Pembentukan BRIN memang bisa menjadi batu lompatan agar riset dan inovasi Indonesia bergerak lebih efisien dan maju. Namun, jika salah kelola, riset Indonesia bisa makin tertinggal dari negara-negara lain.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Saat Indonesia bertekad menjadikan riset dan inovasi sebagai penghela pembangunan ekonomi nasional, periset dan perekayasa yang jadi tulang punggung proses tersebut justru didera kebingungan. Proses penggabungan berbagai lembaga riset dalam wadah tunggal Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN justru menimbulkan kebingungan yang dapat menurunkan semangat mereka berkarya.
Penggabungan BRIN memang baru berjalan beberapa bulan. Karena itu, terlalu dini untuk menilai apakah lembaga superbesar ini mampu meningkatkan produktivitas invensi dan inovasi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Namun, apa pun bentuk perubahan lembaga yang menaungi periset dan perekayasa seharusnya mereka tidak dikorbankan dalam proses transisi ini.
ID (56), peneliti senior di salah satu organisasi riset BRIN di Jakarta, Rabu (5/1/2022), mengatakan, setiap apel Senin pagi yang diikuti ribuan pegawai BRIN, termasuk peneliti dan perekayasa, sikap mereka masih terpecah. Sebagian menyambut positif pembentukan BRIN, tetapi banyak pula yang menentang, bingung, hingga pasrah mengikuti alur yang ada.
Situasi ini wajar terjadi dalam penggabungan organisasi mapan yang melibatkan ribuan anggota staf. Penggabungan BRIN memang membuka kesempatan bagi sebagian peneliti, terutama mereka yang memang memiliki pola riset seperti yang ditetapkan BRIN. Tapi, mereka yang pola risetnya berbeda dengan ketentuan yang ada, seperti para perekayasa yang menghasilkan barang, menjadi lebih sulit berekspresi.
Sejumlah peneliti justru di tempatkan di pilihan ke-2 atau ke-3 yang sebenarnya tidak mereka minati.
Selama ini, peneliti dan perekayasa memiliki pola kerja yang berbeda meski berasal dari organisasi riset yang sama. Kekhasan dan keragaman riset dan inovasi itu dinilai ID belum dikaji mendalam dan diantisipasi, tetapi BRIN buru-buru menyeragamkan semua hingga akhirnya membuat banyak peneliti kebingungan, bahkan hilang semangat. Sayangnya, kondisi itu juga banyak dialami peneliti muda berumur kurang dari 40 tahun.
”Penggabungan yang ada jadi lebih mirip LIPI-nisasi (diseragamkan pola kerjanya mirip di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dulu),” katanya.
Mitra
Untuk riset, pelibatan mitra memang menjadi langkah penting dalam hilirisasi riset. Namun, banyak riset dasar strategis negara akan sulit mencari mitra, baik swasta maupun kementerian teknis terkait. Selama ini, banyak riset dasar strategis itu dibiayai negara melalui organisasi riset asal karena sifatnya yang penting bagi penguasaan ilmu dan teknologi maupun pertahanan keamanan negara.
Proses pemetaan sumber daya manusia yang dilakukan BRIN saat ini juga menimbulkan pro-kontra di antara peneliti. Menurut ID, dalam sistem BRIN, peneliti diberi kebebasan memilih tiga tempat riset yang paling diminati atas dasar apa pun, baik itu minat, kompetensi, maupun peneliti yang sekadar ingin pulang kampung meski kompetensi dasarnya tidak sesuai.
”Peneliti harus mengisi tiga lokasi penempatan, tidak bisa hanya memilih satu sesuai organisasi riset asalnya. Anehnya, sejumlah peneliti justru ditempatkan di pilihan ke-2 atau ke-3 yang sebenarnya tidak mereka minati,” tambahnya.
Selain itu, proses penggabungan yang menghasilkan lembaga superbesar itu mulai dirasakan mengurangi kelincahan organisasi. Untuk perjalanan dinas saja, lanjut ID, jika dulu cukup ke pimpinan organisasi riset, kini harus ke BRIN. Sejumlah riset yang dulu masuk program prioritas nasional juga terhambat.
Sementara untuk menjalin kerja sama dengan mitra di dalam negeri, kini juga melibatkan sejumlah lembaga di BRIN hingga tahapan yang harus dilalui makin banyak. Sementara kerja sama dengan lembaga riset luar negeri ditunda.
Situasi itu membuat ID khawatir jika riset Indonesia berjalan mundur. Pembentukan BRIN memang bisa menjadi batu lompatan agar riset dan inovasi Indonesia bergerak lebih efisien dan maju. Namun, jika salah kelola, riset Indonesia bisa makin tertinggal dari negara-negara lain.
Sementara itu, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-BRIN yang juga Kepala Lapan 2014-2021 Thomas Djamaluddin mengatakan kebingungan yang dihadapi peneliti dan perekayasa adalah hal wajar. Terlebih, saat awal ketika empat lembaga penelitian non-kementerian diintegrasikan.
”Kebingungan ini perlu disikapi dengan tenang dan diselesaikan kasus per kasus sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya.
Saat ini, lanjut Thomas, proses riset untuk tahun 2022 sudah dimulai. Target akhir dari kegiatan riset tersebut adalah publikasi, paten, ataupun pembuatan purwarupa skala laboratorium.
Untuk program besar, seperti pengembangan pesawat terbang, pesawat tanpa awak (drone), roket, dan satelit ada mekanisme tersendiri yang melibatkan mitra. Program besar ini tentu butuh anggaran besar mulai dari miliaran sampai triliunan rupiah. Namun, "Kepala BRIN telah menyampaikan komitmennya untuk melaksanakan program besar itu dengan pola kerja sama dan model bisnis yang disepakati,” katanya.