Peningkatan investasi untuk penanggulangan tuberkulosis merupakan bagian fundamental untuk mencapai eliminasi dari penyakit tersebut. Tanpa adanya komitmen kuat dalam pendanaan, target eliminasi pada 2030 sulit tercapai.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah menetapkan target eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030. Namun, sejumlah tantangan dihadapi untuk mencapai target tersebut, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19. Komitmen pun perlu diperkuat, termasuk dalam investasi pengendalian tuberkulosis.
Ketua Yayasan Stop TB Partnership Nurul HW Luntungan mengatakan, pembiayaan untuk program tuberkulosis (TBC) masih belum ideal untuk bisa menuntaskan persoalan yang dihadapi di masyarakat. Di masa pandemi Covid-19, pembiayaan tersebut juga menurun. Secara global, pembiayaan program TBC pada 2020 turun 8,7 persen dibandingkan 2019.
”Untuk pertama kalinya pembiayaan program TBC sebagai bagian dari pelayanan kesehatan esensial menurun. Ini terjadi akibat pergeseran dukungan anggaran untuk mengatasi pandemi Covid-19,” ujarnya dalam acara temu media peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia yang diadakan secara virtual dari Jakarta, Selasa (22/3/2022). Hari Tuberkulosis Sedunia diperingati setiap tanggal 24 Maret.
Nurul menyampaikan, persoalan pembiayaan TBC ini sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi. Pada 2020 telah ditargetkan pembiayaan untuk akses pada layanan pencegahan, diagnosis, serta perawatan dan pelayanan sebesar 13 miliar dollar AS. Namun, realisasi yang tercapai hanya 5,3 miliar dollar AS. Selain itu, pembiayaan riset terkait TBC juga belum optimal. Dari target sebesar 2 miliar dollar AS, realisasi pada 2019 baru 901 juta dollar AS.
Menurut Nurul, belum terpenuhinya kebutuhan anggaran, bahkan belum sampai 50 persen dari target yang ditetapkan, menunjukkan anggaran dunia untuk menanggulangi TBC masih minim. Kondisi ini dapat menghambat upaya eliminasi TBC yang akhirnya dapat berdampak pula pada perekonomian.
Saat ini, setidaknya tercatat ada 31 juta orang yang meninggal setiap tahun akibat TBC. Hal tersebut diperkirakan dapat menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar 18,5 triliun dollar AS pada 2020-2050.
Untuk pertama kalinya pembiayaan program TBC sebagai bagian dari pelayanan kesehatan esensial menurun. Ini terjadi akibat pergeseran dukungan anggaran untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Karena itu, Nurul menuturkan, peningkatan investasi dalam upaya penanggulangan TBC merupakan bagian fundamental untuk menyelesaikan masalah kesehatan global. Di Indonesia, alokasi anggaran yang ideal untuk penanggulangan TBC sebesar 500 juta dollar AS. Namun, pada 2021 ini, alokasi dari pemerintah baru mencapai 100 juta dollar AS. Pendanaan global (global fund) mendukung sebanyak 60 juta dollar AS.
”Anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Itu menunjukkan ada komitmen yang cukup baik, meski saat awal pandemi ada penurunan anggaran. Kita harapkan komitmen ini bisa terus menguat,” ucapnya.
Nurul berpendapat, presidensi G20 Indonesia sekaligus bisa dimanfaatkan untuk mendorong penguatan penanggulangan TBC di tingkat global, khususnya di negara anggota G20. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 mencatat, insidensi TBC di negara G20 mencapai 49 persen dari beban global atau sekitar 4,8 juta kasus dengan kasus tertinggi di India (2,5 juta kasus), China (842.000 kasus), dan Indonesia (824.000 kasus).
”Keseriusan Indonesia dalam penanggulangan TBC yang tertuang pada perpres (peraturan presiden) tentang tuberkulosis bisa menjadi praktik baik untuk negara lain dengan beban TBC yang juga tinggi,” ucapnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menyampaikan, Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis juga menjadi komitmen pemerintah untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor. Setidaknya ada tiga hal utama yang diamanatkan dalam aturan tersebut.
Pertama, dalam penanggulangan TBC perlu digalang dukungan dari segenap jajaran lintas sektor dan seluruh lapisan masyarakat. Kedua, menerapkan strategi nasional penanggulangan tuberkulosis pada 2020-2024. Ketiga, mencapai eliminasi TBC pada 2030.
”Hari TBC Sedunia ini bisa menjadi momen yang tepat untuk mengajak keterlibatan multisektor dengan meningkatkan kampanye terkait TBC serta mendorong semua pihak untuk berperan aktif dalam pencegahan, penemuan kasus aktif, pengobatan, dan pengendalian TBC, termasuk dengan inovasi,” tutur Didik.
Penemuan kasus
Ia mengakui, capaian program tuberkulosis di Indonesia masih belum optimal. Akibat pandemi, deteksi dan cakupan pengobatan TBC menurun. Pada 2019, tercatat jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 562.000 orang dengan cakupan pengobatan mencapai 67 persen. Namun, pada 2021 tercatat kasus yang ditemukan menjadi 402.502 orang dengan cakupan pengobatan 49 persen.
Untuk itu, berbagai inovasi dikembangkan oleh pemerintah agar upaya penanggulangan TBC, termasuk penemuan kasus, deteksi dini, dan pengobatan, tetap bisa berjalan optimal. Layanan kesehatan digital pun dioptimalkan.
Hal itu meliputi, antara lain, pemanfaatan aplikasi Sobat TB. Aplikasi ini dapat digunakan oleh masyarakat sebagai penapisan awal dari gejala TBC, terutama pada populasi berisiko dan kontak erat pasien TBC.
Selain itu, Didik mengatakan, pemerintah mengembangkan teknologi penapisan TBC dengan menggunakan peralatan berbasis sinar-X dengan kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini untuk memberikan hasil diagnosis TBC yang lebih cepat dan efisien.
”Investasi untuk mengakhiri TBC memang sangat penting. Investasi itu tidak hanya secara finansial, tetapi juga dalam bentuk nonmaterial, yakni dengan bekerja keras dan komitmen tinggi. Diharapkan masyarakat juga turut mendukung hal tersebut,” ucap Didik.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan umumnya terjadi di paru-paru. Penularannya melalui udara. Adapun gejala yang umum dialami adalah batuk lebih dari dua pekan, demam, batuk berdarah, serta penurunan berat badan secara signifikan.