Awas, Tahun 2030 Diperkirakan Bencana Alam Terjadi Setiap Hari
Pada tahun 2030 akan terjadi 350-560 bencana sedang dan besar setiap tahun atau rata-rata 1,5 bencana per hari. Jika tak ada upaya pencegahan serius, jutaan nyawa manusia terancam.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Penduduk dunia harus bersiap menghadapi semakin banyak bencana terkait cuaca pada tahun-tahun mendatang. Kecenderungan akan meningkatnya jumlah bencana yang terjadi di seluruh dunia ini terlihat selama 20 tahun terakhir. Manusia juga berkontribusi pada meningkatnya ancaman bencana tersebut.
Hal itu diuraikan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana atau UNDRR dalam laporannya, The Global Assessment Report 2022, yang dipublikasikan Senin (25/4/2022) atau Selasa dini hari WIB,
Laporan tersebut menyebutkan, pada tahun 2030 jumlah bencana di seluruh dunia setiap tahunnya akan dapat mencapai 350 hingga 560 bencana. Jika dirata-rata, jumlah itu sama dengan 1,5 bencana per hari dalam kategori menengah dan besar yang mengancam jutaan jiwa.
Angka tersebut lima kali lebih banyak ketimbang pada tiga dekade lalu. Sebagai perbandingan, sejak tahun 1970 hingga tahun 2000 dunia mengalami sekitar 90 hingga 100 bencana kategori menengah hingga besar setiap tahun. Ancaman bencana yang akan terjadi itu terkait dengan cuaca dan perubahan iklim, seperti bencana kebakaran, kekeringan, suhu ekstrem, banjir, pandemi, ataupun kecelakaan kimia.
Laporan UNDRR menyebutkan, manusia ternyata tidak siap menghadapi bencana. Hal ini terlihat dari bahwa selama ini manusia membuat keputusan-keputusan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan cenderung meremehkan atau mengabaikan risiko potensi bencana. Manusia juga membuat keputusan atau kebijakan pembangunan dan keuangan yang memperburuk kerentanan terhadap bencana.
Membiayai kehancuran sendiri
Laporan PBB itu juga menyarankan perlunya manusia mengubah persepsi yang keliru mengenai risiko bencana. Anggapan bahwa manusia itu tidak terkalahkan justru akan mencelakakan banyak orang. Anggapan tersebut sama seperti meremehkan bencana.
”Bencana bisa dicegah, tetapi hanya jika negara-negara menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk memahami dan mengurangi risikonya. Jika sengaja mengabaikan risiko dan gagal mengintegrasikannya dalam pengambilan keputusan, sama saja membiayai kehancuran kita sendiri,” sebut Kepala UNDRR, Mami Mizutori, dalam pernyataan tertulisnya.
Dampak bencana juga meningkat dengan bertambahnya populasi yang tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam. ”Dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan risiko bencana dalam cara kita hidup, membangun, dan berinvestasi, yang menempatkan umat manusia pada spiral penghancuran diri. Mengabaikan risiko tinggi itu akan menghancurkan kita. Karena itu, kita harus bertindak,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Amina J Mohammed, yang mempresentasikan laporan itu di markas PBB, New York, Amerika Serikat.
Bencana alam juga berdampak lebih besar pada negara-negara berkembang. Gara-gara bencana alam, negara-negara berkembang itu kehilangan rata-rata 1 persen dari pendapatan domestik brutonya (PDB) per tahun. Dampak ini lebih besar jika dibandingkan dengan dampak bagi negara-negara maju yang ”hanya” kehilangan 0,1-0,3 persen.
Jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di dunia, wilayah Asia-Pasifik merupakan yang paling menderita dengan banyak kerusakan akibat bencana. Asia-Pasifik kehilangan rata-rata 1,6 persen dari PDB akibat bencana setiap tahunnya. Selama 10 tahun terakhir, bencana di seluruh dunia telah menelan biaya sekitar 170 miliar dollar AS setiap tahunnya dan sebagian besar terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah.
37,6 juta orang miskin ekstrem
Laporan itu juga memperkirakan sedikitnya 37,6 juta orang akan hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 akibat dampak perubahan iklim dan bencana. Sementara itu, sebagian besar kerugian terkait bencana tidak ditanggung oleh perusahaan asuransi. Sejak tahun 1980, secara global hanya sekitar 40 persen bencana yang sudah ditanggung perusahaan asuransi, tetapi di negara berkembang kurang dari 10 persen dari kerugian tersebut yang memiliki perlindungan asuransi. Tingkat pertanggungan asuransi di negara berkembang terkadang mendekati nol.
”Sistem finansial kita harus bisa menangani urusan seperti ini karena jika tidak, akan ada banyak risiko yang tidak diperhitungkan dalam cara kita membuat keputusan,” kata Jenty Kirsch-Wood, yang memimpin tim penyusun laporan PBB itu, kepada kantor berita Reuters.
Untuk membantu kelompok-kelompok yang paling rentan, para politikus dan pembuat kebijakan harus berkomitmen pada kebijakan-kebijakan iklim yang lebih ambisius dan menggenjot peralihan ke energi hijau.
Manajer proyek di lembaga bantuan CARE di Filipina, Mary Joy Gonzales, mengingatkan bahwa masyarakat yang paling rentan terhadap bencana akibat iklim ekstrem dan bencana alam adalah mereka yang hidup dan tinggal di daerah-daerah permukiman miskin di perkotaan, daerah pedesaan atau pinggiran kota yang termarjinalisasi, dan daerah-daerah yang terisolasi.
Perlu investasi
Direktur Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah Maarten van Aalst juga meminta negara-negara untuk tidak mengelola setiap krisis dengan cara terpisah. Negara-negara itu harus berinvestasi membangun sistem yang bisa membantu warga dunia mengatasi ancaman iklim.
”Sayangnya, mereka yang terkena dampak terburuk adalah mereka yang mempunyai sumber daya paling sedikit untuk mengatasi risiko bahaya yang meningkat. Untuk benar-benar mengurangi risiko, kita juga harus mengurangi ketidaksetaraan,” ujar Van Aalst.
Dengan banyaknya negara berkembang yang sampai sekarang masih bergulat dengan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19, banyaknya utang, dan inflasi, Mizutori menyerukan agar komunitas internasional lebih banyak memberikan bantuan.
”Negara-negara ini membutuhkan dukungan internasional yang lebih banyak sehingga mereka bisa memprioritaskan pencegahan risiko bencana dan membangun ketahanan mereka,” ujarnya. (REUTERS/AFP)