Gawai yang Kian Mencandu
Pandemi Covid-19 semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap gawai. Jumlah orang yang kecanduan akan gim daring serta media sosial semakin banyak. Fenomena ini perlu menjadi perhatian.
Keterbatasan aktivitas selama pandemi Covid-19 membuat orang semakin melekat pada gawai masing-masing. Berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan secara luring pun terpaksa beralih ke daring.
Selain itu, kesibukan yang biasanya dihabiskan untuk beraktivitas ataupun bersosialisasi di luar ruang kini semakin terbatas. Tidak dimungkiri, banyak orang pun akhirnya menjadikan gawai sebagai hiburan.
Hasil survei yang dilakukan InMobi bertajuk ”Mobile Gaming Through the Pandemic and Beyond in Southeast Asia 2021” menunjukkan 46 persen responden di Indonesia baru pertama kali bermain gim daring ataupun gim di ponsel saat pandemi. Hal ini menyebabkan jumlah pengguna gim daring meningkat dua kali lipat di Indonesia. Jumlah pemain gim daring di Indonesia pun tertinggi ketiga di dunia.
Psikolog sosial Josephine Rosa Marieta dalam dialog keliling yang diadakan secara daring oleh Satgas Covid dari Jakarta, Sabtu (12/3/2022), menyampaikan, fenomena tersebut perlu menjadi perhatian bagi masyarakat. Itu terutama pada orangtua yang memiliki anak usia remaja. Dari jumlah orang yang bermain gim daring, sebanyak 55 persen merupakan remaja pria.
”Kalau dari penelitian lain, ditemukan bahwa satu dari 10 remaja di Indonesia terindikasi mengalami kecanduan game online. Ini menimbulkan permasalahan tersendiri,” katanya.
Baca juga : Main Gim Daring Jangan Sampai Jadi ”Miring”
Salah satunya dialami oleh Farel (15), siswa SMK asal Semarang. Sebelum pandemi, ia sudah terdiagnosis mengalami kecanduan gim daring.
Awal kecanduan gim yang dialaminya terjadi ketika banyak teman di SMP-nya merundungnya. Ia lalu mencari pelarian dengan bermain gim. Dengan teman daringnya, ia merasa lebih diterima. Mulai saat itulah, ia tidak bisa berhenti bermain gim.
Satu dari sepuluh remaja di Indonesia terindikasi mengalami kecanduan ”game online”. Ini menimbulkan permasalah tersendiri.
Kecanduan yang dialaminya sempat membaik setelah terapi dan sibuk beraktivitas di sekolah. Namun, begitu pandemi terjadi, ketika ia harus sepenuhnya belajar di rumah, adiksinya terhadap gim daring kembali tidak terkontrol.
Atik (50), ibu dari Farel, sempat kebingungan. Tugas-tugas sekolah tidak ada yang dikerjakan. Setiap hari, Farel selalu berada di kamar untuk bermain gim. Keluar kamar hanya untuk makan. Untuk mandi pun sangat jarang. Kadang, ia baru mandi setelah lima hari.
”Benar-benar tidak bisa dikontrol. Ketika dinasihati, langsung emosi. Kata-kata kasar semua keluar. Padahal, ketika bertemu dengan orang lain, dia sangat tidak percaya diri. Kalau sekali keluar rumah, pasti pakai jaket ber-hoodie (tudung) dan sering menunduk,” ujar Atik.
Berat badan Farel naik signifikan sampai 113 kilogram. Anaknya benar-benar tidak terawat. Rambutnya tidak mau dipotong dan kamarnya jarang dibersihkan.
Tidur juga tidak teratur. Biasanya, Farel baru tidur sekitar pukul tujuh pagi. Pada malam hari, ia menghabiskan waktu dengan bermain gim. Uang jajan pun ludes untuk keperluan gim daringnya. Dalam seminggu, ia bisa menghabiskan Rp 200.000. Jika tidak diberi uang, ia langsung berontak.
Kondisi tersebut baru membaik pertengahan tahun lalu. Atik berusaha keras untuk mendekati anaknya. Pasalnya, anaknya tidak mau diajak untuk konsultasi dengan psikiater. Obat yang pernah diberikan tidak dikonsumsinya.
