Rumah Harapan untuk Pasir Sisa Tambang Mimika
Pernahkah membayangkan buah ditanam menggunakan pasir sisa tambang? Saat mendengarnya, mungkin pikiran akan terhanyut dalam ragam stigma negatif yang menyelimutinya. Saat mencicipinya, pikiran itu bakal sirna.
Buah-buahan yang tersaji di atas meja biasanya telah melalui proses panjang. Bergeser dari satu tangan ke tangan lain dan beranjak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Namun, pernahkah membayangkan kalau buah itu ditanam menggunakan pasir sisa tambang? Saat mendengarnya, mungkin pikiran akan terhanyut dalam ragam stigma negatif yang menyelimutinya.
Tiga nampan berisi aneka buah potong bagaikan oase di tengah panasnya udara Kabupaten Mimika, Papua, Kamis (17/3/2022). Buah-buahan yang disajikan adalah pepaya, nanas, dan rock melon, yang termasuk dalam golongan buah dengan kandungan air cukup tinggi. Setiap gigitan yang mendarat di pelat lidah selalu menyisakan air dari si daging buah. Jika tak buru-buru ditelan, air itu bisa merembes ke luar. Slurpp!
Sudah bolak-balik garpu ini terbang ke nampan itu, rasanya tak cukup hanya sekali mencicipi. Sebetulnya, buah tersebut tak jauh berbeda dengan buah yang dijumpai di Jawa, tetapi lebih terasa manis dan menyegarkan.
”Gimana (buah-buahannya)? Enak dan segar ya? Itu semua baru saja dipetik dari pohon yang tumbuh di lahan pasir sisa tambang (tailing) lho,” ujar Roberth Sarwom, General Superintendent Reclamation Biodervisity and Education Departemen Lingkungan PT Freeport Indonesia (PT FI).
Matanya berbinar setiap kali menjelaskan ragam buah-buahan hasil panen lahan tailing, area kerja PT FI. Ia sudah terbiasa mendapat respons ”kaget” dari orang-orang yang baru saja mendengar penjelasannya. Apalagi tailing selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti mengandung bahan berbahaya dan beracun.
”Sebenarnya kalau ada sesuatu (kandungan berbahaya) di lahan tailing, tidak ada pohon yang tumbuh di sana. Hampir setiap hari saya makan hasil panen sayur, buah, dan ikan di lahan tailing,” ujarnya.
Tailing merupakan pasir sisa tambang yang dihasilkan setelah proses pemisahan mineral berharga oleh PT FI. Sistem pengelolaannya disebut pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi (ModADA), dialirkan sepanjang Sungai Otomona yang dalam perjalanannya bertemu dengan Sungai Ajkwa.
Tercatat luas total ModADA mencapai 45.000 hektar, terbagi ke dalam dua wilayah, yakni daratan seluas 23.000 ha dan estuari (22.000 ha). Jumlah rata-rata tailing yang dihasilkan dan mengendap di ModADA sekitar 230.000 ton per hari.
Baca juga: Memandirikan Mimika, Menyongsong Era Pascatambang
Tanaman buah itu sengaja ditanam di lahan bekas lahan tailing di Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati Maurujaya MP 21. Jika nantinya tambang ditutup atau berhenti beroperasi, lahan bekas tailing ini tetap bisa dimanfaatkan dan menjadi habitat bagi makhluk hidup. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui karakteristik tanah yang terbentuk dari tailing sehingga penanganan dan pengelolaannya jitu.
Sejak 2005, reklamasi dan pemanfaatan tailing untuk budidaya pertanian diteliti oleh Sartji Taberima, dosen Jurusan Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian Universitas Papua. Dari hasil penelitian diketahui, lapisan permukaan (horizon A) dan lapisan bawah (horizon C) di lahan tailing sudah terbentuk dalam waktu kurang dari 20 tahun, yang masuk dalam kategori entisol atau tanah baru berkembang. Pembentukan tanah idealnya terbentuk dalam kurun 20-50 tahun.
Proses pembentukan tanah membutuhkan waktu yang lama. Ada sejumlah faktor dalam proses pembentukan tanah, antara lain iklim, topografi, dan vegetasi. Menurut Sartji, kandungan bahan organik dan liat dari pelapukan mineral primer yang terkandung di dalam tanah berperan penting untuk mempercepat proses pembentukan tanah. Pada tailing terdapat partikel debu dan pasir yang didominasi mineral kuarsa tahan pelapukan dan mineral mudah lapuk (feldspar).
”Proses pelapukan menjadi cepat karena kondisi panas dan adanya curah hujan yang tinggi. Di sini iklimnya bagus sehingga pembentukan tanahnya lebih cepat,” ujarnya.
Berbagai jenis tanaman pangan juga ditanam di lahan tailing, antara lain jagung, tomat, mentimun, terung, tebu, serai, nanas, pisang, dan cabai rawit. Tailing tidak berdiri sendirian sebagai media tanam, tetapi harus dicampur dengan pupuk kandang atau kompos sebanyak 1 kg per lubang tanam. Penambahan ini berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mengikat unsur hara yang ada sehingga saat dilewati air, zat yang dibutuhkan tanaman tidak hanyut begitu saja.
