Kebisingan yang terjadi di tengah masyarakat menyebabkan risiko terjadinya gangguan pendengaran semakin besar. Kesadaran melakukan pemeriksaan pendengaran perlu ditingkatkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi dan perkembangan industri meningkatkan sumber kebisingan di tengah masyarakat. Hal ini membuat risiko gangguan pendengaran semakin meningkat. Karena itu, berbagai upaya pencegahan serta deteksi dini gangguan pendengaran harus lebih masif dilakukan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, kemajuan industri dan banyaknya orang-orang yang bekerja di tempat dengan kondisi kebisingan yang tinggi menyebabkan populasi orang dengan gangguan pendengaran semakin tinggi. Usia harapan hidup yang terus meningkat juga membuat proporsi orang dengan gangguan pendengaran semakin tinggi karena risiko gangguan ini semakin besar pada populasi lanjut usia.
”Di masa yang akan datang, upaya menjaga kesehatan pendengaran menjadi sangat penting karena risikonya semakin besar. Kesadaran untuk mencegah dan mengobati, termasuk deteksi dini pun, amat penting. Sebisa mungkin juga harus menjauhi sumber kebisingan,” katanya dalam konferensi pers terkait Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran Nasional di Jakarta, Selasa (1/3/2022). Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran Nasional diperingati setiap 3 Maret.
Adapun sumber kebisingan yang bisa ditemukan di tengah masyarakat, antara lain, lalu lintas yang didominasi oleh kendaraan, kebisingan di industri seperti generator, serta alat elektronik rumah tangga, seperti pengering rambut dan mikser. Penggunaan penyuara telinga (earphone) dengan suara yang tinggi juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Volume maksimal saat menggunakan penyuara telinga disarankan 60 persen dari tingkat volume yang ada. Selain itu, pengguna sebaiknya menghentikan penggunaan penyuara telinga setelah 60 menit dengan waktu istirahat.
Maxi mengatakan, risiko gangguan pendengaran yang semakin tinggi ini perlu disikapi dengan kesadaran untuk deteksi dini yang baik. Gangguan pendengaran dapat diatasi dengan baik apabila teridentifikasi sejak dini. Dengan demikian, perawatan pun bisa diberikan tepat waktu.
Di masa yang akan datang, upaya untuk menjaga kesehatan pendengaran menjadi sangat penting karena risikonya semakin besar. Kesadaran untuk mencegah dan mengobati, termasuk deteksi dini pun, amat penting. Sebisa mungkin juga harus menjauhi sumber kebisingan.
”Orang yang memiliki risiko gangguan pendengaran perlu melakukan pemeriksaan secara berkala. Jika mengalami gangguan pendengaran segera dapatkan perawatan yang tepat di fasilitas pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Pemeriksaan kesehatan telinga bisa dilakukan setiap dua tahun atau tiga tahun sekali. Namun, pada orang yang berisiko tinggi, misalnya yang bekerja di tengah kebisingan, perlu memeriksakan diri setidaknya satu tahun sekali. Ini terutama pada orang yang bekerja di tengah kondisi paparan suara yang melebihi 85 desibel.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (Perhati-KL) Jenny Bashiruddin menuturkan, seluruh pihak harus tetap memperhatikan upaya penanganan gangguan pendengaran. Masalah kesehatan telinga dan pendengaran tetap terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Masalah kesehatan yang biasanya terjadi, seperti infeksi pada telinga, komplikasi pada gangguan telinga, gangguan pendengaran kongenital, gangguan pendengaran pada usia lanjut, tuli mendadak, serta adanya penyumbatan akibat kotoran telinga. Kondisi tersebut membutuhkan perawatan dan penanganan di fasilitas kesehatan. Karena itu, layanan terkait kesehatan telinga dan pendengaran harus tetap berjalan sekalipun dalam kondisi pandemi.
Selain itu, Jenny mengatakan, kesadaran untuk melakukan pemeriksaan juga diperlukan, termasuk pada orang yang mengalami gangguan pendengaran setelah terinfeksi Covid-19. Ditemukan sejumlah kasus dengan gangguan pendengaran berupa telinga yang berdenging atau tinnitus sebagai gejala Covid-19 berkepanjangan (long covid).
”Sejumlah pasien datang dengan keluhan telinga berdenging atau gangguan pendengaran lain sebagai gejala long covid. Kita perlu melakukan diagnosis berupa tes untuk melihat penyebab dan kondisi gangguan telinga yang dialami,” katanya.
Alat bantu dengar
Maxi menuturkan, tantangan lain yang dihadapi terkait penanganan gangguan pendengaran dan telinga ialah terbatasnya akses pada alat bantu dengar. Tantangan ini merupakan tantangan di seluruh dunia.
Data The Word Report on Hearing 2021 menyebutkan, terdapat 1,5 juta penduduk di dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Sebanyak 430 juta di antaranya memerlukan layanan rehabilitasi untuk gangguan pendengaran bilateral yang dialami.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 20 persen penderita gangguan pendengaran membutuhkan alat bantu dengar. Namun, alat bantu yang diproduksi baru bisa mencukupi 10 persen dari kebutuhan global, bahkan hanya mampu memenuhi tiga persen kebutuhan di negara berkembang.
Pemerintah telah berupaya mendorong akses masyarakat pada alat bantu dengar melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. Diharapkan ini dapat membantu masyarakat untuk mengakses alat bantu tersebut.
”Namun, yang terpenting adalah mampu mencegah risiko terjadinya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat dicegah, dapat diobati, dan dapat direhabilitasi,” kata Maxi.