Sawit Ditolak, Terbitlah Jagung
Hutan adat masyarakat suku Mpur di Tambrauw, Papua Barat, berubah wujud menjadi lahan perkebunan jagung. Warga pun gundah gulana karena tanah ulayat tempat mereka bersandar hidup musnah.
Ok.ICH
Veronika Manimbu (35) berdiri di atas bak terbuka mobil bergardan ganda yang ditumpanginya. Pandangannya melayang ke hamparan ladang jagung yang berada tak jauh di hadapannya. Saat itu, Veronika tampak tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
”Dulu di sini hutan. Banyak pohon kayu besi (merbau), matoa, sagu, dan sebagainya. Tetapi perusahaan bongkar semua, lalu tanam jagung di sini,” ujar Veronika, saat ditemui di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat.
Minggu (18/4/2021) siang itu, Veronika sedang berada di salah satu kawasan bekas hutan di Lembah Kebar. Lembah itu berada di wilayah Semenanjung Kepala Burung Papua Barat. Dari Kabupaten Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, Lembah Kebar bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama sekitar empat jam. Masyarakat yang mendiami Lembah Kebar adalah Suku Mpur yang terdiri atas beberapa marga.
Mereka menebang pohon di hutan-hutan. Padahal, di hutan-hutan itu terdapat pohon sagu dan masyarakat punya tanaman-tanaman. Karena itulah masyarakat mulai rasa tertipu.
Veronika adalah warga Suku Mpur yang berasal dari marga Arumi yang tinggal di Kampung Arumi, Distrik Kebar Timur, Tambrauw. Adapun ladang jagung yang ditunjukkan Veronika merupakan tanah ulayat milik marga Arumi. Di Lembah Kebar, setiap marga memiliki tanah ulayat yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Akan tetapi, selama beberapa tahun terakhir, sebagian hutan di Lembah Kebar itu mengalami kerusakan. Veronika menyebut, kerusakan hutan terjadi setelah masuknya PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) yang menanam jagung di wilayah Lembah Kebar. Menurut Veronika, perusahaan telah membongkar hutan yang merupakan tanah ulayat Marga Arumi, lalu mengubahnya menjadi ladang jagung.
Kerusakan hutan itu kemudian menyebabkan ketegangan antara masyarakat adat dan PT BAPP. Sebab, selama ini, hutan di Lembah Kebar menyediakan sumber daya yang digunakan masyarakat adat untuk kehidupan mereka.
Dari sawit ke jagung
Kehadiran PT BAPP di Lembah Kebar tak bisa dilepaskan dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.873/Menhut-II/2014 yang diterbitkan pada 29 September 2014. Keputusan itu mengatur tentang pelepasan kawasan hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT BAPP seluas 19.368,77 hektar. Berbekal keputusan tersebut, PT BAPP lalu masuk ke Lembah Kebar.
Menurut Semuel Ariks (57), warga Lembah Kebar dari marga Ariks, perwakilan PT BAPP datang ke kawasan tersebut pada tahun 2015. Kepada masyarakat lokal, mereka menyampaikan hendak mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Lembah Kebar.
Baca juga : Papua, Benteng Kita yang Tersisa
Namun, masyarakat adat di Lembah Kebar menolak rencana pengembangan kebun kelapa sawit karena khawatir dampak buruk dari perkebunan tersebut. Beberapa waktu kemudian, perwakilan PT BAPP kembali datang menemui masyarakat. Dalam kesempatan itu, Semuel menyebut, PT BAPP menyatakan hendak uji coba penanaman jagung selama dua tahun di padang alang-alang di Lembah Kebar.
Setelah mendengar rencana uji coba penanaman jagung oleh PT BAPP di padang alang-alang, perwakilan masyarakat dari beberapa marga menyetujui. Di kawasan Lembah Kebar, memang terdapat padang alang-alang yang, antara lain, ditumbuhi ilalang dan rumput kebar (Biophytum petersianum) yang merupakan tanaman endemik.
Semuel menuturkan, lahan yang hendak ditanami jagung oleh PT BAPP itu merupakan lahan milik enam marga di Lembah Kebar, yakni Amawi, Ariks, Arumi, Kebar, Wanimeri, dan Wasabiti. PT BAPP kemudian memberikan uang tali asih kepada enam marga tersebut dengan besaran Rp 50 juta hingga Rp 100 juta untuk masing-masing marga.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, PT BAPP disebut tidak hanya menanam jagung di padang alang-alang, tetapi juga memperluas ke kawasan hutan yang merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat. ”Mereka menebang pohon di hutan-hutan. Padahal di hutan-hutan itu terdapat pohon sagu dan masyarakat punya tanaman-tanaman. Karena itulah masyarakat mulai rasa tertipu,” ungkap Semuel.
