Krisis iklim memperparah kejadian bencana alam hingga ke seluruh pelosok dunia. Bahasan dampak krisis iklim perlu diperlebar hingga level desa. Ketangguhan wilayah desa menjadi penting untuk menekan risiko bencana.
Oleh
Yoesep budianto
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara banjir menggenangi hunian warga dan areal persawahan di Desa Sukadaya, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (20/1/2022). Banjir menggenangi hunian warga selama empat hari dengan ketinggian 30-50 sentimeter. Selain intensitas curah hujan yang tinggi, banjir juga disebabkan oleh meluapnya Sungai Pengarengan.
Pemantauan parameter iklim yang telah dilakukan sejak sebelum dimulainya industrialisasi di Bumi menunjukkan peningkatan suhu global. Kelompok Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan saat ini suhu global bertambah 1,1 derajat celsius. Kondisi tersebut diiringi efek domino yang masif ke parameter lain, seperti anomali curah hujan hingga munculnya kejadian bencana di banyak tempat.
Global Climate Risk Index 2021 memperlihatkan Mozambik dan Zimbabwe menjadi negara yang paling terdampak perubahan iklim. Indonesia juga masuk jajaran negara rentan terdampak iklim dengan skor indeks 24,83 dan berada di peringkat ke-14.
Dari berbagai macam jenis bencana di Indonesia, tipe bencana hidrometeorologi menjadi titik krusial pengamatan dampak krisis iklim. Pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga awal April 2022 pun menunjukkan dari 1.184 bencana alam, sekitar 90 persen adalah bencana hidrometeorologi.
Data curah hujan tahunan Indonesia dalam 120 tahun terakhir menunjukkan pola yang sangat fluktuatif dan memiliki kecenderungan mencapai intensitas maksimal sepuluh tahunan. Sebagai contoh, tahun 2000 curah hujan tahunan mencapai sedikitnya 3.000 mm, kemudian menurun dan kembali mencapai puncaknya pada 2010, yaitu sebesar 3.300 mm.
Kompas
Material longsoran menutupi sebagian perkampungan setelah tanah longsor mendera Kampung Harapan Jaya, Desa Sukajaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (2/1/2020). Longsor yang terjadi di sejumlah lokasi di Desa Sukajaya pada 1 Januari 2022 itu menewaskan sedikitnya tujuh warga. Bencana ini juga menyebabkan lima desa lainnya terisolasi.
Pola tersebut menggambarkan ketidakstabilan curah hujan, ada periode basah dan kering. Pergeseran antara periode basah dan kering perlu diamati dengan teliti sebab sangat memungkinkan terjadi anomali cuaca yang berpengaruh pada periodisasi musim, apalagi saat ini tengah terjadi krisis iklim.
Bukan hanya curah hujan, data suhu tahunan menunjukkan kenaikan signifikan. Tren kenaikan suhu sudah tidak dapat dihindari dan perlu segera mendapat penanganan serius. Rerata lima tahunan data suhu sejak tahun 1900-an memperlihatkan kenaikan sekitar 0,74 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 2020.
Bencana hidrometeorologi erat kaitannya dengan interaksi atmosfer dengan sumber daya air di permukaan Bumi. Oleh sebab itu, anomali yang muncul tentu berimbas pada ketahanan sumber daya air, khususnya wilayah perdesaan yang sering mengalami kekeringan lebih panjang. Di sinilah titik krusial dari dampak krisis iklim sebab sumber daya air adalah kebutuhan utama masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang ditopang sektor primer, yaitu pertanian dan perkebunan.
Bencana di desa
Wilayah desa memang memiliki banyak kekurangan, khususnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana. Dari 84.096 wilayah desa atau kelurahan di Indonesia, hanya 11,8 persen yang memiliki sarana lengkap. Kondisi tersebut terlihat tertinggal apabila dibandingkan dengan wilayah kota yang memiliki sistem jaringan jalan, telekomunikasi, dan sistem peringatan dini yang lebih memadai.
Faktor lainnya adalah tumpuan kehidupan masyarakat desa di sektor primer turut meningkatkan risiko kejadian bencana ekstrem karena krisis iklim, seperti banjir bandang, tanah longsor, hingga banjir. Setidaknya 86,5 persen wilayah desa di Indonesia bersandar pada sektor usaha pertanian dan perkebunan.
Sebagai upaya peningkatan kapasitas desa dalam menghadapi bencana, BNPB mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Berdasarkan definisi umumnya, desa tangguh bencana memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi menghadapi ancaman bencana dan mampu memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana.
Bahasan tingkat bahaya dan kerentanan sebuah lokasi yang ditinjau dari perspektif manajemen kebencanaan tidak lepas dari penilaian kondisi fisik lingkungan dan sejarah kejadian bencana sebelumnya. Sayangnya, tingkat bahaya dan kerentanan makin bertambah seiring dengan perburukan kondisi Bumi karena krisis iklim.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga memperbaiki atap rumahnya yang roboh akibat angin kencang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur (21/10/2019). Angin kencang membuat 1.182 warga mengungsi ke sejumlah posko pengungsian.