”Akhirnya saya coba alihkan dengan kegiatan yang memang dia mau lakukan. Saat (Farel) minta untuk ke gym, langsung saya turuti. Dari situ ia mulai percaya diri dengan dibantu pelatihnya juga. Ia juga mau menyelesaikan SMP-nya dan melanjutkan ke SMK,” tutur Atik.
Banyaknya kegiatan di SMK membuat Farel tidak lagi sering bermain gim. Teman baru yang dimiliki saat SMK membuat dia lebih percaya diri.
Kenali gejala
Josephine menuturkan, orangtua sebaiknya segera mengenali tanda-tanda ketika anaknya mengalami kecanduan atau adiksi gim daring. Jika anak mengalami perubahan emosi atau kebiasaan, orangtua patut waspada.
Baca juga : Batasi Gawai pada Anak
Gejala kecanduan gim ataupun gawai antara lain menjadi abai terhadap kewajiban sehari-hari seperti makan, mandi, dan tugas sekolah; mulai menutup diri; emosi tidak terkontrol; serta lebih merasa nyaman ketika sendiri. Sering kali anak yang mengalami kecanduan gawai atau gim daring tidak merasa dirinya bermasalah. Ia justru menyalahkan orang lain yang tidak sesuai dengan pendapat dan keinginannya.
”Orangtua pun harus menerima ketika anaknya mengalami kecanduan gameonline. Jangan justru ditutup-tutupi atau mencari kambing hitam. Kecanduan game online sudah masuk dalam gangguan kesehatan mental yang harus segera diatasi. Sebaiknya segera bawa ke ahlinya seperti psikolog agar mendapat penanganan yang optimal,” ujar Josephine.
Adiksi gim daring bisa dicegah dengan mendorong anak untuk melakukan perilaku alternatif. Berbagai kegiatan bisa ditawarkan untuk mengalihkan perhatian anak dari permainan daring. Hal ini perlu dilakukan sebelum kecanduan gim daring terjadi.
”Namun, yang terpenting juga adalah mengetahui penyebab anak menjadi kecanduan. Penyebab ini perlu diatasi supaya akar masalah yang dialami anak bisa diselesaikan dengan baik,” ucapnya.
Media
Josephine menambahkan, bentuk kecanduan lain yang perlu diwaspadai adalah kecanduan pada media sosial. Rentang usia pada gangguan adiksi ini lebih luas daripada kecanduan gim daring. Mulai dari usia anak sampai lansia banyak yang ditemukan mengalami gejala kecanduan media sosial.
Jumlah pengguna media sosial di Indonesia pun meningkat saat ini. Pada 2022, sebanyak 80 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna media sosial. Jumlah ini meningkat 15 persen dari tahun sebelumnya.
”Masyarakat juga harus waspada akan tanda dan gejala dari adiksi kecanduan media sosial. Secara umum hampir sama dengan game online, tetapi yang spesifik pada pengguna media sosial itu ciri-cirinya cenderung ingin setiap saat meng-update apa pun dalam kehidupannya dan mudah terprovokasi untuk paling pertama meng-update sesuatu,” lanjutnya.
Umumnya, orang yang mengalami kecanduan media sosial akan merasa resah dengan respons terhadap konten yang diunggahnya di media sosial. Orang tersebut akan resah dengan jumlah like ataupun komentar terhadap unggahannya. Ia juga akan lebih mementingkan penampilannya di media sosial dibandingkan dengan tugas ataupun kewajibannya sehari-hari.
Baca juga : Sejak Usia Berapa Anak Boleh Memegang Gawai Sendiri?
Fenomena ini menunjukkan, kemajuan teknologi dapat menjadi pedang bermata dua. Berbagai kemudahan bisa didapatkan lewat internet. Dengan media sosial, masyarakat pun semakin mudah berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, terutama di tengah keterbatasan saat pandemi.
Namun, jika tidak dikontrol, hal itu justru bisa berdampak buruk. Kewajiban utama bisa teralihkan atau bahkan terbengkalai. Karena itu, berlayar di tengah dunia maya perlu adanya kesadaran dan pengendalian diri yang baik.