Ibu kota negara baru tidak boleh hanya mengedepankan aspek desain, tetapi juga harus menyediakan ruang untuk bersosialisasi dan memiliki fungsi yang beragam.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pemindahan ibu kota negara baru di Kalimantan merupakan sebuah keputusan politis, proses pembangunannya tetap harus memperhatikan berbagai kriteria sebuah kota yang baik. Ibu kota negara baru tidak boleh hanya mengedepankan aspek desain, tetapi juga harus menyediakan ruang untuk bersosialisasi dan memiliki fungsi yang beragam.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang juga berlatar belakang arsitek dan perancang kota mengemukakan, ibu kota negara (IKN) merupakan simbol politik suatu negara. Oleh karena itu, wajah utama suatu negara bisa dihadirkan dalam bentuk ekspresi arsitektur kota.
”Indonesia belum ada sejarah ibu kota negara yang didesain dari nol untuk suatu bangsa yang merdeka. Jakarta yang awalnya sebagai Batavia didesain dari perspektif pemerintah kolonial Belanda. Jadi, sejarah pembentukan Jakarta berasal dari orang asing,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Arsitektur sebagai Artefak Peradaban Dalam Perspektis Istana Negara”, Rabu (9/2/2022).
Prioritas saat ini dan masa depan ialah kemampuan dalam menghadapi perubahan iklim dan memenuhi berbagai aspek tujuan pembangunan berkelanjutan 2030.
Kamil menjelaskan, awalnya pemerintah kolonial berencana memindah IKN ke Bandung, Jabar, setelah terjadi pandemi malaria. Namun, rencana pemindahan ini batal dilakukan karena terdapat invasi dari Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, barulah Jakarta diputuskan menjadi IKN dengan pertimbangan wilayah dan sejarah yang strategis.
Menurut Kamil, kepindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan merupakan suatu keputusan politik sehingga akan menimbulkan dinamika di masyarakat. Akan tetapi, banyaknya desain IKN baru di media sosial yang tidak jelas asal-usulnya saat pertama kali isu ini bergulir di ruang publik dikhawatirkan dapat menggerus proses demokratisasi.
Guna menghadirkan proses demokratisasi dan pelibatan publik secara luas, Kamil kemudian meminta Presiden Joko Widodo melakukan sayembara desain pembangunan IKN baru. Desain yang telah dimenangkan inilah yang harus terus dikawal saat proses pembangunan agar hasil akhirnya tidak berubah karena aspek politis.
Kamil mengingatkan bahwa keberhasilan suatu kota harus mempunyai fungsi lifability atau kemampuan hidup yang baik. Kota yang baik adalah kota yang tidak menafikan kepadatannya, tetapi menyediakan ruang yang cukup untuk bersosialisasi, bermain, menuju tempat kerja dengan singkat bahkan nyaman dengan berjalan kaki. Dalam ilmu perancangan kota, konsep ini dinamakan dengan compact city.
”Orang-orang mengagumi arsitektur di Dubai, tetapi tidak dinikmati dengan berjalan kaki dan tidak menghadirkan kehidupan yang sebenarnya di mana ruang publik hadir secara adil. Ini yang saya khawatirkan di tahap berikutnya pembangunan ibu kota baru yang hanya menjadi katalog arsitektur,” ujarnya.
Bentuk peradaban
Pembangunan IKN baru juga harus terus dikawal agar membentuk suatu peradaban kota. Sebab, kata Kamil, peradaban suatu kota yang baik dapat terbentuk tidak hanya memperhatikan aspek desain, tetapi juga density (kepadatan) dan diversity (keberagaman).
”Kota yang baik pasti memiliki fungsi yang campuran. Arsitektur dan rancang kota modern memisahkan keberagaman fungsi ini. Orang menyukai kawasan Malioboro karena memiliki fungsi yang beragam. Jadi, tiga aspek inilah yang harus dijaga dalam IKN,” ucapnya.
Setelah semua aspek tersebut terpenuhi, tambah Kamil, pembangunan IKN kemudian dapat dilengkapi dengan aspek keberlanjutan dan kota cerdas (smart city). Seluruh pembangunan ini juga seharusnya tidak memerlukan lahan yang luas karena dapat memicu pemborosan.
Associate Professor dari Department of Architecture, School of Design and Environment, National University of Singapore(NUS), Johannes Widodo, mengatakan, prioritas dan komitmen saat ini bukan menjadi jaya seperti era Majapahit atau ambisi meluaskan wilayah. Prioritas saat ini dan masa depan ialah kemampuan dalam menghadapi perubahan iklim dan memenuhi berbagai aspek tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) 2030.
”Prioritas ini bertujuan agar tidak ada lagi kemiskinan, kelaparan, terjangkaunya pendidikan, dan mewujudkan kota yang sehat serta berkelanjutan. Ini yang harus menjadi tanggung jawab generasi saat ini dalam membangun ibu kota baru,” ujarnya.