Pengurangan Risiko Bencana Bertumpu pada Media dan Generasi Muda
Peran media dan generasi muda sangat penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Mereka bisa memberikan masukan dan membantu untuk menciptakan program atau aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengurangan risiko bencana sangat bertumpu pada media dan generasi muda karena dianggap menguasai bahasa komunikasi yang baik. Kesadaran dan pemahaman generasi muda terkait pengurangan risiko bencana ini diharapkan terus tumbuh melalui berbagai program termasuk satuan pendidikan aman bencana.
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Udrekh mengemukakan, media merupakan unsur edukasi terpenting bagi upaya literasi bencana yang efektif. Sebab, media memiliki bahasa komunikasi yang mudah dipahami, universal, dan tidak ada batasan.
”Selain media, generasi muda juga berperan penting dalam upaya meningkatkan literasi dan pengurangan risiko bencana. Peran mereka sangat signifikan untuk membangun Indonesia tangguh bencana 2045,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Media serta Keterlibatan Remaja dan Orang Tua dalam Pengurangan Risiko Bencana”, Jumat (20/5/2022).
Bila memasukkan dalam bentuk muatan lokal cukup sulit, maka kita sisipkan ke pelajaran utama, seperti Bahasa Indonesia atau Matematika. (Udrekh)
Udrekh mengakui bahwa pandemi Covid-19 memberikan tantangan dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia. Petugas sulit menangani bencana dan korbannya dengan menerapkan protokol kesehatan. Bahkan, hal ini kerap berimbas pada peningkatan kasus Covid-19 usai terjadi bencana alam di daerah tersebut.
”Implementasi program ini ternyata tidak mudah karena guru merasa kewalahan. Di sisi lain, menambah satu pembelajaran kebencanaan akan membuat bidang lain juga akan meminta hal serupa. Jadi, bila memasukkan dalam bentuk muatan lokal cukup sulit, maka kita sisipkan ke pelajaran utama, seperti Bahasa Indonesia atau Matematika,” katanya.
Selain itu, pemahaman tentang risiko bencana bagi anak sekolah juga bisa dimasukkan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti Palang Merah Indonesia (PMI) atau pramuka. Sementara untuk mahasiswa, kegiatan KKN tematik menjadi contoh terbaik untuk melihat dan merasakan langsung berbagai kebutuhan yang diperlukan di lokasi bencana.
Udrekh memandang, beberapa waktu terakhir sudah terjadi tren perbaikan dalam upaya pengendalian bencana menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal. Dalam peraturan ini, setiap daerah diharapkan mampu melakukan pemetaan atau kajian risiko bencana secara mandiri.
”Terdapat sejumlah indikator yang diukur dalam pemetaan risiko bencana dan dievaluasi setiap tahun. Hal ini diharapkan mampu mewujudkan Indonesia yang tangguh terhadap bencana dengan mengedepankan peran daerah dan masyarakat,” ujarnya.
Kondisi anak
Staf Pendidikan Unicef Indonesia, Febryanthie Apituley, mengatakan, kondisi anak-anak dan remaja sangat terdampak pada situasi bencana. Hal ini ditunjukkan dari data BNPB yang mencatat lebih dari 3.000 bencana terjadi sepanjang 2021 dan berdampak terhadap lebih dari 8 juta orang, termasuk 2,3 juta anak-anak.
Selain bencana alam, kondisi lingkungan saat ini juga mengancam anak-anak. Menurut Febryanthie, polusi udara adalah satu satu dari tiga faktor risiko kematian anak-anak dan membunuh sekitar 4 juta anak per tahun. Diperkirakan 8 juta anak-anak di Indonesia juga memiliki kadar timbal darah yang dapat mengganggu proses perkembangan anak.
Febryanthie sepakat bahwa partisipasi generasi muda sangat penting dalam pengurangan risiko bencana. Sebab, masa anak-anak dan remaja merupakan masa di mana mereka mulai melihat hak-haknya. Anak dan remaja bahkan kerap menggunakan hak tersebut untuk memengaruhi keputusan yang berdampak terhadap hidup mereka.
”Generasi muda memiliki banyak perspektif. Mereka sebenarnya juga bisa memberikan masukan dan membantu untuk menciptakan program atau aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri,” tuturnya.