Cinta memang soal hati. Namun, memilih jodoh sebaiknya juga memperhitungkan jejak genetiknya. Kombinasi gen orangtua yang tak tepat akan mewariskan penyakit berbahaya pada anak-anak kita, misalnya talasemia.
Penyakit kelainan darah talasemia mungkin masih asing bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Namun, talasemia merupakan penyakit genetis yang paling banyak ditemukan di negeri ini dan angkanya cenderung membesar.
Menurut data World Heatlh Organization (WHO), pembawa sifat talasemia atau talasemia minor di Indonesia berkisar 6-10 persen. Ini berarti dari setiap 100 orang, 6-10 orang adalah pembawa gen talasemia. Sedangkan berdasarkan data dari Yayasan Thalassaemia Indonesia, kasus talasemia mayor di Indonesia terus meningkat sejak lima tahun terakhir. Jika pada 2012 ada 4.896 kasus, pada 2017 menjadi 8.616 kasus.
Penderita talasemia menyebabkan tubuh kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb). Padahal, hemoglobin berperan penting mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, dan sebaliknya mengangkut karbon dari seluruh tubuh ke paru-paru sebelum dikeluarkan melalui pernafasan.
Oleh karena itu, penderita talasemia mayor akan membutuhkan tranfusi darah seumur hidupnya. Di sisi lain, penderita talasemia juga mengalami kelebihan zat besi yang bisa memicu pembengkakan hati, gagal jantung, hingga penipisan tulang sumsum.
Oleh karena itu, selain transfusi darah, penderitajuga membutuhkan pengeluaran zat besi yang jika dirata-rata butuh biaya sekitar Rp 400 juta per tahun. Data BPJS Kesehatan (2016), talasemia merupakan penyakit nomor lima yang paling membebani keuangan merekadengan total Rp 485,193 miliar setahun.
Talasemia sesungguhnya bentuk adaptasi tubuh manusia terhadap kondisi lingkungan tertentu nenek moyang kita di masa lalu, dalam hal ini terhadap parasit malaria yang menyerang sel darah merah. Oleh karena itu, sabuk penyebaran talasemia secara global cenderung beririsan dengan sebaran malaria, yaitu dari sekitar Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India, China selatan, hingga Asia Tenggara. Di Indonesia, pembawa sifat talasemia tersebar dari Aceh hingga Papua.
Sekalipun talasemia tidak bisa disembuhkan, namun penyakit ini dapat dikurangi penyebarannya dengan cara memutus mata rantai genetik pembawa sifatnya. Kunci pemutusan ini adalah mendeteksi dini pewarisannya melalui penapisan sebelum pernikahan.
Orang dengan talasemia atau pembawa sifat talasemia sebenarnya tidak mengalami masalah kesehatan. Sepanjang tidak menikah dengan orang yang juga membawa gen ini, dia juga tidak akan melahirkan anak yang menderita talasemia mayor. Jika hanya salah satu orangtua membawa sifat talasemia, kemungkinan lahir anak sehat 50 persen dan 50 persen kemungkinan membawa sifat.
Namun, jika sesama pambawa sifat talasemia menikah, maka kemungkinan anak mereka menderita talasemia mayor 25 persen, pembawa sifat talasemia 50 persen, dan sehat 25 persen. Jika penderita talasemia mayor menikah dengan pembawa sifat talasemia, kemungkinan lahir anak dengan talasemia mayor 50 persen dan pembawa sifat 50 persen.
Oleh karena itu, pemeriksaan calon pasangan suami isteri untuk mengetahui apakah dia termasuk pembawa talasemia atau tidak menjadi penting. Jika kedua orang tuanya pembawa sifat talasemia, sebaiknya perlu dipikir ulang. Jika tetap melanjutkan pernikahan kedua orang tua harus bersiap dengan kemungkinan anaknya lahir dengan talasemia, atau bahkan risiko janin meninggal dalam kandungan atau saat dilahirkan....