Pemanfaatan Teknologi Komputasi Awan Dapat Menghemat Energi
Teknologi komputasi awan dinilai turut membantu mewujudkan pembangunan hijau dan mitigasi perubahan iklim. Sebab, riset menunjukkan pemanfaatan teknologi ini dapat mengurangi konsumsi energi lima kali lipat.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi komputasi awan dinilai turut membantu mewujudkanpembangunan hijau dan mitigasi perubahan iklim. Sebab, riset menunjukkan pemanfaatan teknologi ini dapat mengurangi konsumsi energi lima kali lipat atau 80 persen.
Kepala Kebijakan Energi untuk Asia Pasifik dan Jepang Amazon Web Services (AWS) Ken Haig menyampaikan, berdasarkan riset yang dilakukan 451 peneliti dan AWS tahun lalu, migrasi ke infrastruktur komputasi awan (cloud)ditemukan dapat menghemat energi hingga hampir lima kali lipat. Ini juga setara dengan memberikan efisiensi sebesar hampir 80 persen.
”Di kluster pusat data AWS, termasuk di Asia Pacific,juga digunakan material rendah karbon, teknologi pendingin, cip, serta suplai daya yang cerdas dan efisien. Untuk cip, AWS mendesain cip Graviton3 yang 60 persen lebih efisien dibandingkan pendahulunya, Graviton2,” ujar Ken dalam diskusi media secara daring, Senin (25/4/2022).
Menurut Ken, pemanfaatan teknologi dengan energi yang lebih efisien dapat mendukung pembangunan hijau. Khusus untuk pelanggan AWS, mereka bahkan dapat memonitor jejak karbonnya melalui dasbor AWS Customer Carbon Footprint Tool. Setiap bulan, pelanggan akan mendapatkan laporan mengenai produksi karbon yang dihasilkan beban kerja dan penggunaan infrastrukturnya.
Melalui teknologi komputasi awan dan mesin pembelajaran AWS, Rekosistem mampu merambah operasional baru dan meningkatkan skalanya.
Saat ini AWS tengah mengerjakan lebih dari 300 proyek efisiensi energi di seluruh dunia. Di Indonesia, AWS bekerja sama denganAkselerator Investasi Energi Bersih (Clean Energy Investment Accelerator) untuk menyediakan alternatif sumber energi terbarukan yang kian terjangkau dan tersedia bagi pembeli di kalangan perusahaan dan korporasi.
Komitmen pemanfaatan teknologi komputasi awan yang hemat energi juga disampaikan Co-Founder dan CEO RekosistemErnest Christian Layman. Rekosistem adalah perusahaan rintisan (startup) penyedia solusi pengelolaan limbah yang didirikan pada 2021.
Rekosistem menyediakan ruang untuk mengumpulkan dan mengolah data yang berguna bagi proses daur ulang. Dengan data ini, Rekosistem dapat menghubungkan jenis limbah dengan tempat pengelolaan limbah yang ideal secara mudah, cepat, dan efisien.
”Laju pembangunan ekonomi yang tinggi membuat daya beli masyarakat semakin tinggi. Akibatnya, kami melihat limbah domestik menjadi masalah yang serius, ditambah dengan pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk berdiam di rumah,” kata Ernest.
Ernest mengatakan bahwa kehadiran teknologi memudahkan Rekosistem untuk menjawab kebutuhan baru ini. Melalui teknologi komputasi awandan mesin pembelajaran AWS, Rekosistem mampu merambah operasional baru dan meningkatkan skalanya.
”Sepanjang 2021, kami mampu mencatatkan kenaikan pemasukan sebesar 30 persen dan menganalisis lebih dari 2.000 metrik ton limbah yang berasal dari 11.000 rumah tangga serta tempat-tempat komersial. Kami melihat ada peluang bagi startupclean-tech seperti Rekosistem untuk menghasilkan keuntungan sekaligus berbuat baik untuk publik,” ucapnya.
Selain Rekosistem, Nathan Roestandy, Co-Founder dan CEO Nafasjuga merasakan hal yang sama. Nafas menjalankan usahanya yang bergerak pada monitoring kualitas udara di luar dan dalam ruangan. Nafas juga menggunakan teknologi komputasi awan AWS untuk menunjang kegiatan usahanya.
”Tanpa AWS, kami mungkin membutuhkan 8-12 bulan tambahan untuk menyelesaikan perangkat keras Nafas yang proses manufakturnya terdisrupsi akibat pandemi. Solusi AWS membuat kami mampu mengumpulkan dan menganalisis lebih dari 5,5 juta data, termasuk jenis gas dan partikel di udaradalam jarak lebih dari 220 kilometer,” kata Nathan.