Karbon Biru Disiapkan Masuk Dokumen Penurunan Emisi Indonesia
Potensi karbon biru Indonesia sangat besar karena memiliki 3,3 juta hektar mangrove dan 3 juta hektar padang lamun. Karbon biru ini dapat digunakan sebagai instrumen penurunan emisi gas rumah kaca.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi karbon biru yang besar sebagai instrumen penurunan emisi gas rumah kaca. Hal ini mengingat ada sekitar 3,3 juta hektar mangrove dan 3 juta hektar padang lamun. Indonesia masih berupaya agar potensi ini masuk dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi atau NDC.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengemukakan, Indonesia terus berupaya menggali potensi untuk bisa menurunkan emisi dan meningkatkan serapan gas rumah kaca. Ini di antaranya potensi pada ekosistem perairan, seperti mangrove dan padang lamun di sepanjang pantai di Indonesia.
”Dua ekosistem yang dimiliki Indonesia ini punya potensi yang sangat besar sebagai penyerap karbon. Sebab, luas mangrove di Indonesia merupakan 23 persen dari total mangrove di dunia dan untuk padang lamun kita punya sekitar 30.000 kilometer persegi,” ujarnya dalam webinar terkait karbon biru, Rabu (8/9/2021).
Menurut Laksmi, karbon biru saat ini dipandang perlu menjadi pertimbangan dalam menghitung serapan emisi gas rumah kaca. Mulai tahun ini, karbon pada mangrove akan ditambahkan dalam aspek penyerapan atau penurunan emisi karena vegetasi pesisir ini dapat menyimpan emisi hingga 78 persen.
Ke depan kami juga akan memasukkan potensi penyerapan atau pengurangan emisi karbon melalui sektor kelautan.
Di sisi lain, potensi karbon biru yang berbasis mangrove juga memiliki perspektif sosial yang sangat tinggi untuk meningkatkan resiliensi atau daya tahan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, implementasi kebijakan pengendalian perubahan iklim pada sektor kelautan ini dilakukan baik melalui program maupun kegiatan terkait adaptasi.
”Pada Juli 2021 Indonesia sudah mengirimkan dokumen pembaruan NDC kepada Sekretariat UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim)). Salah satu poin pembaruan ini adalah memasukkan sektor kelautan dalam konteks adaptasi. Ke depan, kami juga akan memasukkan potensi penyerapan atau pengurangan emisi karbon melalui sektor kelautan,” katanya.
Dalam dokumen pembaruan NDC, Indonesia memang belum memasukkan karbon biru sebagai bagian dari penghitungan target mitigasi perubahan iklim. Namun, kata Laksmi, KLHK sudah mengembangkan dan menjalankan langkah-langkah untuk memasukkan penghitungan atau potensi karbon biru dalam NDC.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan sudah berdiskusi dengan para pakar untuk melihat sejauh mana Indonesia dapat memasukkan potensi karbon biru ke dalam konteks mitigasi perubahan iklim.
Laksmi mengatakan, isu perubahan iklim sudah menjadi arus utama dan terintegrasi dengan sektor pembangunan lainnya termasuk kelautan maupun pesisir. Keberhasilan penerapan konsep pengendalian perubahan iklim di sektor kelautan dan pesisir sangat bergantung pada implementasi aspek konservasi, terutama terkait penghidupan masyarakat lokal.
Negara-negara kepulauan, seperti Fiji, Panama, dan Kosta Rika, saat ini sudah mencari cara untuk menyinergikan visi laut dan perubahan iklim. Indonesia dan sejumlah negara tersebut pada konferensi para pihak tentang perubahan iklim (COP) ke-25 pada 2019 telah menyampaikan proposal untuk mengintegrasikan aspek kelautan ke dalam isu perubahan iklim yang saat itu belum banyak dibahas.
”Indonesia dan negara tersebut menyampaikan proposal karena kami menganggap isu ini sangat penting dalam konteks negara kepulauan. Indonesia telah menyampaikan pandangan tentang dialog kelautan dan perubahan iklim kepada UNFCC,” katanya.
Identifikasi potensi
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengatakan, KKP tengah berupaya mengidentifikasi potensi mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan. Selain karbon biru, potensi lainnya yang dikembangkan adalah perikanan tangkap dan budidaya serta pengolahan hasil perikanan.
”Kami terus berupaya menurunkan emisi, misalnya mengurangi penggunaan bahan bakar dengan menyubsidi atau mengganti dengan bahan bakar gas. Kemudian mengganti peralatan tangkap ramah lingkungan hingga mengubah kegiatan mencari ikan menjadi menangkap ikan,” tuturnya.
Yusuf juga menekankan pentingnya rehabilitasi mangrove untuk meningkatkan potensi karbon biru di Indonesia. KKP mencatat, dari 3,3 juta ekosistem mangrove di Indonesia, sebanyak 637.000 hektar atau 19,26 persen masuk kategori kritis. Mangrove yang kritis ini terus diupayakan untuk direhabilitasi oleh KKP, KLHK, serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menambahkan, pemanfaatan potensi karbon biru perlu disertai dengan aspek konservasi. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan ekosistem laut dan pantai bisa lebih berkelanjutan.