RI dan Bank Dunia Perkuat Rehabilitasi Mangrove untuk Ketahanan Pesisir
Upaya mempercepat rehabilitasi mangrove diwujudkan dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Bank Dunia. Proyek yang akan dilakukan adalah Mangrove untuk Ketahanan Daerah Pesisir.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia menginisiasi proyek mangrove untuk ketahanan daerah pesisir seluas 75.000 hektar di empat provinsi hingga 2026 guna mempercepat program rehabilitasi mangrove. Pengelolaan mangrove ini akan dilakukan dengan beberapa pola atau teknik rehabilitasi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dyah Murtiningsih menyampaikan, upaya mempercepat rehabilitasi mangrove diwujudkan dengan dukungan berbagai pihak, termasuk Bank Dunia. Proyek yang akan dilakukan adalah Mangrove untuk Ketahanan Daerah Pesisir (Mangrove for Coastal Resilience Project).
”Proyek ini akan merehabilitasi mangrove seluas 75.000 hektar. Selain itu, akan dilakukan juga program kegiatan pengelolaan lanskap mangrove serta penguatan kebijakan dan kelembagaan mangrove nasional,” ujarnya dalam acara konsultasi publik proyek mangrove untuk ketahanan daerah pesisir di Jakarta, Rabu (16/2/2022).
Menurut Dyah, proyek ini tidak hanya melibatkan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Pelaksanaan proyek ini perlu pendekatan yang inklusif, partisipatif, dan tetap memperhatikan kondisi tapak sesuai dengan tipologinya. Hal ini membuat pengelolaan mangrove akan dilakukan dengan beberapa pola atau teknik rehabilitasi.
Proyek ini akan merehabilitasi mangrove seluas 75.000 hektar. Selain itu, akan dilakukan juga program kegiatan pengelolaan lanskap mangrove serta penguatan kebijakan dan kelembagaan mangrove nasional
Peran dan partisipasi masyarakat juga menjadi tujuan pengembangan proyek ini. Pemberdayaan masyarakat yang berdampak terhadap penambahan pendapatan melalui usaha-usaha produktif berbasis ekosistem pada akhirnya akan mampu meningkatkan ketahanan atas ancaman perubahan iklim.
”Kapasitas masyarakat yang terlibat dalam proyek ini diharapkan dapat meningkat seiring dengan membaiknya ekosistem mangrove dan munculnya alternatif baru mata pencaharian masyarakat. Pada prinsipnya, tujuan program ini ialah menstimulus masyarakat di tingkat tapak untuk menerima estafet pengelolaan mangrove ke depan,” katanya.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Satyawan Pudyatmoko mengatakan, berdasarkan pengamatan dan verifikasi lapangan, area potensial rehabilitasi mangrove untuk proyek ini mencapai 88.828 hektar (ha). Area tersebut tersebar di empat provinsi, yakni Sumatera Utara (11.083 ha), Riau (7.337 ha), Kalimantan Utara (28.767 ha), dan Kalimantan Timur (41.641 ha).
Sementara berdasarkan tipologinya, area rehabilitasi ini terdiri dari lahan terbuka, mangrove kerapatan jarang dan sedang, mangrove terabrasi, dan tambak vegetasi. Setiap tipologi degradasi mangrove memiliki teknik rehabilitasi yang berbeda-beda karena adanya gangguan pengelolaan yang juga beragam.
Sebagai contoh, rehabilitasi mangrove di tipologi tambak vegetasi memiliki faktor gangguan berupa lokasi yang lama tergenang, aliran hidrologi terhambat, dan struktur pematang terganggu aliran pesut. Guna mengatasi faktor gangguan ini, sebelum proses rehabilitasi, terlebih dahulu dilakukan perbaikan hidrologi minor dan mayor. Sementara metode penanaman yang dapat dilakukan adalah dengan regenerasi alami ataupun bantuan manusia.
Sebelum rehabilitasi pada tipologi lahan terbuka, persiapan dengan membangun alat peredam ombak konstruksi bambu lebih dulu dilakukan. Sebab, terdapat faktor gangguan berupa ombak dan arus yang tidak terlalu kuat pada tipologi lahan ini. Adapun metode penanamannya dengan rumpun berjarak dan secara intensif.
Pembangunan alat peredam juga dibutuhkan untuk pola rehabilitasi pada mangrove yang terabrasi. Sebab, ekosistem ini kerap mengalami gangguan akibata danya ombak dan arus, penurunan tanah, dan erosi. Metode penanaman dapat dilakukan dengan cara intensif, yakni 10.000 batang per hektar atau rumpun berjarak dengan 5.000 batang per hektar.
Aspek pemeliharaan
Satyawan menyatakan, rehabilitasi mangrove tidak bisa dilakukan dengan cara menanam dan ditinggal. Namun, rehabilitasi mangrove harus diiringi dengan pemeliharaan selama tiga hingga lima tahun sehingga tanaman tersebut sudah tegak dengan sempurna.
Di sisi lain, kata Satyawan, hal terpenting lainnya agar rehabilitasi tidak sia-sia adalah dengan memastikan siapa pihak yang mengelola, bagaimana pengelolaannya, dan keterampilan apa yang dibutuhkan. Ketika mangrove tersebut sudah tumbuh, kegiatan yang dilakukan tidak sebatas menanam, tetapi juga memperkuat koordinasi pengelolaan lanskap dari tingkat kabupaten/kota hingga desa.
”Pelaksanaan kegiatan pengelolaan mangrove selaras dengan rencana di tingkat desa. Sebab, desa bagi BRGM menjadi ujung tombak dalam program rehabilitasi mangrove. Tanpa melibatkan desa, jangan berharap restorasi dan rehabilitasi bisa berlanjut,” katanya.