Pembangunan Infrastruktur Harus Mengurangi Bencana
Presiden Joko Widodo menegaskan, pembangunan infrastuktur harus mengurangai bencana, bukan justru menambah risiko. Ini butuh implementasi nyata di lapangan guna mencegah banyaknya korban jiwa dan kerugian bencana.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menyatakan, pencegahan dan mitigasi bencana harus diutamakan dalam penanggulangan bencana. Perizinan usaha harus mempertimbangan risiko dan pembangunan infrastuktur harus mengurangi bencana, bukan justru menambahnya.
Pernyataan Presiden Joko Widodo disampaikan saat membuka Rapat Koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), secara daring, Rabu (23/2/2022). ”Penanggulangan bencana harus terpadu, sistematik, dan Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020-2024 harus dilakukan dengan penuh komitmen. Indonesia harus tangguh bencana,” kata Presiden.
Menurut Jokowi, pentingnya penanggulangan bencana karena Indonesia termasuk 35 negara yang paling rawan bencana di dunia. ”Hampir tiap hari ada bencana. Risiko kerugian juga besar, baik korban maupun material,” katanya.
Jokowi menegaskan, orientasi pada pencegahan bencana harus diutamakan. Beberapa jenis bencana, seperti letusan gunung api dan gempa tidak bisa dicegah. Akan tetapi, banyak jenis bencana yang bisa dicegah, seperti banjir dengan penghijauan dan penanaman vegetasi. Longsor juga bisa dicegah, di antaranya mulai dengan menggalakkan penanaman vetiver, pelestarian lingkungan, bendungan, hingga penataan daerah aliran sungai.
Pernyataan Presiden perlu didukung. Namun, harus dikawal implementasinya karena sering kali di lapangan praktiknya berbeda.
Menurut Jokowi, pengarusutamaan bencana harus terus ditingkatkan. ”Program pembangunan harus berorientasi tangguh bencana. Perizinan usaha harus mempertimbangan risiko bencana. Pembangunan infrastuktur harus mengurangi bencana, bukan menambah bencana. Sering kita membangun, tetapi lupa ini,” ujarnya.
Secara khusus Jokowi juga menyampaikan pentingnya vegetasi untuk mengurangi dampak tsunami dan siklon tropis di daerah pesisir. ”Semua negara mengalami bencana yang sebelumnya tidak ada karena perubahan iklim. Mangrove dan tanaman asosisasi seperti nipah, cemara pantai, ketapang, nyamplung, dan kelapa, harus banyak ditanam di pesisir yang banyak bencana tsunami atau taifun,” katanya.
Selain itu, Jokowi juga mengingatkan pentingnya membangun jalur evakuasi dan mengecek secara rutin instrumen peringatan dini. ”Ini yang sering tidak disiplin. Tidak semua pengadaan alat ini oleh BNPB, tetapi saya minta BNPB terlibat dan mengingatkan kementerian terkait karena hal ini menyangkut keselamatan rakyat,” ucapnya.
Presiden juga mendorong pembangunan sistem edukasi kebencanan berkelanjutan di daerah rawan bencana. Budaya sadar kebencanaan harus dimulai sejak dini, mulai dari individu, keluarga, komunitas, sekolah, sampai lingkungan masyarakat.
”Gali berbagai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Latih masyarakat untuk tanggap menghadapi bencana. Lakukan latihan, simulasi setiap saat, jangan tunggu sampai bencana terjadi,” ujarnya.
Kepala BNPB Suharyanto mengatakan, upaya pencegahan dan mitigasi telah diwujudkan dengan serangkaian program. Misalnya dengan melakukan kajian risiko bencana, edukasi, dan literasi kebencanaan serta penyiapan sistem peringatan dini yang mendukung kegawatdaruratan dan evakuasi masyarakat. Selain itu, jalur dan tempat evakuasi berbasis komunitas juga telah dibangun.
