Mengamalkan Etika, Menjaga Marwah Profesi Kedokteran
Kode etik kedokteran wajib dipatuhi oleh setiap dokter untuk menjaga martabat serta keluhuran profesinya. Etika ini tidak hanya terkait dengan pasien, tetapi juga rekan sejawat dan diri dokter sendiri.
Pada dasarnya, dokter merupakan profesi yang luhur dan mulia. Itu menjadi keyakinan bersama karena dalam praktiknya pekerjaan dokter sangat terkait dengan upaya penyelamatan manusia.
Oleh karena itu, setiap dokter pun diharapkan bisa menjaga keluhuran serta martabat profesinya. Untuk memastikan hal itu, etika kedokteran diperlukan. Etika ini menjadi landasan bagi profesi kedokteran dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Setidaknya ada empat prinsip dasar etika kedokteran yang dikemukakan oleh Beauchamps dan James F Childress dalam ”Principles of Biomedical Ethics”. Prinsip tersebut meliputi meminimalkan dan menghindari bahaya, memaksimalkan ikhtiar untuk mencapai kebaikan, menghormati pemilik hak, serta keadilan.
Baca juga: Dapatkah Dokter Dipercaya?
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin mengatakan, dalam menjalankan tugas profesionalnya, dokter akan terikat dengan norma etika dan norma hukum. Khusus terkait norma etika, itu dinilai lebih sensitif.
Etika kedokteran tidak hanya mengikat pada kewajiban dokter terhadap pasien, tetapi juga kewajiban terhadap teman sejawat dan diri sendiri. Dengan begitu, etika kedokteran seharusnya melekat pada setiap individu dokter dalam menjalankan profesinya.
”Dalam pelayanan, seorang dokter harus memegang teguh etika kedokteran yang menjadi penentu keluhuran profesi ini. Jika etika kedokteran tidak lagi dipegang teguh oleh dokter, terutama sebagai anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia), artinya profesi ini tidak layak lagi disebut sebagai profesi yang luhur,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Dalam sumpah dokter, yang dilafalkan oleh setiap lulusan dokter yang hendak menjalani profesi kedokteran pun salah satunya menyebutkan untuk menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Disampaikan pula bahwa sumpah tersebut diikrarkan dengan sungguh-sungguh dengan mempertaruhkan kehormatan dirinya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia atau yang disebut Kodeki ini dirumuskan oleh organisasi profesi, dalam hal ini IDI, bersama dengan pemerintah. Terdapat 21 pasal dalam kode etik tersebut yang terdiri dari 13 pasal terkait kewajiban umum, 4 pasal terkait kewajiban terhadap pasien, 2 pasal terkait kewajiban terhadap teman sejawat, serta 2 pasal terkait kewajiban terhadap diri sendiri.
Jika etika kedokteran tidak lagi dipegang teguh oleh dokter, terutama sebagai anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia), artinya profesi ini tidak layak lagi disebut sebagai profesi yang luhur.
Adapun kode etik kedokteran yang diatur, antara lain, setiap dokter wajib menghindari diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri (Pasal 4), setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat (Pasal 6), serta setiap dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawat, dan tenaga kesehatan lainnya serta wajib menjaga kepercayaan pasien (Pasal 10).
Zaenal menuturkan, setiap profesi seharusnya memiliki etika, tidak terkecuali profesi kedokteran. Etika kedokteran ini penting karena dokter merupakan profesi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, baik pada dokter yang berhubungan langsung dengan pasien maupun dokter peneliti.
Menurut dia, etika ini juga diperlukan untuk mencegah anggota profesi berbuat buruk dan tercela. Etika ini pula yang dinilai mampu menegakkan marwah dan keluhuran profesi kedokteran. Itu sebabnya, keluhuran profesi sangat ditentukan oleh anggota profesi dalam mematuhi etika profesinya.
Apabila ada seorang dokter yang dinyatakan melanggar kode etik kedokteran, dokter tersebut tidak hanya menyalahi mutu profesional, tetapi juga menyalahi kebiasaan serta cara dan kebijakan yang seharusnya digunakan. Melanggar etika kedokteran berarti juga melanggar prinsip moral, nilai, dan kewajiban dalam profesi kedokteran.
Baca juga: Tata Kelola Organisasi Profesi Kedokteran Perlu Perbaikan
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012, penilaian pelaksanaan etik kedokteran merupakan tugas dan wewenang dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Majelis kehormatan etik ini juga memiliki tugas untuk membimbing dan mengawasi pelaksanaan etik kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
Pelanggaran
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Akmal Taher yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional periode 2016-2020 menuturkan, sanksi terhadap pelanggaran etik kedokteran akan bergantung pada berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi ini pun biasanya diberikan secara bertahap, dimulai dari penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan, sampai pada pemecatan sementara sebagai anggota IDI.
Ia mengungkapkan, beberapa pelanggaran kode etik pernah terjadi di Indonesia, tetapi hanya sedikit yang biasanya sampai pada fase pemecatan keanggotaan IDI. Dalam Kompas, 16 Maret 1985, pemberhentian keanggotaan pernah dilayangkan oleh PB IDI kepada dokter Gunawan Simon terkait pengobatan yang ditemukannya. Pemberhentian keanggotaan tersebut kemudian berlanjut pada pencabutan izin praktik dari departemen kesehatan setempat.
Pemberhentian keanggotaan IDI ini kembali mengemuka pada 2022 ini. Dalam Muktamar IDI XXXI, PB IDI mendapatkan rekomendasi untuk memecat dokter Terawan Agus Putranto sebagai anggota IDI. Terawan dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat terkait pengobatan stroke iskemik kronik melalui metode diagnostik DSA (digital subtraction angiography).
Merujuk pada keputusan MKEK pada 2018, Terawan dinyatakan telah melanggar etik serius dan menetapkan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan. MKEK juga merekomendasikan pencabutan izin praktik. Metode DSA yang digunakan untuk pengobatan stroke iskemik kronik dinilai belum memiliki bukti ilmiah kedokteran sehingga tidak sesuai dengan standar pelayanan kedokteran.
Ketua PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan, IDI akan menjalankan seluruh keputusan muktamar, termasuk rekomendasi memberhentikan Terawan sebagai anggota. Berkas-berkas yang diperlukan untuk itu saat ini masih disusun. ”Pengaturan praktik kedokteran memberi perlindungan pada pasien dan meningkatkan mutu layanan medis. Pengaturan itu memberi kepastian hukum pada masyarakat dan dokter,” kata Adib (Kompas, 1/4/2022).
Baca juga: Terawan Direkomendasikan Dipecat dari Anggota IDI
Akmal berpendapat, keputusan organisasi profesi terkait pelanggaran etika sudah sepatutnya dipatuhi oleh dokter yang bersangkutan. Pihak yang paling mengetahui etika kedokteran adalah organisasi profesi kedokteran. Masyarakat umum belum tentu mengetahui sepenuhnya layanan yang diberikan tanpa adanya bukti ilmiah.
”Itulah mengapa etika kedokteran ini wajib untuk ditaati oleh setiap dokter. Etika ini tidak hanya menyangkut diri dokter itu sendiri, namun juga rekan sejawat dan terlebih lagi untuk masyarakat luas,” katanya.