Semuel mengatakan, setelah perusakan kawasan hutan itu, masyarakat mencoba berbicara dengan perwakilan PT BAPP. Namun, tak mencapai titik temu. Oleh karena itu, kata Semuel, masyarakat adat di Lembah Kebar menggelar musyawarah dan sepakat untuk meminta PT BAPP menghentikan aktivitas mereka di Lembah Kebar.
Selain itu, beberapa marga di Lembah Kebar juga memutuskan untuk mengembalikan uang tali asih kepada PT BAPP. Semuel mengatakan, masyarakat Marga Ariks telah mengembalikan uang tali asih sebesar Rp 100 juta kepada PT BAPP.
Pemasangan palang
Pada 30 Agustus 2018, masyarakat adat Suku Mpur dan beberapa suku lainnya memalang kantor PT BAPP di Lembah Kebar. Menurut Semuel, hal itu dilakukan setelah seorang warga dari marga Arumi dipukul oleh aparat keamanan yang berjaga di areal perusahaan beberapa hari sebelumnya.
Tiga bulan berselang, perwakilan Suku Mpur di Lembah Kebar juga datang ke Jakarta untuk menyampaikan persoalan yang mereka alami. Dalam kesempatan itu, bersama dengan perwakilan masyarakat adat lain di Papua, sejumlah tokoh masyarakat Suku Mpur mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Aser Aruam (51), perwakilan warga dari marga Amawi di Lembah Kebar, mengatakan, setelah demonstrasi dan pemasangan palang pada 30 Agustus 2018, masyarakat mengira PT BAPP tidak akan lagi beroperasi. Namun, PT BAPP ternyata terus melanjutkan operasinya dengan menanam jagung di Lembah Kebar.
Perwakilan marga Wasabiti, Melvin Wasabiti (37), menuturkan, masyarakat adat dari enam marga di Lembah Kebar merasa sangat dirugikan dengan beroperasinya PT BAPP. Sebab, kata Melvin, perusahaan itu telah merusak hutan yang selama ini menjadi sandaran hidup masyarakat Suku Mpur di Lembah Kebar.
”Kami semua dari enam marga merasa dirugikan dengan PT BAPP yang beroperasi di sini. Hutan-hutan kami dihabiskan, tanaman-tanaman kami digusur,” ungkap Melvin.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Oleh karena itu, Melvin mendesak PT BAPP segera menghentikan operasionalnya di Lembah Kebar. Melvin dan sejumlah warga di Lembah Kebar menyatakan, PT BAPP harus menghentikan operasionalnya paling lambat Agustus 2021. ”Kami dari enam marga minta pada bulan Agustus 2021, semua aktivitas perusahaan harus dihentikan dan perusahaan cabut diri dari Lembah Kebar,” tuturnya.
Perwakilan marga Kebar, Sinauw Kebar (36), menuturkan, ada satu orang dari Marga Kebar yang sempat menyetujui pengoperasian PT BAPP di Lembah Kebar. Namun, persetujuan itu diberikan tanpa sepengetahuan anggota keluarga lainnya.
”Kami punya abang satu. Tidak tahu pembicaraannya bagaimana, beliau ini yang menyetujui tanpa sepengetahuan keluarga yang lain. Kami dari keluarganya juga komplain dengan beliau,” tutur Sinauw.
Sinauw menyebut, selain satu orang warga yang memberi persetujuan itu, warga lain dari marga Kebar tidak setuju dengan kehadiran PT BAPP di Lembah Kebar. Sebab, masyarakat dari marga Kebar sangat bergantung pada sumber daya yang ada di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Pada dasarnya kami tidak setuju karena jumlah keluarga dalam satu wilayah itu memang tidak terlalu banyak sehingga kalau hutan mau dipetak-petak untuk bagi per keluarga memang tidak cukup. Apalagi, untuk perusahaan. Terus nanti untuk makan minum anak cucu kami bagaimana?” kata Sinauw.
Dampak
Berdasarkan laporan penelitian Greenpeace Indonesia yang berjudul ”Ekspansi Perkebunan Sawit, Korupsi Struktural, dan Penghancuran Ruang Hidup di Tanah Papua” (2020), kehadiran PT BAPP di Lembah Kebar telah menimbulkan sejumlah dampak bagi kehidupan masyarakat Suku Mpur. Laporan itu menyebutkan, PT BAPP telah membabat hutan sehingga membuat hilangnya kayu-kayu besar, misalnya kayu besi, matoa, dan enau.
