Penanganan Satwa Liar Harus Menggunakan Pendekatan Konservasi
Dokter hewan yang berkiblat pada pendekatan konservasi akan mengedepankan fungsi satwa di ekosistem alaminya. Mereka lebih memandang kepentingan populasi satwa dibandingkan dengan individu satwa.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penanganan satwa liar harus berkiblat pada pendekatan konservasi. Itu berarti bukan hanya mengacu pada penyembuhan individu satwa, melainkan juga harus mengembalikan fungsinya di dalam ekosistem. Dengan pendekatan itu, diharapkan kondisi ekosistem terjaga dan keberadaan mereka tetap bisa lestari.Pernyataan ini disampaikan oleh dosen Penyakit Dalam Veteriner Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur, Yeremia Yobelanno Sitompul, dalam siniar (podcast)Dr.B The Vet Show, Minggu (27/3/2022). Menurut dia, dalam merawat satwa liar, harus mengedepankan kesejahteraan satwa. Yang dimaksud dengan kesejahteraan berarti harus memperhatikan kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan memastikan mereka dapat mengekspresikan tingkah laku alaminya.Sederhananya, lanjut Yeremia, harus dipastikan satwa liar itu tidak mengalami kelaparan, tidak merasa takut, dan tidak menderita penyakit. ”Dalam penanganan satwa sebisa mungkin tidak menyakiti mereka,” katanya. Menurut dia, tidak mudah menangani satwa liar karena yang diperhatikan bukan hanya individu satwa tersebut, melainkan juga harus memastikan mereka tidak kehilangan perilaku alaminya.
Sebuah penangkaran yang baik biasanya akan dirancang semirip mungkin dengan habitat alami satwa tersebut.
Seorang dokter hewan yang berkiblat pada pendekatan konservasi akan mengedepankan fungsi satwa di ekosistem alaminya. Mereka lebih memandang kepentingan populasi satwa dibandingkan dengan individu satwa. ”Hal ini bertujuan agar satwa tersebut tetap nyaman ketika dikembalikan ke habitatnya,” kata Yeremia.
Biasanya untuk satwa liar yang sudah memiliki kedekatan dengan manusia akan dijadikan indukan. Adapun untuk anak-anaknya terus dilatih agar tidak kehilangan perilaku alaminya. Itulah sebabnya, sebuah penangkaran yang baik biasanya akan dirancang semirip mungkin dengan habitat alami satwa tersebut. ”Karena mereka untuk selanjutnya akan dilepasliarkan ke alam,” kata Yeremia.Untuk menjadi seorang konservasionis, lanjut Yeremia, perlu dimiliki sejumlah kemampuan lain, yakni kemampuan dalam berkomunikasi, pemahaman budaya, dan sosial. Sebab, untuk menjaga kelestarian alam, juga harus bekerja sama dengan masyarakat setempat. Misalnya mengajak warga tidak memburu atau menangkap satwa liar. ”Namun, perlu juga diperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Kita harus turut mencarikan solusi agar mereka mendapatkan mata pencarian alternatif agar mereka memiliki kesadaran untuk turut merawat habitat asli satwa liar,” katanya.
Memang pekerjaan tersebut tidak mudah dan hasilnya tidak langsung terasa. Namun, dengan menjadi dokter hewan yang berkiblat pada pendekatan konservasi, berarti turut mewariskan kelestarian alam untuk generasi mendatang. ”Kita turut memastikan bahwa anak cucu kita bisa melihat gajah atau harimau secara langsung bukan dari buku atau dongeng semata,” kata Yeremia.Namun, dia memastikan semua visi tersebut akan berjalan dengan sangat baik apabila pemerintah ikut turun tangan dan memiliki visi yang sama untuk melestarikan alam. ”Karena keberhasilan dalam pelestarian satwa di alam bergantung pada kolaborasi dari sejumlah pihak yang berkepentingan,” kata Yeremia. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno berpendapat, kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi menjadi krusial karena telah terbukti turut menjaga kelestarian hutan. Bukan hanya di Musi Rawas, skema kolaborasi partisipatif sudah dilakukan di 176.000 hektar kawasan konservasi di seluruh Indonesia.
Baca juga : Perdagangan Ilegal Masih Marak, Pengamanan Satwa Dilindungi Perlu DiperkuatKetika pola ini diterapkan dengan membangun komunikasi yang baik, diharapkan dapat mengikis segala bentuk permasalahan yang kerap terjadi di sekitar kawasan konservasi, mulai dari risiko perburuan, perambahan, hingga konflik lahan. ”Dengan begitu, risiko kepunahan dari flora dan fauna yang ada di dalamnya juga bisa diminimalisasi,” katanya.Hal ini penting karena satwa liar terkadang juga hidup di luar kawasan konservasi. Oleh karena program kolaborasi dengan masyarakat dan perusahaan harus terus dibangun. ”Kita perlu optimalkan kerja sama dengan masyarakat hingga ke tingkat desa,” katanya.
Program eksitu (di luar) dan insitu (di dalam) kawasan konservasi harus diterapkan agar setiap jengkal kawasan hutan memberikan manfaat nyata, utamanya perihal pelestarian. ”Dengan kerja sama ini, semoga dapat menyelesaikan berbagai masalah di sekitar kawasan hutan,” ucap Wiratno.