Inventarisasi Anggrek Digelar di Sumsel untuk Cegah Kepunahan
Alih fungsi lahan dan perambahan hutan mengancam keberadaan anggrek di Sumatera Selatan. Karena itu, pusat konservasi flora dibangun di daerah tersebut sebagai tempat pengembangan dan edukasi untuk melestarikan anggrek.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Balai Konservasi Sumatera Selatan telah mengumpulkan 250 spesies anggrek dari lebih dari 500 spesimen sejak tahun 2017. Bahkan, beberapa di antara anggrek tersebut merupakan tanaman endemik daerah itu. Inventarisasi ini dilakukan untuk melindungi flora dari ancaman kepunahan karena kerusakan hutan akibat perambahan atau alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan atau tambang.
Kader Konservasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Pungky Nanda Pratama, Sabtu (26/3/2022), saat dihubungi dari Jakarta, menyebutkan, inventarisasi anggrek telah dilakukan sejak tahun 2017 di dalam (insitu) dan di luar (eksitu) kawasan konservasi.
Anggrek yang ditemukan, antara lain, anggrek bulan sumatera (Phalaenopsis sumatrana), anggrek bulan jawa (Phalaenopsis javanica), serta dua anggrek endemik sumatera Paphiopedilum superbiens dan Vanda foetida.
Bahkan, untuk anggrek bulan jawa merupakan spesies yang sejak 40 tahun lalu sudah dianggap punah karena tidak ditemukan lagi di dataran Jawa, beberapa tahun lalu ditemukan tumbuh di Sumatera.
Anggrek tersebut diperoleh dari kawasan hutan di wilayah Bengkulu, Jambi, Sumsel, dan Sumatera Barat. Ironisnya, anggrek yang seharusnya berstatus flora dilindungi terkadang tumbuh di kawasan yang tidak terlindungi. Karena itu, inventarisasi anggrek ini penting untuk melestarikan flora tersebut dari ancaman kerusakan lingkungan akibat perambahan dan alih fungsi lahan hutan jadi perkebunan ataupun pertambangan.
Anggrek hasil temuan itu dikembangkan ke sebuah demplot yang diberi nama Pusat Konservasi Flora, yang dibangun di atas lahan seluas 7.000 meter persegi, terletak di Kecamatan Selangit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Di demplot yang terletak di Suaka Margasatwa Isau-Isau Pasemah itu dibangun pusat pengembangan anggrek dan tanaman lain, seperti paku-pakuan dan tanaman hoya.
”Pusat konservasi ini sekaligus akan menjadi plasma nutfah bagi tanaman yang terancam punah. Karena itu, pengambilan indukan sangat diperlukan,” ujar Pungky.
Selain untuk pengembangan, di pusat koservasi flora yang diklaim merupakan yang pertama di Sumatera ini juga akan disediakan demplot lain sebagai sarana edukasi kepada mereka yang haus akan pengetahuan soal keanekaragaman flora di kawasan Sumatera Selatan.
Pusat konservasi ini sekaligus akan menjadi plasma nutfah bagi tanaman yang terancam punah. Karena itu, pengambilan indukan sangat diperlukan.
”Demplot yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Isau-Isau Pasemah tersebut akan dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya sehingga menumbuhkan kepedulian untuk turut menjaga flora tersebut,” kata Pungky.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sumatera Selatan Martialis Puspito dalam dialog interaktif bertemakan ”Implementasi Konservasi Insitu dan Eksitu dengan Prinsip Kolaboratif-Partisipatif” menyebut, dalam upaya pelestarian flora, pelibatan masyarakat sekitar adalah yang utama. ”Karena mereka-lah garda terdepan untuk menjaga hutan kawasan dan segala mahluk yang tinggal di dalamnya,” kata Martialis.
Untuk itu, perlu kerja sama dengan berbagai pihak agar keberadaan hutan kawasan konservasi utamanya mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar sehingga mereka memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan.
Kerja sama dengan masyarakat yang ada di sekitar Suaka Margasatwa Isau-Isau Pasemah tidak hanya berhenti pada pengembangan dan pembudidayaan anggre, tetapi juga untuk upaya konservasi fauna, seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Wakil Bupati Musi Rawas Suwarti berharap tempat penangkaran anggrek ini dapat menjadi obyek wisata alam unggulan di kabupaten Musi Rawas. Selain mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar, pusat konservasi flora di Kecamatan Selangit itu juga bisa mendatangkan pendapatan asli daerah bagi Kabupaten Musi Rawas.
Melihat kian pentingnya pusat konservasi flora ini, pihaknya berkomitmen mendukung segala bentuk pengembangan yang dilakukan pihak terkait. Harapannya, konservasi flora tidak sebatas pada pengembangan dan pengawetan, tetapi juga bisa mencakup pada pemanfaatan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno berpendapat, kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi menjadi krusial karena telah terbukti turut menjaga kelestarian hutan. Tidak hanya di Musi Rawas, skema kolaborasi partisipatif sudah dilakukan di 176.000 hektar kawasan konservasi di seluruh Indonesia.
Ketika pola ini diterapkan dengan membangun komunikasi yang baik, diharapkan dapat mengikis segala bentuk permasalahan yang kerap terjadi di sekitar kawasan konservasi, mulai dari risiko perburuan, perambahan, hingga konflik lahan. ”Dengan begitu, risiko kepunahan dari flora dan fauna yang ada di dalamnya juga bisa diminimalisasi,” katanya.