Hindari Pernikahan Sesama Pembawa Talasemia, Lakukan Deteksi sejak Dini
Kedua orangtua pembawa sifat talasemia berisiko melahirkan anak dengan talasemia. Karena itu, penapisan sejak dini diperlukan untuk mengetahui status talasemia. Pernikahan dengan sesama pembawa sifat pun bisa dicegah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran untuk mendeteksi talasemia perlu dilakukan sejak dini sebelum menikah, terutama sejak usia sekolah. Dengan mengetahui status talasemia sejak dini diharapkan dapat menghindari pernikahan sesama pembawa sifat dari penyakit tersebut. Risiko kelahiran anak dengan talasemia pun bisa dicegah.
Data dari Yayasan Talasemia Indonesia menunjukkan, jumlah penyandang talasemia mayor di Indonesia terus meningkat. Pada 2018, tercatat jumlah penyandang talasemia mayor sebanyak 9.028 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 10.973 orang pada 2021.
”Jumlah kasus yang ada di masyarakat bisa lebih dari yang dilaporkan karena diperkirakan ada 2.500 bayi yang lahir dengan talasemia mayor. Selain itu, peningkatan kasus ini juga dapat terjadi karena masih ada kasus talasemia minor (pembawa sifat) yang tidak terdeteksi,” tutur Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bidang Ilmu Kesehatan Anak Pustika Amalia Wahidiyat di Jakarta, Selasa (10/5/2022).
Pustika menyampaikan, talasemia merupakan penyakit keturunan. Apabila kedua orangtua dengan talasemia minor atau pembawa sifat talasemia, mereka berisiko memiliki anak dengan talasemia mayor sebesar 25 persen, memiliki anak dengan talasemia minor sebesar 50 persen, dan anak lahir normal 25 persen. Talasemia minor sering tidak terdeteksi karena biasanya tidak menunjukkan gejala.
Sementara jika salah satu orangtua membawa sifat talasemia, kemungkinan anak membawa sifat talasemia sebesar 50 persen dan anak lahir sehat sebesar 50 persen. Jika salah satu orangtua merupakan penyandang talasemia mayor, semua anak yang dilahirkan bisa membawa sifat talasemia.
Karena itu, Pustika menuturkan, deteksi dini melalui penapisan talasemia perlu dilakukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mewajibkan negara yang berada di sabuk talasemia, termasuk Indonesia, untuk melakukan penapisan talasemia. Penapisan ini sebaiknya dilakukan sejak dini pada masyarakat sebelum menikah, terutama pada mahasiswa dan remaja. Selain itu, penapisan juga bisa dilakukan pada pasangan calon pengantin.
”Skrining (penapisan) talasemia sebaiknya sudah dilakukan sejak dini pada mahasiswa atau remaja yang akan masuk SMA. Dengan mengetahui status talasemia sejak dini, diharapkan bisa mencegah pernikahan dengan sesama pembawa talasemia,” katanya.
Talasemia merupakan penyakit kelainan darah yang bersifat genetik. Pada penyandang talasemia, rantai protein pembentuk sel darah merah tak diproduksi sehingga usia sel darah merah sangat pendek dan mudah pecah. Ini menyebabkan pasien mengalami anemia sehingga membutuhkan transfusi darah rutin seumur hidup.
Program penapisan
Pustika mengatakan, meski penapisan talasemia amat penting, kesadaran masyarakat untuk melakukannya masih kurang. Perlu adanya dorongan langsung dari pemerintah berupa program nasional agar penapisan bisa dilakukan secara optimal. Penapisan ini semakin penting karena Indonesia termasuk dalam negara dengan risiko talasemia yang tinggi.
”Upaya penapisan yang paling efektif adalah melalui program pemerintah. Biaya untuk penapisan ini akan lebih rendah dibandingkan dengan biaya pengobatannya. Biaya penapisan sekitar Rp 400.000 per orang sekali seumur hidup, sementara pengobatan bisa Rp 30 juta-Rp 500 juta per tahun per pasien,” tuturnya.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat, talasemia merupakan penyakit dengan biaya tertinggi kelima dalam jenis penyakit katastropik setelah jantung, kanker, gagal ginjal, dan stroke. Biayanya pun terus meningkat, yakni Rp 293,7 miliar pada 2014 menjadi Rp 545,8 miliar pada 2021.
Skrining (penapisan) talasemia sebaiknya sudah dilakukan sejak dini pada mahasiswa atau remaja yang akan masuk SMA. Dengan mengetahui status talasemia sejak dini diharapkan bisa mencegah pernikahan dengan sesama pembawa talasemia. (Pustika Amalia Wahidiyat)
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Elvieda Sariwati menuturkan, pemerintah kini telah mempersiapkan program penapisan talasemia pada populasi kunci. Sementara ini, pemerintah masih melakukan imbauan untuk melakukan penapisan talasemia, terutama pada pasangan yang akan menikah.
”Kami harap nanti penapisan bisa dilakukan melalui layanan program JKN karena ini masuk dalam upaya preventif. Selain itu, pemerintah juga sudah berupaya melakukan uji coba di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan akan diperluas di daerah lain,” tuturnya.
Hasil uji coba deteksi dini talasemia di fasilitas kesehatan tingkat pertama di 14 kabupaten/kota di Jawa Barat pada 2021 menunjukkan, 80 persen masyarakat dicurigai dengan talasemia. Dari jumlah yang dicurigai tersebut, sebanyak 68 persen ditemukan dengan talasemia minor, 7 persen dengan talasemia intermedia, dan 1 persen dengan talasemia mayor. Sisanya termasuk dalam kelompok bukan talasemia dan memiliki anemia karena sebab lain.
Talasemia minor merupakan talasemia yang biasanya tidak menunjukkan gejala dan tidak membutuhkan transfusi darah. Talasemia intermedia merupakan talasemia dengan gejala ringan yang tidak membutuhkan transfusi darah rutin. Sementara talasemia mayor sudah dalam gejala berat yang membutuhkan transfusi darah rutin.
Gejala talasemia mayor, antara lain, pucat kronik, kulit berwarna kuning, perubahan tulang atau bertubuh pendek, perubahan wajah seperti tidak ada tulang hidung dan gigi yang cenderung ke depan, dan gangguan pubertas. Selain itu, pasien talasemia mayor juga mudah mengalami osteoporosis.
Dampak talasemia
Pustika menyampaikan, talasemia perlu dicegah karena beban penyakit pada pasien cukup besar. Pasien dengan talasemia mayor membutuhkan transfusi darah dua sampai empat kantong per bulan dengan biaya pengobatan sekitar Rp 30 juta sampai Rp 500 juta tergantung berat badan. Biaya ini akan semakin besar jika terjadi banyak komplikasi.
Selain beban penyakit, ia menambahkan, pasien talasemia juga rentan mengalami masalah psikososial. Perubahan fisik yang dialami sering membuat pasien menjadi tidak percaya diri. Kekhawatiran akan masa depan seperti pekerjaan dan pasangan hidup pun amat tinggi. Pengobatan rutin yang harus dilakukan seumur hidup juga menyebabkan adanya rasa jenuh dan bosan.
”Jadi lebih baik untuk melakukan pencegahan. Biaya yang dikeluarkan untuk preventif lebih murah dibanding dengan biaya untuk pengobatan,” kata Pustika.