Sedikitnya 6 persen wilayah desa atau kelurahan di Indonesia melaporkan kejadian bencana di wilayahnya pada 2021 lalu. Bencana alam banjir paling banyak melanda wilayah desa, yaitu total 15.366 wilayah, diikuti tanah longsor di 6.664 wilayah. Apabila didetailkan ke level kepulauan, posisi geografis cukup menentukan dominasi jenis bencana dan tingkat keparahannya.
Kejadian tanah longsor sangat banyak terjadi di Jawa, yaitu 3.151 desa terdampak. Sementara bencana banjir hampir merata di seluruh wilayah, tetapi dua wilayah paling banyak adalah Sumatera (4.439 desa) dan Jawa (4.196 desa). Kejadian bencana kekeringan cukup banyak terjadi di kepulauan Bali dan Nusa Tenggara dibandingkan dengan area lainnya (544 desa) meskipun Jawa masih yang paling tinggi.
Pemahaman tingkat bahaya kebencanaan dapat didekati melalui data sejarah intensitas dan frekuensi kejadian bencana. Oleh sebab itu, makin banyak kejadian bencana dan wilayah terdampak, tingkat bahaya turut meningkat. Apabila dihitung berdasarkan jumlah desa yang mengalami bencana, Pulau Jawa paling berbahaya, yaitu 10.896 desa, diikuti Sumatera (8.769 desa), dan Sulawesi (4.499 desa).
Sayangnya, belum banyak desa yang memiliki sistem peringatan dini dan jalur evakuasi bencana. Hingga tahun 2021, tercatat hanya 10 persen desa yang memiliki sistem peringatan dini bencana dan 8,1 persen yang telah membangun jalur evakuasi.
AFP/JOY CHRISTIAN
Lansekap salah satu desa di Adonara, Flores Timur, NTT, yang dipenuhi oleh bebatuan dan batang-batang pohon tersapu banjir bandang (4/4/2021). Bibit siklon tropis yang muncul di sekitar perairan Nusa Tenggara Timur memicu bencana banjir bandang dan tanah longsor di Kabupaten Flores Timur.
Kerentanan desa
Tingkat kerentanan desa dapat ditinjau dari banyak hal, mulai dari kondisi fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam kaitannya risiko bencana, kondisi fisik atau lanskap lokasi pembangunan desa memiliki pengaruh cukup kuat. Lokasi desa menentukan daya tahan desa terhadap bencana dan faktor-faktor yang menyebabkan bencana, seperti curah hujan.
Secara sederhana, unsur kerentanan dari lokasi desa yang dapat dijadikan penilaian adalah posisinya terhadap lereng atau bantaran sungai. Desa yang berada di lereng pegunungan/perbukitan sangat rentan terkena tanah longsor dan banjir bandang, sementara desa di bantaran sungai tentu tidak terhindar dari risiko banjir.
Dari 84.096 desa/kelurahan di seluruh Indonesia, wilayah yang berada di lereng pegunungan/perbukitan mencapai 45,8 persen atau sekitar 38.488 desa. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan bagi wilayah desa di lereng pegunungan/perbukitan, yaitu lahan yang diolah dan lokasi rumah harus jauh dari lahan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga melintasi bekas sebuah bangunan rumah yang tenggelam dan berubah menjadi tambak di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (9/6/2020).
Kemiringan lereng lebih dari 45 derajat memiliki struktur yang lemah dan memungkinkan terjadi tanah longsor. Wilayah desa di lereng juga perlu mewaspadai curah hujan ekstrem sebab bisa menyebabkan terjadi banjir bandang. Di sinilah letak pentingnya sistem peringatan dini dan jalur evakuasi bagi warga desa.
Tak jauh berbeda, wilayah desa yang berada di bantaran sungai juga memiliki kerentanan bencana tinggi, khususnya banjir. Sedikitnya 13.700 desa dibangun di bantaran sungai. Kerentanan banjir tentu besar sebab secara geomorfologi area tersebut merupakan wadah yang menampung luapan air sungai saat debit meningkat atau dikenal dengan dataran banjir.
Melihat kondisi di atas, urgensi pembangunan desa tangguh bencana makin membesar, terlebih ada perburukan kondisi Bumi karena krisis iklim. Kejadian bencana yang mengancam desa tidak lagi sama, tetapi bisa saja makin sering dan memiliki daya rusak lebih besar dari sebelumnya. Inilah saat yang tepat memfokuskan peningkatan kapasitas desa untuk beradaptasi dan menekan risiko bencana di tengah krisis iklim. (LITBANG KOMPAS)