Optimalkan Penerapan Terapi Profilaksis pada Pasien Hemofilia
Pemberian profilaksis dosis rendah dapat menurunkan risiko perdarahan dan risiko komplikasi pada pasien hemofilia. Karena itu, terapi profilaksis ini perlu lebih luas diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terapi profilaksis pada pasien hemofilia sudah masuk sebagai layanan standar yang diatur dalam Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran atau PNPK Tata Laksana Hemofilia. Namun, terapi tersebut belum terimplementasi secara optimal di fasilitas pelayanan kesehatan.
Wakil Ketua Bidang Medik Indonesian Hemophilia Society Novie Amelia Chozie di Jakarta, Selasa (26/4/2022), menyampaikan, Federasi Hemofilia Dunia (WFH) telah merekomendasikan terapi profilaksis sebagai pilihan utama bagi pasien hemofilia, terutama pada pasien hemofilia berat ataupun sedang. Pemberian faktor pembekuan darah secara profilaksis ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perdarahan serta kerusakan pada sendi dan otot.
”Terapi profilaksis ini juga sudah masuk dalam PNPK Tata Laksana Hemofilia yang terbit pada 2021. Namun, implementasinya kini masih dalam fase transisi. Karena itu, tugas kita agar setiap rumah sakit bisa mengadopsi SOP PNPK ini sehingga pelaksanaannya bisa lebih masif,” tuturnya.
Novie menuturkan, sebelum PNPK ini diterbitkan, pemberian faktor pembekuan darah biasanya dilakukan ketika sudah terjadi perdarahan. Padahal, faktor pembekuan darah sebaiknya diberikan secara profilaksis atau sebelum terjadi perdarahan pada pasien hemofilia.
Terapi profilaksis ini juga sudah masuk dalam PNPK Tata Laksana Hemofilia yang terbit pada 2021. Namun, implementasinya kini masih dalam fase transisi.
Hemofilia merupakan kelainan pembekuan darah bawaan yang biasanya terjadi akibat kekurangan faktor pembekuan darah. Pada hemofilia A terjadi karena kekurangan faktor pembekuan darah VIII, sedangkan pada hemofilia B terjadi karena kekurangan faktor IX.
Angka kejadian hemofilia A lebih besar ditemukan di masyarakat. Sebanyak 70-80 persen pasien hemofilia memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.
Novie mengatakan, berbagai penelitian memperlihatkan bahwa pemberian pembekuan darah secara profilaksis menekan risiko perdarahan. Dengan begitu, risiko kerusakan sendi dan otot yang biasanya terjadi akibat perdarahan pada pasien hemofilia bisa dicegah. Kualitas hidup pasien pun bisa lebih baik.
Penelitian yang dilakukannya bersama tim di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) juga membuktikan, pemberian profilaksis dosis rendah dapat menurunkan episode perdarahan secara signifikan pada pasien dibandingkan dengan terapi on demand. Adapun pasien hemofilia berat dengan faktor pembekuan darah kurang dari 1 persen bisa satu sampai dua kali seminggu mengalami perdarahan.
Dengan terapi profilaksis, risiko terjadinya inhibitor faktor VIII pun bisa dicegah. Inhibitor faktor VIII adalah antibodi terhadap faktor VIII dalam pembekuan darah yang dapat menetralisasi terapi yang diberikan.
”Aturan pemberian terapi profilaksis dalam PNPK Hemofilia sudah diturunkan dalam PPK (panduan praktik klinis) RSCM. Harapannya, hal ini bisa diikuti oleh rumah sakit lain yang melayani hemofilia sehingga kita bisa secara luas menerapkan terapi profilaksis pada pasien hemofilia di Indonesia,” tutur Novie.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Dita Novianti menyampaikan, obat untuk terapi profilaksis pada pasien hemofilia sudah masuk dalam formularium nasional. Karena itu, terapi ini termasuk dalam terapi yang dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
”Pada dasarnya obat yang masuk dalam formularium nasional bisa diakses oleh seluruh penduduk di Indonesia. Namun, karena keterbatasan kemampuan di fasilitas kesehatan, terapi ini baru dialokasikan untuk faskes tingkat tiga (rujukan),” ucapnya.
Deteksi dini
Novie menuturkan, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam penanganan hemofilia adalah peningkatan upaya deteksi dini. Jumlah penyandang hemofilia di Indonesia tercatat terus meningkat dari 2.371 orang pada tahun 2018 menjadi 2.706 orang pada tahun 2020.
Peningkatan jumlah pasien ini cukup baik karena itu berarti semakin banyak pasien yang terdeteksi. Meski begitu, jumlah tersebut masih jauh dari estimasi total pasien hemofilia di Indonesia yang mencapai 28.000 orang.
Upaya deteksi dini dengan perluasan layanan pemeriksaan perlu terus didorong. Di sisi lain, kesadaran masyarakat mengenai hemofilia juga harus ditingkatkan. Deteksi dini dapat mendukung penanganan lebih cepat dan lebih baik. Risiko komplikasi yang bisa menyebabkan kecacatan dan kematian bisa dihindari. Beban biaya perawatan pun bisa ditekan.
”Penyakit hemofilia termasuk dalam beban biaya rawat inap tertinggi dalam daftar penyakit tidak menular dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Tanpa intervensi yang berarti, beban pengeluaran kesehatan untuk penyakit ini dapat terus meningkat,” kata Novie.
Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Djajadiman Gatot menuturkan, program JKN membantu banyak pasien hemofilia untuk menjangkau layanan kesehatan berkualitas. Namun, masih ada penyandang hemofilia yang belum tertangani dengan baik.
”Kita perlu mengoptimalkan kemitraan, kebijakan, dan kemajuan sehingga akses pengobatan konvensional ataupun inovatif bagi pasien hemofilia bisa tersedia secara luas,” katanya.