Membersihkan Kotoran Telinga, Jangan Asal Mengorek
Kebersihan telinga perlu dijaga dengan baik. Namun, jika sembarangan membersihkan telinga, hal itu justru bisa meningkatkan risiko mengalami gangguan pendengaran yang serius.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski kerap disepelekan, cara membersihkan kotoran di dalam telinga perlu dipahami dengan baik. Sebab, pembersihan telinga yang salah berisiko menimbulkan gangguan serius pada telinga. Karena itu, perlu ada edukasi lebih masif kepada masyarakat mengenai hal itu.
”Prinsipnya, untuk membersihkan telinga, tidak boleh mengorek telinga dan tidak boleh dibersihkan sendiri. Jika terlihat di bagian luar, boleh dibersihkan dengan kapas, tetapi tidak boleh masuk sampai ke dalam telinga,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (Perhati KL) Jenny Bashiruddin dalam temu media terkait Hari Pendengaran Sedunia yang diikuti secara virtual di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Jenny menjelaskan, bentuk kotoran telinga yang dimiliki setiap orang bisa berbeda-beda. Ada kotoran yang lunak, tetapi ada pula yang keras. Ketika seseorang mengorek telinganya, kotoran dikhawatirkan terdorong ke dalam sehingga bisa mengalami cedera yang memicu pendarahan pada kulit telinga.
Terdapat beberapa cara membersihkan telinga. Pada kotoran yang ada di bagian luar, pembersihan bisa dilakukan dengan kapas. Sementara untuk kotoran yang mengeras di bagian dalam bisa memakai obat agar kotoran bisa keluar dengan sendirinya. Namun, jika kotoran tidak juga keluar, sebaiknya dilakukan pengangkatan ke dokter yang ahli.
”Dokter akan mengeluarkan kotoran dengan alat-alat yang menunjang bisa dengan cara irigasi liang telinga melalui penyemprotan cairan,” ujar Jenny.
Meski sering disepelekan, cara membersihkan telinga ini perlu dipahami dengan baik. Pada bayi, misalnya, membersihkan telinga tidak boleh asal dilakukan. Kotoran biasanya akan keluar dengan sendirinya sehingga hanya perlu dibersihkan di bagian luarnya. Namun, jika ada penggumpalan, bisa datang ke dokter setidaknya 4-6 bulan sekali.
Prinsipnya, untuk membersihkan telinga, tidak boleh mengorek telinga dan tidak boleh dibersihkan sendiri.
Orangtua juga perlu lebih memperhatikan kebersihan telinga anaknya, termasuk pada anak usia sekolah dasar. Dari pelaksanaan program bersih-bersih telinga yang dilakukan Pehati, sebanyak 30-50 persen anak sekolah dasar ditemukan dengan masalah kotoran telinga. Sementara prevalensi infeksi pada telinga tengah ditemukan sekitar 50 persen dengan gangguan sedang dan berat dan 2,5 persen di antaranya pada anak sekolah dasar.
Jenny memaparkan, pengetahuan untuk membersihkan telinga menjadi bagian dari kesadaran akan kesehatan pendengaran dan telinga. Dari survei oleh Perhati terhadap 2.410 orang, hanya 108 orang yang memiliki pengetahuan baik mengenai kesehatan pendengaran, sementara 1.603 orang dengan pengetahuan yang kurang.
Usia dini
”Edukasi mengenai kesehatan telinga dan pendengaran harus terus dilakukan, mulai dari usia dini. Masalah kesehatan telinga tetap banyak ditemukan di masa pandemi Covid-19, antara lain, infeksi telingan luar, tengah, dan dalam, gangguan telinga kongenital, gangguan pada usia lanjut, serta kotoran telingan yag menyumbat,” ucapnya.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menyebutkan, sekitar 466 juta atau 6,1 persen orang di seluruh dunia mengalami gangguan pendengaran yang terdiri dari 432 juta usia dewasa dan 34 juta usia anak-anak. Diperkirakan sepertiga dari penduduk berusia di atas 65 tahun mengalami gangguan pendengaran secara alami.
Apabila perrmasalahan gangguan pendengaran tidak ditangani secara serius, diperkirakan terjadi peningkatan jumlah penyandang gangguan pendengaran sebesar 630 juta orang pada 2030, bahkan bisa mencapai 900 juta orang pada tahun 2050.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menuturkan, intervensi yang telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memberikan promosi kesehatan lewat berbagai program.
Pada anak sekolah, promosi dilakukan dengan koordinasi bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program UKS. Penapisan (screening) kesehatan telinga pada anak juga masuk dalam standar pelayanan minimal (SPM) untuk setiap pemerintah daerah.
”Dari hasil penjaringan (screening) tersebut, maka bisa langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan sehingga bisa mendapat penanganan lebih dini. Kesadaran ini lebih dimasifkan bagi orangtua agar memeriksa kesehatan pendengaran dan telinga pada bayi baru lahir. Jika tidak ada respons ketika disimulasi dengan suara atau bunyi, sebaiknya bayi langsung dibawa ke dokter,” ujarnya.