Dokumen Kontribusi Nasional Penurunan Emisi Perlu Disesuaikan
Semua pihak perlu mendorong agar Indonesia dapat mencapai emisi bersih lebih cepat dari target yang ditetapkan, yakni 2060. Sebab, tren emisi global saat ini masih terus meningkat disebabkan penggunaan energi fosil.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembaruan dokumen kontribusi nasional penurunan emisi atau NDC sesuai Kesepatan Paris 2015 dari Indonesia dinilai perlu disesuaikan dengan agenda emisi bersih 2050. Tidak adanya komitmen penurunan emisi yang lebih ambisius akan menyebabkan dampak perubahan iklim kian nyata bagi seluruh ekosistem.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa mengemukakan, semua pihak perlu berpikir kritis terkait kemungkinan Indonesia mencapai emisi bersih (net zero emission/NZE) sebelum target yang ditetapkan, yakni tahun 2060 atau lebih cepat. Sebab, tren emisi global saat ini terus meningkat dan sebagian besar karena penggunaan energi fosil.
”Komitmen penurunan emisi semua negara, termasuk Indonesia, bila dihitung ada selisih untuk mencapai suhu di bawah 1,5 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris. Jadi, komitmen penurunan emisi semua negara, termasuk Indonesia, tidak cukup dan harus ditingkatkan,” ujarnya dalam diskusi daring tentang tolok ukur kebijakan emisi bersih Indonesia 2050, di Jakarta, Jumat (27/5/2022).
Menurut Mahawan, semua pihak perlu melihat sejumlah kebijakan guna mencapai atau mempercepat emisi bersih ini. Merujuk laporan dari Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), tidak adanya komitmen penurunan emisi lebih ambisius akan menyebabkan dampak perubahan iklim kian nyata bagi seluruh ekosistem darat ataupun laut, termasuk kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Komitmen penurunan emisi semua negara, termasuk Indonesia, tidak cukup dan harus ditingkatkan.
Guna membantu mempercepat penurunan emisi, Mahawan menyebut NDC Indonesia, termasuk pembaruan terakhir, perlu disesuaikan dengan komitmen visi NZE 2050. Melalui penyesuaian ini, puncak emisi ditargetkan terjadi pada 2030.
Setelah itu, pada 2031 dan seterusnya, emisi di sektor energi, industri, kehutanan dan tata guna lahan, pertanian, hingga limbah harus lebih kecil daripada penyerapannya. Jika target ini tidak tercapai, Indonesia akan keluar dari visi emisi bersih 2050.
Selain menyesuaikan NDC dengan komitmen NZE 2050, Mahawan memandang Indonesia perlu mendesak negara maju untuk mencapai emisi bersih lebih cepat dari target 2050. Sebab, berbagai komponen penurunan emisi dari setiap negara saling berkaitan.
”Negara-negara maju lebih cepat mencapai emisi bersih dengan teknologi mereka dan ini bisa mendorong negara berkembang. Hal ini pasti terjadi karena ekosistem teknologi dan industri saling berkaitan satu sama lain,” tuturnya.
Tak hanya penyesuaian dokumen penurunan emisi, kata Mahawan, dibutuhkan juga sejumlah strategi mitigasi di semua sektor. Pada sektor energi, strategi mitigasi yang bisa diterapkan di antaranya meninggalkan energi fosil, mengurangi permintaan energi, mengembangkan sistem transportasi yang lebih efisien, dan elektrifikasi kendaraan.
”Catatan terkait kebijakan energi ini, perlu implementasi yang jelas. Jadi, kebijakan yang dibuat sebenarnya sudah sesuai dengan sumber emisi. Selain itu, perlu monitoring dan kontrol yang kuat dan bagaimana mengembangkan ekosistem teknologi hijau,” ucapnya.
Progresif
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanto Rochmayanto, mengatakan, Indonesia cukup progresif dalam menyusun rencana jangka panjang rendah emisi karbon berketahanan iklim (LTS-LCRR). Salah satu ambisinya ialah mencapai penyerapan karbon bersih di sektor kehutanan dan tata guna lahan (FoLU Net Sink) 2030.
Selain itu, di Indonesia sudah banyak regulasi yang sesuai visi dan target LTS-LCRR. Regulasi itu meliputi, antara lain, mengatur penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer, instrumen ekonomi lingkungan hidup, dan aturan terbaru nilai ekonomi karbon.
Meski demikian, implementasi program penurunan emisi masih menemui sejumlah tantangan. Sebagai contoh, saat ini masih kerap terjadi perbedaan persepsi terhadap pengelolaan lahan gambut. Di satu sisi, gambut diarahkan untuk perlindungan dan konservasi. Di sisi lain, gambut dalam perspektif agrikultur diarahkan sebagai sumber daya lahan produktif.
”Catatan lain, untuk meningkatkan target ambisi, misalnya di sektor pertanian, yaitu peningkatan produktivitas dan penanaman. Pada sektor kehutanan dan tata guna lahan bisa meningkatkan manajemen dekomposisi gambut dan silvikultur intensif,” katanya.