Presiden Didesak Rumuskan Kembali Desain Riset di Indonesia
Sejumlah akademisi dan tokoh riset membuat petisi serta mendesak Presiden untuk mengoreksi peraturan tentang BRIN. Presiden juga diminta merumuskan kembali desain kelembagaan riset di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru besar, akademisi, dan tokoh riset mendesak Presiden Joko Widodo mengoreksi peraturan presiden tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional menyusul banyaknya sorotan publik terhadap peleburan sejumlah lembaga riset beberapa waktu terakhir. Mereka juga meminta Presiden membentuk tim independen yang fokus untuk merumuskan kembali desain kelembagaan terbaik bagi riset di Indonesia.
Desakan dan penyampaian petisi tersebut disampaikan akademisi serta tokoh riset yang tergabung dalam Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/1/2022). Mereka di antaranya Azyumardi Azra, Widi Agoes Pratikto, Didin S Damanhuri, Fadhil Hasan, Abdul Malik, dan Achmad Nur Hidayat.
Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra menilai, peleburan sejumlah lembaga riset ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merupakan sebuah malapetaka bagi riset dan inovasi di Indonesia. Sebab, penelitian dipandang tidak akan maju hanya dengan peleburan dan sentralisasi lembaga riset.
Kesalahan dalam pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi akan berdampak besar di masa depan.
”Sentralisasi bahkan dapat memicu kekacauan karena lembaga penelitian secara alamiah memiliki bidang yang berbeda. Peleburan ini ternyata kemudian terjadi dekonstruksi lembaga-lembaga penelitian. Malapetaka lainnya, banyak pegawai yang diberhentikan tanpa pesangon dan ketidakjelasan lainnya,” ujarnya.
Menurut Azyumardi, kalangan akademisi dan tokoh riset memiliki tanggung jawab intelektual, sosial, dan politik untuk memperbaiki masa depan riset di Indonesia. Penyampaian petisi ini menunjukkan masih ada masyarakat Indonesia yang ingin mewujudkan tanggung jawabnya di tengah banyaknya lembaga atau pihak-pihak lain yang justru diam dan tidak mengkritisi peleburan BRIN.
Petisi ini telah dibuat oleh Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa serta ditandatangani oleh ribuan masyarakat sipil lebih dari satu minggu lalu. Namun, Azyumardi menyayangkan sampai saat ini belum ada tanggapan atau respons apa pun dari Presiden ataupun Dewan Pengarah BRIN terkait petisi ini.
”Dengan masa waktu pemerintah yang tersisa saat ini, penelitian dan riset serta inovasi kita tidak akan bergerak ke mana-mana. Langkah darurat yang harus dilakukan saat ini adalah memulihkan kembali lembaga riset pemerintah nonkementerian. Setelah itu, BRIN bisa memainkan peran sebagai pusat koordinasi,” ungkapnya.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Co-Founder Narasi Institute, Fadhil Hasan, mengatakan, kesalahan dalam pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi akan berdampak besar di masa depan. Menurut dia, proses penataan ulang dan transformasi BRIN telah menyimpang dari semangat dan jiwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Melakukan sentralisasi lembaga riset juga dianggap bertentangan dalam penataan lembaga di Indonesia.
Selain itu, proses reorganisasi juga dinilai dilakukan tanpa persiapan dan dialog atau partisipatif sehingga menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak tidak adanya dialog ini ditunjukkan dari pemberhentian kontrak kerja tanpa pesangon ribuan eks pegawai lembaga riset yang dilebur ke BRIN.
Rekomendasi
Guna menyelesaikan permasalahan ini, Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 perlu diperbaiki dan ditunda pemberlakuannya. Sebab, perpres tersebut merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua, pemerintah perlu mempekerjakan kembali para tenaga asisten riset dan honorer lainnya ke lembaga penelitian sebelumnya. Terakhir, pemerintah dan Dewan Pengarah BRIN perlu bermusyawarah bersama tim independen yang terdiri dari akademisi dan tokoh riset untuk menemukan formulasi yang tepat bagi BRIN dan fungsi kelembagaannya.
Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi 2000-2002 Abdul Malik menambahkan, seharusnya BRIN dibentuk dengan tugas di level makro, yakni menentukan kebijakan dan prioritas nasional serta menjadi penyandang dana. Dengan tugas tersebut, BRIN kemudian mengompetisikan dana tersebut ke berbagai lembaga riset berbasis proposal ataupun penugasan langsung.
”Harus diakui juga, agar BRIN bisa menjalankan fungsi tersebut untuk iklim riset kita, harus ada banyak perubahan kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan. Sayangnya, perubahan ini belum terlihat dan BRIN justru lebih sibuk melakukan pengintegrasian tanpa membuat terobosan agar lembaga riset fokus terhadap risetnya,” katanya.
Perbaiki ekosistem riset
Dalam siaran pers BRIN, Selasa (18/1/2022), Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, secara umum ekosistem riset di Indonesia belum ideal. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya periset yang mengalami kesulitan yang disebabkan berbagai keterbatasan. Integrasi lembaga riset ke dalam BRIN diharapkan mampu memperbaiki ekosistem riset di Indonesia.
”Keterbatasan yang dirasakan para periset itu di antaranya kepakaran para periset, infrastruktur seperti peralatan dan laboratorium yang belum memadai, serta penganggaran,” ujar Handoko di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Semua keterbatasan ini, lanjut Handoko, dapat diminimalkan dengan pengintegrasian seluruh entitas penelitian di Indonesia. Integrasi yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 meliputi seluruh sumber daya riset, yakni sumber daya manusia, infrastruktur, dan pendanaan.
Integrasi ini, tegas Handoko, diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan fundamental yang selama ini dihadapi Indonesia di bidang riset. ”Masalah fundamental riset di Indonesia selama ini adalah critical mass yang rendah. Maka, dengan integrasi ini, kita mempunyai SDM yang cukup, infrastruktur yang lengkap, dan pendanaan yang besar,” ujarnya.
Selain itu, integrasi merupakan upaya untuk memperbaiki ekosistem riset di Indonesia agar menjadi ideal. Memperbaiki ekosistem riset tidak sekadar meningkatkan jumlah penelitian yang unggul, tetapi mencetak sebanyak mungkin orang yang bisa terlibat di dalam riset.
”Periset itu bukan eksklusif ilmuwan saja, tetapi setiap orang sebenarnya bisa jadi periset. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan banyak inovasi yang dihasilkan. Namun, kita tidak boleh fokus pada produk karena kalau hanya fokus ke produk, nanti sifatnya jadi jangka pendek strateginya,” tambahnya.
Terkait pendanaan riset di Indonesia, Handoko mengaku sebenarnya dana riset itu cukup besar, hanya saja tercecer di banyak lembaga/kementerian sehingga pembagiannya kecil dan tidak bisa menghasilkan produk yang maksimal. Kendati demikian, hal yang terpenting selain pendanaan dalam riset adalah kualitas SDM dan infrastruktur.
”Dengan SDM riset dan infrastruktur yang baik, kita dapat menarik pendanaan dari mitra, baik dalam maupun luar negeri, melalui berbagai skema kolaborasi,” ujarnya.