Profilaksis Bisa Jadi Alternatif Pengobatan Hemofilia
Profilaksis dapat menjadi pengobatan alternatif bagi para penyandang hemofilia. Profilaksis bertujuan untuk mencegah penyandang hemofilia mengalami pendarahan berat di organ tubuh tertentu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahalnya biaya rekayasa genetika masih kerap menjadi kendala dalam pengobatan hemofilia. Profilaksis yang merupakan pemberian antibiotik untuk pencegahannya dapat menjadi alternatif bagi para penyandang hemofilia.
Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Djajadiman Gatot mengemukakan, saat ini memang telah berkembang sejumlah pengobatan untuk menyembuhkan hemofilia. Namun, rekombinan atau rekayasa genetika faktor VIII dan IX dari plasma darah manusia masih menjadi pengobatan utama.
”Beberapa pengobatan yang sedang dikembangkan adalah antibodi monoklonal. Ini merupakan sejenis antibodi yang akan mengenali sel-sel di dalam tubuh sehingga dia bisa membantu atau menghalangi proses-proses kerusakan. Pemberian pengobatan ini bergantung pada kondisi hemofilia seseorang,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (15/4/2021).
Anak laki-laki dari ibu pembawa hemofilia berpotensi mengalami hemofilia.
Djajadiman mengakui bahwa biaya rekombinan untuk menyembuhkan hemofilia di dunia, termasuk Indonesia, masih mahal karena adanya donor plasma dan proses yang kompleks. Di Indonesia, biaya pengobatan hemofilia memang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, tidak semua pengeluaran dapat ditanggung karena BPJS memiliki batas biaya pengobatan.
Sebagai alternatif, kata Djajadiman, para penyandang hemofilia dapat menggunakan profilaksis atau pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik ini bertujuan untuk mencegah penyandang hemofilia mengalami pendarahan berat di bagian atau organ tubuh tertentu, seperti sendi di lutut, siku, atau engkel. Sebab, sendi di bagian tersebut kerap mengalami luka.
Dosis yang diberikan dalam profilaksis tidak terlalu tinggi karena pasien tidak dalam keadaan sakit. Akan tetapi, waktu pemberiannya dilakukan secara rutin agar tidak kekurangan faktor pembeku darah. Pemberian bisa dilakukan dua atau tiga kali seminggu hingga kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
”Pemberian profilaksis untuk penyandang hemofilia ini yang masih kami perjuangkan dalam BPJS. Jika hal ini bisa diterapkan, kita bisa meningkatkan kualitas hidup penyandang hemofilia,” tuturnya.
Peningkatan akses pengobatan bagi penyandang hemofilia ini sangat penting karena Djajadiman memandang prevalensi penyakit ini cukup tinggi di Indonesia. Meski belum ada angka perhitungan secara resmi, ia meyakini terdapat sekitar lebih dari 20.000 penyandang hemofilia di Indonesia. Angka ini merujuk pada angka kejadian dunia dan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta orang.
”Kita belum bisa mendeteksi penyandang hemofilia secara keseluruhan karena kurangnya fasilitas laboratorium kesehatan di sejumlah daerah. Ini memang masih menjadi kendala. Jadi, secara angka itu seharusnya Indonesia memiliki banyak kejadian hemofilia,” katanya.
Hemofilia merupakan kelainan darah yang diturunkan. Menurut Djajadiman, perempuan atau kaum ibu biasanya bersifat sebagai pembawa gen hemofilia. Anak laki-laki dari ibu pembawa hemofilia berpotensi mengalami hemofilia.
Panduan nasional
Ahli hematologi Novie Amalie Chozie menyatakan, selama ini HMHI telah bekerja sama dengan organisasi profesi untuk menyusun panduan nasional pelayanan kedokteran (PNPK). Panduan ini dapat menjadi acuan para dokter atau tenaga medis dalam menangani hemofilia, mulai dari diagnosis hingga penanganan. Profilaksis juga telah dimasukkan sebagai salah satu penanganan hemofilia dalam PNPK.
”PNPK sudah disetujui dan resmi dikeluarkan sebagai surat keputusan dari menteri kesehatan beberapa waktu lalu. Diharapkan ke depan kita bisa memulai profilaksis ini meski akan banyak kendala teknis seperti keterbatasan biaya. Jadi, profilaksis bisa dilakukan, tetapi belum untuk semua pasien,” ujarnya.
Menurut Novie, adanya keterbatasan biaya membuat profilaksis baru bisa diberikan untuk pasien dengan berat badan tertentu. Sebab, dosis yang diberikan disesuaikan dengan berat badan. Kebutuhan dosis vaksin akan semakin tinggi untuk pasien dengan berat badan yang besar atau orang dewasa.