Narsisme politik menunjukkan kedangkalan berpikir, mengutamakan permukaan, dan mengabaikan substansi. Dalam konteks bencana, ini menjadi sesuatu yang menyedihkan sekaligus memalukan.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·4 menit baca
Memasuki musim hujan, kita semua perlu waspada. Musibah tahunan, banjir, masih mungkin menghantui. Tak hanya Jakarta, namun juga di berbagai daerah. Namun, biasanya ada hantu lain yang mengikuti bencana banjir, yaitu hantu-hantu politik yang hendak memanfaatkan situasi.
Sudah menjadi pemandangan lumrah posko-posko bantuan milik partai politik didirikan saat banjir. Kita memang tak memungkiri peran partai-partai politik dalam membantu penanganan korban tersebut, namun tak bisa dilupakan juga selalu ada kepentingan politis di baliknya. Bencana seperti banjir menjadi momen yang baik untuk membantu sekaligus membawa agenda terselubung, yaitu kampanye secara tak langsung.
Banjir pun seolah menjadi ajang bagi para pemimpin untuk tampil. Tiba-tiba, akan banyak foto elite pejabat dan kepala daerah sedang memantau kondisi di lokasi banjir. Tak tanggung-tanggung, mereka nampak akan ikut menerjang genangan air yang tingginya bisa melebihi lutut atau bahkan menyusuri area banjir menggunakan perahu.
Mungkin akan banyak yang beranggapan bahwa partai dan para elite pejabat itu layak diapresiasi karena mau terjun langsung membantu korban banjir. Apalagi seorang pemimpin, sudah selayaknya ia melihat langsung lokasi bencana yang memang menjadi tanggung jawabnya. Namun sebaliknya, peristiwa semacam itu justru tak perlu diapresiasi, sebab yang perlu diapresiasi adalah mereka yang sukses bekerja mencegah banjir itu terjadi, bukan yang memanfaatkan momen memilukan sebagai ajang untuk tampil.
Peristiwa serupa juga sempat muncul saat bencana Semeru beberapa waktu lalu. Publik dihebohkan soal baliho yang bertebaran di lokasi bencana. Di tengah penderitaan masyarakat, masih ada saja orang-orang yang memanfaatkan momen untuk memenuhi hasrat berkuasa.
Fenoma akut
Ini adalah problem akut politik kita. Demokrasi di Indonesia masih mengidap patogen berbahaya yang disebut narsisme politik. Sebuah kebiasaan yang berlebihan dalam mengekspos diri sendiri demi kepentingan politik praktis
Narsisme politik ini nampak pada iklan-iklan (media sosial, cetak, maupun elektronik) atau spanduk yang menampilkan foto diri. Padahal, apa yang disampaikan bukanlah hal-hal yang luar biasa, namun lebih menekankan foto diri dalam iklan tersebut. Selain itu, bentuk narsisme juga ditunjukan dengan adanya buzzer politik yang dibayar hanya untuk menaikan citra.
Pemilu dan pilkada masih dua tahun lagi, saat tiba waktunya, kita akan menyaksikan kontestasi narsisme politik yang menggila.
Fenomena seperti itu akan kian menjamur saat tahun politik. Pemilu dan pilkada masih dua tahun lagi, saat tiba waktunya, kita akan menyaksikan kontestasi narsisme politik yang menggila. Wajah-wajah akan bertebaran di pinggir jalan, menghias batang-batang pohon dan tiang listrik.
Kita tak mengharap akan ada bencana saat itu, baik bencana tahunan seperti banjir ataupun musibah lain. Namun jika itu terjadi suka tidak suka narsisme pun pasti turut hadir pada situasi memilukan tersebut. Bahkan, seperti yang sudah-sudah, narsisme itu mungkin dimunculkan dalam kantong pembungkus mi instan, beras, sarden dan minyak goreng yang dibagikan.
Tuna "rasa"
Narsisme politik menunjukkan kedangkalan berpikir, mengutamakan permukaan, dan mengabaikan substansi. Dalam konteks bencana, ini menjadi sesuatu yang menyedihkan sekaligus memalukan. Ketika orang-orang berjibaku mempertahankan hidup, kehilangan harta bendanya, bahkan mungkin diliputi duka karena keluarganya menjadi korban, mereka justru dieksploitasi demi kekuasaan.
Narsisme politik di kala bencana menunjukan elite politik kita yang mengalami tuna rasa, kehilangan simpati dan empati kepada para korban. Padahal, simpati dan empati pada rakyat merupakan modal utama dalam memimpin. Budayawan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan kesatuan rasa antara para elite dan rakyatnya. Menurutnya, itulah konsep manunggaling kawulo lan gusti dalam konteks bernegara.
Narsisme politik di kala bencana menunjukan elite politik kita yang mengalami tuna rasa, kehilangan simpati dan empati kepada para korban.
Pemimpin dan elite politik tak hanya bisa mendengar suara rakyat, tetapi juga harus bisa ikut merasakan. Dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram, salah satu ukuran menjadi manusia adalah kepekaan sosial, mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain (ngraosaken raosing tiyang sanes). Namun ini bukan sesuatu yang gampang, sebab di dalamnya mensyaratkan ada cinta dan kasih kepada sesama. Dan bersamaan dengan itu, ego pun ditanggalkan.
Maka, dalam setiap situasi sedih yang dialami para korban bencana, tidak boleh ada kepentingan pribadi di dalam dada para elite tersebut. Sebaliknya, merasakan apa yang dirasakan rakyatnya justru akan menumbuhkan pengorbanan yang tulus demi masyarakat. Jika masih ada keinginan untuk memanfaatkan penderitaan masyarakat, tak salah jika kita mempertanyakan sisi kemanusiaan dan kelayakkan mereka.
Setiap bencana yang melanda negeri ini sejatinya adalah momen kita bersatu padu dalam kemanusiaan. Semua elemen bangsa, baik pemerintah, masyarakat dan partai politik harus bahu membahu memberikan sumbangsih (baik doa, harta, waktu maupun tenaga) tanpa kepentingan apapun. Karena itu, jangan sampai ada pola-pola kampanye yang tak elok, tak beretika serta mencederai nilai kemanusiaan, khususnya saat bencana.
Tentu kita berdoa mudah-mudahan tidak akan terjadi bencana lagi, baik yang tahunan maupun yang tak terduga. Namun jika terjadi, kepentingan dalam membantu korban bencana haruslah tulus dan ikhlas mencoba meringankan beban serta meyakinkan bahwa mereka tidak sendirian.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial Budaya. Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek