Indonesia menargetkan eliminasi tuberkulosis pada 2030. Namun, pandemi Covid-19 menghambat upaya itu. Adanya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 diharapkan mempercepat upaya eliminasi TB.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah mengganggu layanan tuberkulosis sehingga cakupan pengobatan pasien menurun. Adanya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis diharapkan mendorong percepatan penanganan tuberkulosis sehingga target eliminasi tahun 2030 bisa tercapai.
Jumlah kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia diperkirakan mencapai 845.000 kasus. Jumlah penderita TB yang ditemukan dan diobati pada 2019 sebesar 67 persen. Angka itu turun menjadi 43 persen pada 2020 akibat pandemi. Padahal, TB perlu segera ditemukan dan diobati untuk menekan risiko penularan kepada orang lain.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 1,4 juta orang di 84 negara yang kesulitan mengakses pelayanan TB sepanjang tahun 2020. Angka itu setara dengan penurunan 21 persen dibandingkan data tahun 2019. WHO juga memperkirakan hal ini menyebabkan munculnya 500.000 kasus kematian baru akibat TB.
”Disrupsi penanganan TB di kawasan Asia Tenggara antara lain dari sisi deteksi, kerja laboratorium, pengadaan obat, perawatan dan pengawasan, serta sumber daya manusia. Saat ini, semua orang fokus ke penanganan Covid-19,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Yarsi (Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia) Tjandra Yoga Aditama pada diskusi daring, Rabu (29/9/2021).
Menurut Tjandra, keberlanjutan penanganan TB perlu dipertahankan mengingat jumlah kematian akibat TB di Indonesia mencapai 98.000 per tahun. Artinya, ada 11 kematian per jam.
Indonesia juga termasuk satu dari delapan negara penyumbang dua per tiga kasus TB terbanyak di dunia. Dengan estimasi 845.000 kasus, Indonesia ada di peringkat kedua kasus TB terbanyak setelah India.
Oleh karena itu, upaya mengatasi ketertinggalan layanan TB penting dilakukan. Upaya tersebut, antara lain, dengan memetakan area rawan TB, mengintensifkan pelacakan kasus ke populasi rentan, meningkatkan penggunaan teknologi digital untuk konsultasi jarak jauh, hingga menggunakan penelitian terbaru untuk pengobatan pasien.
”TB agar menjadi kegiatan lintas program dan lintas sektor dengan dukungan beragam sumber daya. Diperlukan implementasi nyata di lapangan, rencana kerja, pengawasan, dan evaluasi,” kata Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara.
Produktivitas terdampak
TB perlu ditangani secara serius karena memengaruhi produktivitas individu kemudian berdampak pada pembangunan sumber daya manusia secara umum. Adapun 75 persen pasien TB di Indonesia adalah penduduk berusia 15-54 tahun. Lebih dari 25 persen pasien TB dan 50 persen pasien TB resisten obat terancam kehilangan pekerjaan akibat penyakitnya.
”Masa produktif selama 8-9 tahun akan terampas akibat penyakit ini. TB akan berdampak ke produktivitas, membuat hidup (pasien) tidak nyaman, dan ada risiko menyebarkan penyakit sampai ke anak,” kata Rektor Universitas Yarsi Prof Fasli Jalal.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Ika Yuliwulandari mengusulkan agar penanganan TB memakai pendekatan personalized medicine atau kedokteran personalisasi. Artinya, pasien diberi obat sesuai riwayat genetik dan kondisi tubuhnya. Pendekatan ini digunakan di Thailand pada 2018.
Pasien akan dikelompokkan sesuai respons tubuhnya terhadap obat. Dosis obat yang diberikan disesuaikan dengan respons tubuh pasien terhadap obat. Metode ini mendongkrak efektivitas pengobatan TB. Pasien TB harus menjalani pengobatan hingga tuntas minimal enam bulan.
Di sisi lain, adanya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 diharapkan akan mendorong percepatan penanganan TB. Perpres ini mengatur agar semua pemangku kepentingan turun tangan menangani TB, baik individu, institusi pendidikan, organisasi profesi, dunia usaha, maupun masyarakat.
”Presiden mengarahkan pelacakan agresif dilakukan untuk menemukan pasien. Stok obat-obatan juga harus tersedia sampai pengobatan tuntas. Upaya ini perlu dilakukan secara lintas sektor. Pemerintah juga berupaya meningkatkan edukasi, sosialisasi, dan komunikasi ke masyarakat,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu.
Disrupsi penanganan TB di kawasan Asia Tenggara antara lain dari sisi deteksi, kerja laboratorium, pengadaan obat, perawatan dan pengawasan, serta sumber daya manusia. Saat ini, semua orang fokus ke penanganan Covid-19
Lintas sektor
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mendorong agar upaya pencegahan dan penanganan TB dilakukan di perusahaan. Ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan manajemen, edukasi dan penyediaan layanan TB, lingkungan kerja yang sehat, dan menyediakan alat pelindung diri bagi pekerja.
Kemenaker juga akan bekerja sama dengan tempat-tempat kerja yang teridentifikasi berisiko TB. Koordinasi antara penyedia layanan kesehatan perusahaan dan layanan kesehatan tingkat kabupaten/kota akan diperkuat.
Adapun Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama M Fuad Nasar mengatakan, upaya pencegahan dan penanganan TB juga akan dilakukan di lembaga keagamaan, seperti pesantren. Edukasi soal TB juga akan diperkuat.