pertanian,khususnya produksi tanaman pangan. ”Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan potensi banjir meningkat sehingga merusak lahan pertanian. Selain itu, curah hujan yang tinggi akan merusak proses pembungaan sehingga terjadi kegagalan dalam proses pembuahan,” ucapnya.
Menurut dia, pada akhir Mei hingga awal Juni 2022, beberapa wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan tinggi dengan status Waspada meliputi Jawa Tengah (terutama Cilacap), Sulawesi Selatan (Bulukumba, Luwu Utara, Sidenreng Rappang, Sinjai, Wajo), Maluku (Ambon), Papua Barat (Fakfak), dan Papua (Dogiyai). Sementara beberapa wilayah yang berstatus Siaga dalam menghadapi potensi curah hujan tinggi meliputi Sulawesi Selatan (Bone) dan Maluku (Maluku Tengah).
Menurut Ardhasena, dampak peningkatan curah hujan akan berbeda-beda di setiap wilayah Indonesia. Mengacu data Kementerian Pertanian melalui laman Si Katam (Kalender Tanam), waktu tanam ke-2 dominan untuk wilayah Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dimulai sejak Maret II-2022 sehingga wilayah tersebut dapat menyesuaikan potensi peningkatan kejadian surplus curah hujan dimulai Juni 2022.
”Untuk komoditas padi,hal yang perlu diwaspadai yaitu potensi kerusakan lahan padi yang sudah hampir matang akibat meningkatnya curah hujan yang menyebabkan banjir,” ucapnya.
Untuk membantu petani memitigasi risiko meteorologi, menurut Ardhasena, BMKG telah memberikan dukungan langsung melalui Sekolah Lapangan Iklim (SLI). ”Kami akan menyelaraskan pelaksanaan kegiatan SLI mulai Juni 2022, khususnya di wilayah Indonesia Timur, untuk memberikan informasi terkini terkait kondisi iklim (termasuk La Nina) dan mendiskusikan potensi peningkatan produktivitas dengan menanam lebih awal bersama penyuluh, petani, dan pihak lain yang terkait,” katanya.
Di sisi lain, sekalipun cuaca diperkirakan relatif basah, potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga masih bisa terjadi. ”BMKG telah merilis prediksi indeks potensi. Hasil prediksi sampai September 2022 menunjukkan bahwa masih terdapat daerah yang memiliki potensi karhutla signifikan di Sumatera bagian tengah dan Kalimantan bagian tengah,” ucapnya.
Kombinasi La Nina dan IOD
Data BMKG menunjukkan, indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) pada Mei 2022 mencapai -1,22, menandai kondisi La Nina dalam fase moderat. Pada saat bersamaan, indeks IOD (Indian Ocean Dipole) sebesar -0,3.
”BMKG memperkirakan kondisi IOD akan negatif hingga Agustus 2022. Sebagian besar pusat layanan iklim lainnya memprakirakan kondisi IOD semakin negatif pada Juni-Desember 2022,” kata peneliti iklim dan Sub-Koordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Fase IOD negatif menunjukkan wilayah barat Samudra Hindia lebih dingin ketimbang wilayah timurnya, yang umumnya berdampak terhadap peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia. ”IOD negatif selama ini telah diketahui meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat, terutama banyak wilayah di Sumatera dan Jawa,” ucapnya.