Tailing juga dimanfaatkan sebagai pengganti media tanam hidroponik pada tanaman rock melon. Jenis media tanam hidroponik yang digunakan pada umumnya adalah cocopeat, kapas, arang sekam, dan rockwool.
Sartji menilai, tanaman yang menghasilkan buah lebih cocok dibudidayakan di lahan tailing. Pada panen pertama, tanaman tomat mungkin hanya menghasilkan 1-1,5 kg buah per tanaman. Idealnya jika ditanam pada lahan pertanian bisa menghasilkan 3-4 kg buah per tanaman. Tak perlu khawatir. Pada penanaman selanjutnya, tingkat kesuburan tanah lahan tailing kian membaik sehingga produktivitas bisa ditingkatkan.
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui kandungan logam pada hasil panen tanaman pangan yang dibudidayakan. Hasilnya, kandungan arsen (As), merkuri (Hg), dan timbal (Pb) berada di bawah kriteria batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Persepsi awal yang muncul ketika mendengar area bekas tambang adalah daerahnya gersang. Kalau di sini berbeda karena curah hujannya tinggi. Kelembapan ini membuat hampir semua tumbuhan bisa hidup di lahan bekas tailing.
Selain tanaman budidaya, vegetasi alami yang tumbuh di sekitar lahan bekas turut mendapatkan perhatian istimewa. Sebab, keberadaan tanaman itu menjadi tempat tinggal atau sumber makanan bagi makhluk hidup di sekitarnya, seperti burung, katak, dan kupu-kupu.
Tahun 2006, dosen dan Kepala Laboratorium dan Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Papua Nurhaidah Iriany Sinaga mendata, setidaknya ada 500 jenis tumbuhan di lahan bekas tailing. Pemantauan rutin yang dilakukan tahun 2021 menunjukkan adanya penambahan menjadi 900-an jenis tanaman. Saat ini, pemantauan masih berlangsung sehingga jumlahnya diperkirakan akan bertambah.
”Persepsi awal yang muncul ketika mendengar area bekas tambang adalah daerahnya gersang. Kalau di sini berbeda karena curah hujannya tinggi. Kelembapan ini membuat hampir semua tumbuhan bisa hidup di lahan bekas tailing,” ujar Nurhaidah.
Sejumlah vegetasi tumbuh alami di dalam hutan tailing, antara lain beringin (Ficusbenjamina), benuang (Oktomeles sumatrana), ketimunan (Timonius timon), terentang (Chamnosperrma brevipetiolata), cemara (Casuarina papuana), dan kopian (Glochidionmacrocarpum). Bahkan juga terdapat tanaman pangan, seperti pandan, kelapa, pisang, paku-pakuan, dan gembili.
Dia menduga benih vegetasi itu disebarkan oleh burung-burung yang tak sengaja menjatuhkan kotoran atau biji-bijian di area lahan tailing. Kondisi tanah dan lingkungan yang sesuai akan mendukung pertumbuhan biji menjadi bakal tanaman.
Lumut, rerumputan, dan paku-pakuan merupakan vegetasi awal yang tumbuh ketika lahan tailing sudah mulai terbentuk tanah. Perlahan berbagai jenis vegetasi lainnya tumbuh dan berkembang menjadi hutan. Dari hasil penelitiannya, peralihan dari padang rumput menjadi hutan sekunder hanya membutuhkan waktu 15 tahun. Hal ini ditunjukkan dari penambahan diameter pohon, keberadaan keanekaragaman tumbuhan, dan kondisi lingkungan di sekitarnya.
”Dalam beberapa penelitian, peralihannya membutuhkan lebih kurang 50 tahun. Semakin cepat semakin baik dilanjutkan peralihan menuju hutan primer,” ujar dosen yang menekuni vegetasi ragam pandan itu.
Di Muara Ajkwa, banyak ragam pohon bakau berukuran besar dan menjulang, seperti Xylocarpus moluccensis, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, dan Ceriops tagal. Hutan bakau merupakan habitat bagi sejumlah hewan, pada bagian akarnya terdapat kepiting dan rerantingnya menjadi hunian para burung.
Upaya penanaman kembali bakau dilakukan pada daerah sedimentasi secara bertahap. Di sana, ada 1.000 ha daratan baru atau delta yang terbentuk dari tailing. Sebanyak 450 ha di antaranya telah ditanami 2,6 juta bibit bakau. Penanaman yang dilakukan sejak tahun 2004 ini telah membentuk kolonisasi bakau secara alami, tak heran jika banyak makhluk hidup yang tinggal di sana. Bahkan, ditemukan sejumlah spesies baru di sana.
Jumat (18/3/2022), dijumpai ragam kepiting kecil di antara Sporolobus virginicus. Warna kerapasnya hampir senada dengan tanah sedimentasi. Mata bisa terkecoh jika tak mengamatinya dari dekat. Mereka tinggal di lubang-lubang yang mengeluarkan gelembung dan di antara akar-akar pohon bakau.
Tak ada yang mengira jika pasir sisa tambang bisa dimanfaatkan dalam beberapa hal. Lumrah jika yang terbentuk di awal adalah persepsi negatif karena belum mengetahui gambaran besarnya. Seiring kemajuan teknologi, riset mendalam, dan studi terhadapnya diharapkan bisa memberikan gambaran lebih luas.