Meski demikian, menurut Suharyanto, tantangan ke depan akan semakin berat dengan kejadian bencana yang terus bertambah. ”Tahun 2021 ada 5.402 bencana, dengan korban 728 jiwa dan kerugian lebih dari 150.000 rumah dan lebih dari 4.400 fasilitas umum rusak berat. Selain itu, kita juga masih ada dalam pandemi Covid-19,” katanya.
Implementasi di lapangan
Peneliti tsunami Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Widjo Kongko, mengatakan, arahan Presiden Joko Widodo tentang pentingnya pengarusutamaan pencegahan dan mitigasi bencana dalam pembangunan patut jadi perhatian semua pihak. ”Ini kemajuan penting, tetapi perlu ditindaklanjuti secara konkret,” ujar Widjo.
Hal senada disampaikanKetua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (Iatsi) Gegar Prasetya. ”Pernyataan Presiden perlu didukung. Namun, harus dikawal implementasinya karena sering kali di lapangan praktiknya berbeda.” katanya.
Dia mencontohkan, pembangunan infrastruktur vital, seperti Bandara Internasional Yogyakarta di zona bahaya gempa dan tsunami. Sebelumnya, menurut Gegar, para ahli sudah mengingatkan mengenai kerentanan pesisir selatan Jawa ini.
Gegar juga mengapresiasi rekomendasi Jokowi tentang pentingnya mangrove dan vegetasi lain untuk melindungi pesisir dari tsunami dan siklon tropis. Namun, dia juga mengingatkan, implementasi di lapangan, pembangunan infrastruktur fisik yang lebih diprioritaskan, seperti yang terjadi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah.
Menurut Gegar, setelah tsunami Palu tahun 2018, pemerintah memilih membangun infrastruktur pengaman pesisir dengan tanggul batu. ”Tanggul berupa batu lepas di pantai bisa menjadi peluru mematikan jika terjadi tsunami. Ini sangat tidak direkomendasikan untuk daerah yang rentan tsunami,” katanya.
Gegar dan tim pernah merekomendasikan penataan ruang pesisir dan penanaman mangrove di Teluk Palu pascatsunami. ”Kalau alasannya untuk melindungi dari abrasi dan terjadi penurunan tanah setelah gempa, bisa dengan menata ruangnya, misalnya memundurkan bangunan, meninggikan tanah, hingga menanami pesisir dengan mangrove, seperti saran Presiden Jokowi. Solusi perlindungan pantai harus memperhatikan multibencana yang ada di sana,” ujarnya.
Untuk memastikan agar implementasi pengurangan risiko bencana sesuai dengan arahan Presiden Jokowi ini, menurut Gegar, perlu ada pengawalan di lapangan dengan berbasiskan data sains. ”Level implementasi proyek harus benar-benar berbasis sains dan mendengar ahlinya,” katanya.
Widjo Kongko menambahkan, pelibatan ilmuwan harus dilakukan sejak tahap perencanaan dan desain hingga pelaksanaan. ”Pengalaman selama ini, pelibatan ahli baru pada tahap rencana atau rancangan umum, tetapi detail desain dan apalagi pelaksanaan, para ahli sering ditinggalkan,” ucapnya.
Dia mencontohkan, dalam penataan pesisir Teluk Palu setelah tsunami 2018, sejumlah ahli diundang dalam serangkaian diskusi, bahkan masuk di tim ahli Bappenas. ”Setelah itu, rancangan detailnya kita tidak pernah dilibatkan lagi,” katanya.
Selain melibatkan ahli, menurut Widjo, upaya pengurangan risiko bencana juga harus melibatkan publik. Selain untuk menggali kearifan lokal di komunitas, hal ini juga mencegah terjadi konflik dan menjamin keberlanjutan pembangunan. ”Pelibatannya harus benar, tidak hanya prosedural dan menjadikan ahli atau masyarakat sebagai stempel saja,” katanya.