Padahal, kayu besi dan matoa kerap dipakai masyarakat Suku Mpur untuk membangun rumah. Perusakan hutan di Lembah Kebar juga membuat hilangnya banyak ragam tanaman obat serta kulit kayu yang biasa digunakan masyarakat Suku Mpur untuk membuat noken.
Greenpeace Indonesia juga menyebutkan, kerusakan hutan di Lembah Kebar berdampak pada hilangnya habitat sejumlah burung endemik, misalnya burung cenderawasih, maleo waigeo, kasuari, dan burung warsia yang sering disebut sebagai burung pintar.
Selain itu, kerusakan hutan juga disebut membuat beberapa jenis hewan buruan, misalnya rusa dan babi, berpindah ke wilayah pegunungan. Oleh karena itu, masyarakat Suku Mpur yang berburu harus menempuh jarak yang lebih jauh.
Di sisi lain, penanaman jagung di kawasan padang alang-alang juga disebut membuat berkurangnya populasi rumput kebar. Padahal, masyarakat Suku Mpur kerap memanfaatkan rumput kebar untuk dijual ke Manokwari atau kota-kota lain. Ini karena permintaan rumput kebar, termasuk pada toko oleh-oleh, cukup tinggi. Apalagi, harga rumput kebar juga relatif tinggi, yakni Rp 500.000 per kilogram.
Dosen antropologi Universitas Papua, Kristofel Ajoi, memaparkan, keberadaan hutan memang tak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Suku Mpur. Bahkan, kata Kristofel, anak-anak Mpur telah dekat dengan hutan sejak lahir.
”Hutan telah menyatu dalam kehidupan orang Mpur. Sejak lahir, anak Mpur itu dekat dengan hutan. Sebelum ada rumah sakit, perempuan yang melahirkan juga dibantu dengan ramuan dari hutan,” kata Kristofel yang juga berasal dari Suku Mpur di Lembah Kebar.
Baca juga : Gurih yang Berakhir Perih Saat Melahap Ulat Sagu
Kristofel menuturkan, masyarakat Mpur memiliki dua mata pencaharian utama, yakni berkebun dan berburu. Untuk menjalankan dua mata pencaharian itu, masyarakat Mpur sangat bergantung pada keberadaan hutan. ”Mereka berburu babi, burung, dan ikan itu di hutan. Mereka juga berkebun di hutan,” ucap Kristofel.
Menurut Kristofel, hubungan dekat dengan hutan itulah yang membuat masyarakat Mpur memutuskan menolak kehadiran PT BAPP yang dinilai telah merusak hutan mereka.
Merasa tidak bermasalah
Manajer Perkebunan PT BAPP Edi Hartono mengklaim, perusahaan itu memiliki hubungan harmonis dengan masyarakat lokal. ”Enggak tahu kalau berita di luar seperti apa, tetapi kami merasa hubungan kami harmonis sama mereka (masyarakat), enggak ada masalah apa-apa. Mungkin dari masyarakatnya ada kendala, tidak tahu kami,” katanya.
Edi mengaku, tidak ikut mengurus izin penanaman jagung oleh PT BAPP di Lembah Kebar. Sebab, saat Edi bekerja di Lembah Kebar, PT BAPP sudah mulai menanam jagung. Namun, berdasarkan informasi yang diterimanya, penanaman jagung oleh PT BAPP sudah mendapat persetujuan masyarakat dari beberapa marga di Lembah Kebar.
Selain itu, Edi mengatakan, PT BAPP juga sudah memberikan tali asih kepada masyarakat. ”Itu atas kesepakatan suku-suku. Katanya ada surat-suratnya dan kesepakatan dari beberapa marga. Ada tali asih juga,” tuturnya saat ditemui di kantor PT BAPP di Lembah Kebar, Minggu (18/4/2021).
Meski begitu, Edi mengakui, ada sebagian lahan hak guna usaha (HGU) PT BAPP yang diklaim masyarakat setempat. Edi mengatakan, perusahaan telah mengantongi HGU lahan dengan luas sekitar 2.000 hektar di Lembah Kebar. Namun, lahan yang sudah ditanami baru sekitar 300 hektar karena lahan lain diklaim masyarakat.
Secara terpisah, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan berjanji akan mengutamakan kepentingan masyarakat adat dan mengedepankan proses dialog untuk mencari solusi. ”Pemerintah Provinsi Papua Barat tetap bersikap mengedepankan proses dialog dan mengutamakan kepentingan masyarakat adat,” ujarnya.
Dominggus menyebut, Pemprov Papua Barat juga berupaya mendorong kesejahteraan masyarakat adat. melalui pengembangan komoditas lokal yang ramah lingkungan.